suaramuda

Keseruan Program Live In SMA Vianney: Empat Hari, Sejuta Pelajaran

SUARAMUDA, JAKARTA — Kegiatan Live In bagi siswa kelas XI merupakan salah satu cara sekolah dalam mengajarkan banyak nilai, seperti moral, sosial, kemasyarakatan, dan budaya secara langsung.

SMA Vianney menyadari kegiatan secara langsung akan memberikan dampak yang lebih mendalam bagi para siswa-siswi dibandingkan sekadar teori belaka.

Demi menanamkan jiwa yang ramah, berbudaya, beradab, dan berbudi luhur kepada para siswa, SMA Vianney memilih Desa Cisantana sebagai objek tempat siswa belajar kesederhanaan hidup.

“Kegiatan Live In ini sangat bagus dan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal masyarakat luar, dunia luar, kehidupan luar,” ujar Apul Tumanggor, Kepala SMA Vianney.

suaramuda

Kehidupan live in ini berbeda, sehingga menjadi peluang bagi anak-anak untuk berefleksi dan mengambil nilai baik yang mereka temui, seperti kesederhanaan, kejujuran, serta keterbukaan dengan orang lain yang bisa mereka terapkan sejak dini dalam kehidupan mereka sebagai generasi muda.

Hari pertama, Jumat, 13 Juni 2025, kami berkumpul di sekolah Vianney pukul 07.00 WIB dan berangkat menggunakan bus sekitar pukul 08.00 WIB menuju Desa Cisantana, Cirebon.

“Semuanya sudah naik belum?” Teriak Bu Siska, memeriksa kelengkapan 46 murid SMA Vianney.

Selanjutnya kami melakukan perjalanan dan tiba di Gereja Cisantana, tepatnya di Paroki Maria Putri Murni Sedjati, sekitar pukul 12.30 WIB. Perjalanan tersebut memakan waktu sekitar 4 setengah jam.

Program Live In

Di sana, kami mendengarkan pembukaan dari Pastor, Ketua Lingkungan, dan juga Kepala Sekolah kami tentang manfaat dan pentingnya kegiatan Live In yang sedang kami ikuti.

Kami dibagi per kelompok, satu rumah dua orang, dengan orang tua asuh masing-masing. Itu pertama kalinya kami melihat wajah orang tua asuh kami. Sungguh raut wajah bahagia, menerima kedatangan kami di rumah mereka.

Lalu, kami diantar ke rumah masing-masing. Hari pertama banyak kami habiskan untuk berkeliling melihat sekitar dan mencari rumah teman-teman.

“Kita serius seberangan rumahnya?” tawa bahagia meliputi obrolan kami bersama teman-teman saat berhasil menemukan rumah satu sama lain.

Sadar kami di sini tidak untuk makan dan tidur saja, melainkan membantu pekerjaan rumah orang tua asuh kami. Kegiatan hari itu pun kami akhiri dengan mengikuti misa di gereja sekitar pukul 18.00 WIB.

Aktivitas di Pedesaan

Hari kedua, Sabtu, 14 Juni 2025, kami bangun pagi sekitar pukul 05.00 WIB untuk mulai beraktivitas.

Kami mengikuti aktivitas sehari-hari orang tua asuh seperti pergi ke ladang, sawah, memberi makan ternak, memerah susu sapi, atau membuat kudapan tradisional seperti gemblong atau kicimpring.

“Ini terbuat dari apa ibu?” tanya salah satu siswa penasaran akan bahan baku hidangan tradisional setempat.

Kami mulai merasakan bahwa hidup dalam kesederhanaan ternyata sangat menyenangkan. Dengan keadaan handphone kami yang dikumpulkan, kami mulai merasa bermain bersama teman–teman jauh lebih menyenangkan daripada menatap handphone seharian.

Siangnya, sekitar pukul 13.00 WIB sampai 16.00 WIB, kami mengikuti kegiatan demo masak. Kami belajar memasak makanan tradisional yang menjadi salah satu mata pencaharian di sana, seperti memasak kicimpring, tape ketan, bola susu, dan karamel susu.

Ternyata dari bahan-bahan tradisional yang ditanam sendiri, bisa dihasilkan makanan yang nikmat bahkan menjadi cara warga Desa Cisantana bertahan hidup.

Misa Gereja

Kegiatan hari kedua kembali kami akhiri dengan misa di gereja sekitar pukul 18.00 WIB. Kegiatan misa kali ini jauh lebih spesial dan berkesan karena dilaksanakan dengan Bahasa Sunda.

Meski tidak paham Bahasa Sunda, kami mengikuti misa dengan tenang, melihat penduduk desa Cisantana yang terlihat hangat dan tenteram mengikuti misa tersebut.

Setelah itu, sebagian dari kami juga diajak mengikuti kegiatan doa arwah di rumah warga sekitar. Hari kedua pun kami akhiri dengan tidur nyenyak.

Berkunjung ke Botanika dan Curug

Pada hari ketiga, Minggu, 15 Juni 2025, banyak kami habiskan bersama teman-teman. Setelah bangun pukul 5 pagi dan membantu kegiatan keseharian orang tua asuh, kami pergi bersama teman-teman ke tempat wisata seperti ke Botanika dan Curug.

Kami menggunakan transportasi angkot dengan biaya pulang-pergi sekitar Rp150.000. Kami sangat menikmati kesederhanaan yang ada. Uang Rp150.000 kami kumpulkan dengan cara membagi rata dari tiap orang per kendaraan angkot.

Benar-benar, menikmati pemandangan alam sangatlah menyenangkan dan menyejukkan hati. “Pemandangannya bagus banget yah!” ujar salah satu dari kami sambil mengabadikan pemandangan tersebut lewat handphone genggamannya.

Tak hanya ke taman wisata, beberapa dari kami pergi mengunjungi anak-anak sekolah minggu untuk memberikan bantuan sosial serta sekadar berkenalan dan bermain bersama anak-anak di sana.

Sungguh sederhana namun bermakna besar. Kegiatan hari ketiga pun kami akhiri dengan melihat keseharian orang tua asuh kami, seperti pergi ke ladang ataupun sawah.

Lalu, ada juga aktivitas doa arwah di rumah warga sekitar sekitar pukul 6 sore. Setelah itu, kami langsung bergegas ke rumah masing-masing dan mulai berkemas untuk esok hari.

Hari keempat, Senin, 16 Juni 2025, yakni hari terakhir. Banyak duka yang kami rasakan saat harus meninggalkan Desa Cisantana. Di desa yang penuh orang-orang sopan dan sangat membantu kami, kami merasa sangat sedih harus meninggalkan desa ini.

“Sehat–sehat ya pak bu, terimakasih sudah menjaga kami 4 hari ini”, ucap kami kepada orang tua asuh kami masing-masing.

Banyak Pelajaran Berharga

Banyak hal yang kami pelajari di desa ini, mulai dari kesederhanaan, sopan santun, hingga tutur kata yang baik. Kami pun berpamitan dari rumah orang tua asuh kami masing–masing lalu pergi ke gereja untuk berkumpul sekitar pukul 07.30 WIB.

Selanjutnya, kami mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di Cirebon, mengisi keseharian kami sebelum akhirnya bertemu kembali dengan orang tua kami masing-masing di rumah.

Pertama, kami mengunjungi Gua Maria sekitar pukul 08.00 sampai pukul 11.00 WIB, dan melakukan aktivitas Jalan Salib serta misa.

Meski kelelahan berjalan dalam waktu yang lama, kami tetap mengikuti misa dengan tenteram dan khidmat, menikmati detik-detik terakhir kami berada di Cirebon.

Bersama Romo, kami diajari banyak hal yang berkaitan dengan kesederhanaan hidup dan bagaimana cara kita untuk bersyukur serta memandang rencana Tuhan untuk hidup kita ke depan.

Selanjutnya, kami pergi ke Wisata Arunika sekitar pukul 12.00 WIB setelah makan siang bersama di bus. Wisata Arunika menjadi tempat yang sangat berkesan bagi kami.

Di sana kami diberi waktu bebas untuk melakukan hal-hal yang kami inginkan, mulai dari berfoto ria, melakukan aktivitas outbond, atau sekadar makan dan minum sambil bersenda gurau.

Tak kami sangka, kami yang seharusnya sudah pergi ke Taman Doa pukul 15.00 WIB justru terjebak hujan deras di Wisata Arunika.

“Hujan deras nih, kita pulangnya gimana?” ujar kami khawatir tidak bisa melanjutkan ke destinasi wisata selanjutnya.

Namun, hujan deras tidak meluluhkan perasaan bahagia kami. Kami justru semakin bahagia bisa mendapat waktu lebih untuk bercengkrama dengan para guru dan teman-teman kami.

Banyak hal lucu dan menyenangkan yang kami bahas di sana, sungguh momen yang menghangatkan hati.

Tak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB sehingga kami memutuskan untuk kembali ke bus dalam keadaan masih gerimis kecil untuk pulang ke rumah karena waktu yang tidak memungkinkan kami untuk sekadar mampir ke Taman Doa.

Tak sedih, kami melanjutkan perjalanan dengan hati bahagia. Banyak dari kami yang dipanggil maju ke depan hanya untuk bernyanyi/karaoke dan menghibur kami semua yang mendengarnya.

“Namamu nona, pariban dari kota Jakarta…” senandung teman kami yang menghibur seisi bus. Setelah bersenda gurau serta makan malam bersama, kami mulai kelelahan dan memutuskan untuk tidur di bus.

Ketika bangun, jam sudah menunjukkan pukul 21.50 WIB dan kami sudah berada di dekat sekolah kami, kurang lebih sekitar 5 menit lagi untuk sampai di sana.

Kami kemudian berkemas di bus, lalu turun di Vianney sekitar pukul 21.55 WIB. Di sana banyak orang tua kami yang sudah menunggu dengan tatapan rindu.

Kami melepas rindu kami di sana dengan memeluk orang tua masing-masing lalu melanjutkan perjalanan pulang ke rumah baik menggunakan motor ataupun mobil.

Kegiatan live in ini bukan hanya menjadi pengalaman yang tak terlupakan, tetapi juga pelajaran hidup yang sangat berharga. Kami, murid SMA Vianney, belajar untuk lebih bersyukur atas segala hal yang kami miliki.

Hidup bersama warga Desa Cisantana mengajarkan kami arti kesederhanaan, kerja keras, serta pentingnya tata krama dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pengalaman memotong rumput, mengurus ternak, hingga membuat kudapan tradisional, kami menyadari betapa berharganya nilai-nilai kehidupan yang sering kali luput kami syukuri.

Semua ini membantu membentuk kami menjadi pribadi yang lebih santun dalam bersikap dan bertutur kata.

Selaku sekolah Vianney, kegiatan ini merupakan salah satu wujud nyata dalam menanamkan semangat kebangsaan kepada para siswa secara langsung.

Melalui pengalaman hidup bersama masyarakat, kami dididik untuk menjadi generasi muda yang beradab, bermoral, dan berbudaya.

Dengan demikian, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia tidak hanya dipelajari di kelas, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan nyata yakni di Desa Cisantana, Kuningan, Cirebon. (*)

Oleh: Caroline Kurniawan/XI-2

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

One thought on “Keseruan Program Live In SMA Vianney: Empat Hari, Sejuta Pelajaran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Promo