
Oleh: Misbahul Zain*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Raja Ampat adalah karunia luar biasa yang diberikan Tuhan kepada Indonesia. Terletak di Papua Barat Daya, wilayah ini terdiri dari lebih dari 1.500 pulau kecil, dengan empat pulau utamanya yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.
Akan tetapi, Raja Ampat bukan cuma pulau dengan keindahannya—ia juga menyimpan kekayaan hayati laut terbesar di dunia.
Menurut Conservation International, perairan Raja Ampat dihuni lebih dari 1.500 jenis ikan dan sekitar 600 spesies terumbu karang. Itu artinya, 75% spesies karang di dunia hidup di sini. Namun kini, Raja Ampat sedang menangis dalam diamnya.
Raja Ampat bukan hanya tempat wisata, tapi juga bagian penting dari kehidupan masyarakat Papua.
Laut dan hutan di sana menjadi sumber hidup yang dijaga turun-temurun dengan kearifan lokal. Bagi mereka, alam bukan aset untuk dijual, tapi warisan yang harus dilindungi.
Sayangnya, di balik pujian dunia, Indonesia khususnya raja ampat justru membiarkan surga ini perlahan hancur akibat keserakahan dan ambisi ekonomi yang tak terkendali.
Raja Ampat bukan sekadar keindahan di ujung timur negeri ini—ia adalah denyut kehidupan, bagian dari perjuangan rakyat Papua yang mempertahankan tanah, laut, dan jati dirinya.
Kini, suara alam mulai memudar. Kicauan burung-burung yang biasa terdengar bersiulan di sana kini mulai tak terdengar, suara masyarakat adat pun nyaris tak terdengar.
Kekayaan alam yang dulu dibanggakan kini dijarah oleh pihak-pihak yang tak peduli pada keberlanjutan. Di balik keindahan laut biru dan hutan hijau, ada luka dan tangis bumi yang terus terluka oleh ulah manusia.
Duka itu nyaris tak terlihat, tersembunyi di balik panorama memesona. Namun di balik setiap ombak yang tenang, ada tangis bumi yang kian lelah menghadapi kerakusan manusia
Media sosial ramai dengan tagar #SaveRajaAmpat. Bukan sekadar tren, ini adalah bentuk kepedulian dari banyak orang terhadap kerusakan yang terus terjadi. Sebuah video viral dari akun TikTok @agustusan99 menyuarakan kekecewaan:
“Saya menyesal pernah memilih Bapak Prabowo Subianto sebagai Presiden ke-8, jika Bapak hanya bisa diam melihat Raja Ampat disembelih.”
Menanggapi tekanan publik, akun resmi Partai Gerindra mengatakan bahwa kegiatan tambang di Raja Ampat dihentikan “SEMENTARA“.
Tapi rakyat tidak butuh janji sementara. Mereka ingin komitmen jangka panjang dan perlindungan tanpa kompromi. Seperti kata agustusan dalam orasinya, “Alam tak butuh jeda. Ia butuh perlindungan tanpa syarat.”
Lalu, apa yang bisa kita lakukan bersama?
1. Pemerintah harus tegas dan berpihak pada keadilan lingkungan.
Perizinan tambang atau proyek industri harus dikaji ulang secara transparan. Jangan hanya melibatkan investor, tapi juga masyarakat adat yang hidup dan menjaga tanah itu sejak lama.
2. Libatkan masyarakat sebagai garda terdepan penjaga alam.
Masyarakat adat di Papua bukan orang asing—mereka adalah pemilik dan penjaga alam itu.
Setiap keputusan soal tanah dan laut di Raja Ampat harus melibatkan mereka, karena mereka tahu betul cara menjaga alam yang benar. Jangan sampai mereka hanya jadi penonton di tanah sendiri.
3. Tanamkan pendidikan lingkungan sejak dini.
Kesadaran lingkungan harus dimulai dari rumah dan sekolah. Anak-anak perlu diajarkan pentingnya menjaga hutan, laut, dan makhluk hidup sejak dini.
Dengan begitu, kita bisa membentuk generasi yang peduli dan bertanggung jawab terhadap bumi.
4. Media harus terus bersuara.
Media punya peran penting untuk menyebarkan informasi dan menyadarkan masyarakat. Berita tentang kerusakan alam seperti di Raja Ampat harus terus diberitakan agar tidak dilupakan.
Jurnalis dan konten kreator juga bisa membantu menyuarakan isu ini supaya makin banyak orang peduli dan ikut bergerak.
Raja Ampat bukan tanah kosong. Ia adalah rumah bagi manusia, flora, fauna, dan budaya yang luar biasa. Menjaga Raja Ampat bukan hanya tugas orang Papua—tapi tanggung jawab kita semua sebagai bangsa.
Jangan tunggu hingga alam benar-benar rusak dan tak bisa diperbaiki. Karena saat kita menjaga alam, sejatinya kita sedang menjaga kehidupan kita sendiri. (Red)
*) Misbahul Zain, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta