
Oleh: Badat Alauddin *)
SUARAMUDA, SEMARANG – Pada 22 April 2025 lalu, terjadi pembunuhan terhadap wisatawan yang mengunjungi padang rumput Lembah Baisaran dekat kota Pahalgam, di wilayah Kashmir bagian India (J&K).
Dua puluh empat korban adalah penganut Hindu, sementara satu lainnya adalah Kristen dan satu Muslim.
Tanpa memikirkan keselamatannya, Syed Adil Hussain Shah menghadapi para penyerang, melindungi saudaranya yang lain, hingga akhirnya ia kehilangan nyawanya sendiri.
Kemungkinan besar, tindakannya terinspirasi oleh ayat Quran Al-Maidah ayat 32, yang menyatakan bahwa “menyelamatkan satu jiwa berarti menyelamatkan seluruh umat manusia“.
Ia meninggal sesuai dengan keyakinannya sebagai seorang Muslim. Kendati demikian, fakta yang membuktikan bahwa tindakan teror bukan berakar dari satu agama tertentu.
Wilayah Kashmir terletak di bagian utara anak benua India dan berbatasan dengan India, Pakistan, serta China.
Secara geografis, wilayah ini terdiri dari pegunungan tinggi dan lembah subur, Kashmir memiliki sejarah panjang sebagai pusat budaya dan perdagangan, dengan populasi yang beragam secara etnis dan agama.
Namun, sejak kemerdekaan India dan Pakistan pada tahun 1947, wilayah ini justru menjadi sumber sengketa antara kedua negara.
India menguasai Jammu, Lembah Kashmir, dan Ladakh, sementara Pakistan mengendalikan wilayah Azad Jammu dan Kashmir serta Gilgit-Baltistan. China juga menguasai wilayah Aksai Chin setelah konflik dengan India pada tahun 1962.
Perdamaian di Kashmir mulai retak berawal dari keputusan Maharaja Hari Singh, penguasa Kashmir saat itu, yang memilih bergabung dengan India setelah pasukan Pakistan memasuki wilayahnya pada 26 Oktober 1947.
Keputusan ini memicu Perang India-Pakistan pertama pada tahun 1947-1948, yang berakhir dengan gencatan senjata dan pembagian wilayah sesuai dengan Garis Gencatan Senjata yang kemudian dikenal sebagai Line of Control (LoC).
Sejak saat itu, India dan Pakistan telah berperang beberapa kali untuk memperebutkan Kashmir, termasuk pada tahun 1965 (Operasi Gibraltar) dan 1999 (Kargil).
Konflik ini terus berlanjut hingga kini, dengan berbagai ketegangan politik dan militer yang masih terjadi di wilayah tersebut.
Terbaru pada 7 Mei 2025 lalu, India melancarkan Operasi Sindoor India melintasi Line of Control dan perbatasan internasional menjatuhkan rudal di beberapa lokasi di Pakistan yang merengut korban jiwa dari sipil.
Pakistan membalas serangannya dengan operasi “Bunyan Un Marsoos” yang menarget beberapa fasilitas militer India. Pertempuran akhirnya berhenti setelah ditengahi Amerika Serikat dengan gecatan senjata di kedua belah pihak.
Melihat jatuhnya korban dari pihak sipil, harusnya perdana Menteri India, Narendra Modi memikirkan matang-matang perkataan seniornya mantan Perdana Menteri India AB Vajpayee: “Hum jang na honay daynge; khoon ka rang na honay daynge” (Kami tidak akan membiarkan perang, atau menumpahkan darah) sebelum melakukan operasi itu.
Vajpayee membacakan syair ini sesaat setelah Deklarasi Lahore pada tahun 1999, Ia mengakui bahwa India menerima kenyataan pahit Pakistan sebagai saudaranya.
Ambisi Dua Saudara Satu Bangsa
Ahli Strategi China pernah berkata “Seni perang yang tertinggi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur”. Dan India dan Pakistan memang berhasil menghindari konflik yang lebih besar setelah gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat.
Meskipun pertempuran telah berakhir, masih ada kekhawatiran mengenai kestabilan pasca ceasefire tersebut.
Konfrontasi militer selama empat hari ini adalah salah satu yang paling intens dalam beberapa dekade, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh pemerintahan India yang dipimpin Modi dan partai BJP nya.
Di bawah kepemimpinan Narendra Modi, India menerapkan kebijakan geopolitik yang agresif sebagai bagian dari strategi pembangunan nasionalnya.
Salah satu langkah penting yang diambil adalah pencabutan Pasal 370, yang sebelumnya memberikan otonomi khusus bagi negara bagian Jammu dan Kashmir, serta pembatasan terhadap Indus Water Treaty (Perjanjian Perairan Indus).
Langkah-langkah ini tampaknya bertujuan untuk sepenuhnya mengintegrasikan Kashmir ke dalam India tanpa mempertimbangkan aspirasi dan keinginan masyarakat setempat.
Islamabad merespon serangan ini dengan kekuatan yang tidak diduga India, sehingga mengubah dinamika pertempuran dengan cepat.
Dalam beberapa jam setelah serangan dimulai, PAF (Angkatan udara Pakistan) berhasil menembak jatuh lima pesawat tempur India, tiga diantaranya berjenis Rafale bikinan Perancis yang digadang-gadangkan sebagai generasi teranyar pesawat tempur canggih.
Pakistan berusaha mengukuhkan posisinya “Bersama masyarakat Kashmir” yang mayoritas islam untuk melindungi saudara seimannya.
Antara Luka dan Cinta di Kashmir
Kashmir seharusnya tidak dilihat sebagai “bancakan” bagi India-Pakistan. Luka yang terus ditimbulkan mengingatkan pada persoalan yang belum terselesaikan sejak 1947 silam.
Dan hingga saat ini wilayah ini menjadi simbol konflik berkepanjangan. Sebagian besar penduduknya juga lelah, lebih memilih untuk tidak terjebak dalam ketegangan yang dipicu oleh negara-negara tetangga mereka.
Mereka ingin hidup damai, anak-anak Kashmir ingin bermain cricket (olahraga popular di Asia Selatan) layaknya anak-anak di India-Pakistan pada umumnya.
Gencatan senjata yang berlaku saat ini telah memberi kedua negara ruang untuk fokus pada ekonomi masing-masing yang belum stabil.
Demikian pula, penting untuk memulihkan stabilitas politik di kedua negara yang juga sedang berkecamuk.
Negara yang pecah secara politik dan konflik di dalamnya membuat negara itu sangat rentan terhadap serangan musuh. Seorang Jendral AS, William Westmoreland pernah berujar “The military don’t start wars, Politicians start wars”.
Untuk mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan di Kashmir, kedua negara harus membuka dialog yang jujur dan konstruktif.
Hal ini mungkin menjadi tantangan bagi pemerintahan BJP, yang memiliki visi Hindu revivalis dan tetap berpegang pada gagasan “Akhand Bharat” (Kesatuan Seluruh Hindustan).
Namun, jika terus mempertahankan pandangan ideologis tersebut tanpa mencari solusi bersama dengan Pakistan, India berisiko merugikan dirinya sendiri di mata Dunia.
Jika pendekatan dialog tidak diambil, maka ketegangan dan permusuhan akan terus berlanjut tanpa akhir yang jelas. Oleh karena itu, komunitas internasional perlu meningkatkan upaya diplomatik untuk mengurangi ketegangan, sementara media dan masyarakat sipil di kedua negara harus menghentikan narasi yang memperkeruh situasi dan memicu konflik.
Banyak hal yang bisa kita jadikan pembelajaran saat kita berdamai, berusaha bangkit dari keterpurukan. Mengutip kata Mantan Presiden AS, Benjamin Franklin “There never was a good war, or a bad peace”. Senada dengan pepatah Jawa “rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”.
*) Badat Alauddin, mahasiswa Islamic International University Islamabad, Pakistan; Peneliti Peace & Conflict Studies Kawasan Asia Selatan di Pakistan Center GP Ansor dan Kepala Bidang Hukum, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia