SUARAMUDA, MELAKA, MALAYSIA – Selepas menginap di Melaka, pada hari kedua, tanggal 13 Januari 2025, kami berkunjung ke Kota Tua Melaka, Red Square.
Disebut Red Square karena banyak bangunan dan gedung-gedung yang berwarna merah. Oleh orang Indonesia, Red Square adalah Kota Lama-nya Malaysia.
Dari jenis bangunan yang nampak, sangat terasa sekali kesan klasiknya. Dengan warna dan sentuhan ornamen kemerahan, kawasan Red Square disebut pula Kota Merah.
Terdapat tiga bangunan yang khas pada warisan kuno peninggalan Belanda yang sangat unik dan menjadi ikon Melaka, yakni Gereja yang di bangun tahun 1753, dan yang kedua Balai Kota serta Clock Tower.
Panorama Kota Merah di Melaka itu sungguh menarik. Karena selain menyuguhkan arsitektur khas Belanda layaknya Kota Lama di Semarang, Indonesia, ada pula aliran sungai. Lalu, terdapat Menara Taming Sari, Galeri Seni, termasuk Gereja, salah satunya.
Gereja tersebut menjadi penanda adanya penyebaran masyarakat non-Islam di wilayah Melaka, di masa kolonial Belanda. Kehidupan multikuktural dan keragaman agama pun nampak kental seperti di Indonesia.
Maka tak salah, jika 70 persen dari warga Malaysia adalah Muslim, sementara 30 persen lainnya adalah masyarakat penganut ajaran Hindu, Kristen dan lainnya.
Populasi penduduk Malaysia, 20 persen diantaranya adalah warga keturunan China (Tiongkok), 10 persen keturunan India. Dan selebihnya, warga asli Malaysia terdiri dari campuran ras Melayu termasuk mereka yang berasal dari Indonesia.
Bagi warga Melaka, Kota Merah ini termasuk kota bersejarah. Mereka bahkan menyebut sebagai Kota Pahlawan, termasuk keberadaan Gereja yang tak lepas dari sejarah perjuangan yang ada di Melaka.
Beberapa bangunan berjajar rapi dan menjadi salah satu tujuan wisata yang sangat menarik—diantaranya ada Muzium Belia Malaysia (Malaysia Youth Museum). Disebelahnya juga ada Balai Seni lukis Melaka (Melaka Art Galery) dengan tulisan bangunan tahun 1931 M.
Sementara Gereja Kristen Melaka (Christ Cruch Melaka) dengan tulisan bangunan tahun 1753 M, tahun yang sangat tua penanda sejarah bahwa Kota Merah ini yang tidak lepas dari pemeluk Kristen.
Tidak begitu jauh dari bangun Gereja, ada sebuah Surau Warisan—tertulis jelas dan besar, berwarna putih. Surau itu bisa kita kunjungi, serta melihat sisi kesejarahannya. Dan tentunya, nilai-nilai sosiologis-antropologis yang dikandungnya.
Kawasan Kota Merah ini sangat ‘friendly’ bagi pejalan kaki. Bergeser agak ke ujung kota, kita juga bisa melihat Menara Taming Sari—yakni sebuah bangunan ala miniatur Monas yang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. (Red)
Penulis: KH. Iman Fadhilah