Oleh: Ach. Fadhail*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Ketika Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, meresmikan pembangunan Tugu Keris di Kabupaten Sumenep pada 30 Januari 2025, banyak yang menyambutnya dengan bangga.
Tugu itu disebut sebagai bentuk penghargaan terhadap 544 empu keris yang tersebar di kabupaten ujung timur Pulau Madura tersebut. Namun, pertanyaan yang patut diajukan: apakah pembangunan tugu ini cukup sebagai penghormatan terhadap warisan budaya luhur seperti keris?
Pembangunan monumen memang penting sebagai penanda sejarah dan simbol identitas daerah. Tetapi simbol, tanpa makna dan partisipasi masyarakat, hanya akan menjadi artefak diam — indah dipandang, namun hampa dari nilai hidup.
Dalam konteks ini, Tugu Keris seharusnya tidak berhenti pada fungsi estetika, melainkan juga menjadi wadah edukasi dan ruang interaksi budaya antara masyarakat lokal, pengrajin, serta generasi muda.
Dari Simbol ke Substansi
Menurut teori modernisasi yang dikemukakan Hidayaturrahman, pembangunan seharusnya menjadi proses linear dari tradisionalisme menuju modernitas—bukan dengan menanggalkan nilai-nilai lama, tetapi dengan mentransformasikannya agar relevan dengan zaman.
Artinya, pembangunan tugu sebagai simbol fisik harus disertai dengan penguatan nilai-nilai kultural yang melatarbelakanginya.
Keris, sebagai warisan budaya takbenda yang diakui UNESCO, memiliki filosofi mendalam tentang spiritualitas, estetika, dan identitas Nusantara. Kabupaten Sumenep yang dikenal sebagai pusat empu keris terbesar di Indonesia semestinya tidak berhenti pada kebanggaan simbolik.
Pemerintah daerah bisa melangkah lebih jauh dengan menghadirkan museum keris di sekitar tugu tersebut — sebuah ruang yang tidak hanya memamerkan keindahan, tetapi juga menceritakan sejarah, makna, dan perjalanan panjang empu keris dari generasi ke generasi.
Menghidupkan Ekonomi dan Edukasi Budaya
Museum keris bukan hanya tempat penyimpanan artefak, tetapi juga pusat edukasi publik dan destinasi wisata budaya. Di sinilah nilai tambah ekonomi dapat tumbuh.
Para empu keris dan pegiat budaya lokal bisa dilibatkan sebagai pemandu wisata, pengrajin demonstratif, maupun narasumber budaya.
Selain menciptakan lapangan kerja baru, hal ini juga menjadi cara konkret untuk menanamkan rasa bangga terhadap budaya sendiri kepada masyarakat, terutama generasi muda yang kian jauh dari akar tradisi.
Lebih jauh lagi, keberadaan museum akan memperluas daya tarik wisatawan, tidak hanya domestik tetapi juga mancanegara.
Wisatawan asing yang tertarik pada spiritualitas dan seni tradisional Jawa-Madura akan datang untuk belajar langsung dari sumbernya.
Ketika hal itu terjadi, maka local pride bertemu dengan local prosperity — kebanggaan budaya yang berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat.
Budaya yang Hidup, Bukan yang Dihidup-hidupkan
Pembangunan tugu tanpa narasi dan aktivitas hanyalah tumpukan beton yang indah. Tapi pembangunan yang diiringi dengan pelibatan masyarakat dan pemaknaan ulang nilai budaya akan menjadikan tugu itu bernyawa.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah dan komunitas budaya untuk mengawal agar Tugu Keris Sumenep tidak berhenti sebagai proyek monumental, melainkan menjadi ruang hidup bagi warisan budaya bangsa.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar tugu. Kita butuh kesadaran — bahwa budaya tidak cukup diabadikan lewat simbol, tapi harus dihidupkan melalui edukasi, partisipasi, dan kolaborasi lintas generasi. (Red)
*) Ach. Fadhail, Mahasiswa FISIP, Universitas Wiraraja, Sumenep, Jawa Timur