
SUARAMUDA, SEMARANG — Kenakalan remaja merupakan fenomena sosial yang semakin memprihatinkan di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, perilaku negatif yang dilakukan oleh remaja tidak lagi sebatas kenakalan biasa, melainkan telah bergeser ke arah tindak kriminalitas seperti pencurian, tawuran, perampokan, bahkan kekerasan yang lebih serius.
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran kualitas kenakalan yang menuntut perhatian serius dari berbagai pihak, terutama dalam hal pendidikan karakter sebagai solusi utama.
Karakteristik Remaja
Remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, psikologis, serta sosial-emosional yang sangat signifikan.
Pada masa ini, remaja cenderung mencari identitas dan kemandirian, yang sering kali membuat mereka resisten terhadap aturan dan norma yang ada.
Karakteristik ini, jika tidak diarahkan dengan baik, dapat memicu perilaku menyimpang atau kenakalan remaja.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar remaja yang terlibat dalam tindakan kriminal memiliki latar belakang masalah keluarga, seperti perceraian orang tua, masalah ekonomi, atau kurangnya pengawasan dari keluarga.
S. Willis (2014) dalam bukunya yang berjudul “Remaja dan Masalahnya” menulis, kenakalan remaja merupakan perbuatan yang dilakukan oleh remaja yang melanggar hukum, agama, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sehingga, dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain, mengganggu ketenteraman masyarakat umum, termasuk dirinya sendiri.
Fenomena Kenakalan Remaja
Fenomena kenakalan remaja ini semakin kompleks karena tidak hanya berasal dari faktor internal, tetapi juga eksternal.
Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan, misalnya, turut memicu meningkatnya potensi konflik antarremaja, seperti tawuran antarsekolah yang menjadi salah satu bentuk kenakalan remaja yang paling sering terjadi.
Statistik dari Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta (2009) menunjukkan bahwa sekitar 0,08 persen dari siswa SD, SMP, dan SMA terlibat dalam tawuran, dan angka ini terus meningkat dari tahun ke tahun.
Hal ini menunjukkan bahwa kenakalan remaja bukan hanya persoalan individu, tetapi juga masalah sosial yang harus ditangani secara kolektif.
Memperkuat kekhawatiran tersebut, data terbaru dari awal tahun 2025 menunjukkan bahwa ratusan anak di bawah usia 17 tahun terlibat sebagai terlapor dalam berbagai kasus tindak pidana di Indonesia.
Empat jenis tindak kejahatan yang paling banyak melibatkan anak-anak adalah pencurian, penganiayaan dan pengeroyokan, narkoba, serta perkelahian antarpelajar dan mahasiswa.
Khusus untuk pencurian, tercatat 17.241 perkara dengan 437 anak di bawah umur sebagai terlapor. Kasus penganiayaan dan pengeroyokan bahkan melibatkan 460 anak, lebih tinggi dibanding pencurian.
Kasus narkoba juga mengkhawatirkan dengan 349 anak terlibat, dan perkelahian antarpelajar melibatkan 7 anak di bawah umur.
Data ini menunjukkan bahwa kenakalan remaja bukan hanya persoalan individu, tetapi juga masalah sosial yang harus ditangani secara kolektif dengan pendekatan yang komprehensif.
Kunci Atasi Kenakalan Remaja
Pendidikan karakter menjadi kunci utama dalam mengatasi masalah kenakalan remaja. Model pendidikan ini tidak hanya mengajarkan nilai-nilai moral dan etika, tetapi juga membentuk kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan kemampuan mengendalikan diri.
Peran orang tua, sekolah, dan masyarakat sangat penting dalam proses ini. Orang tua harus mampu memberikan pola asuh yang baik dan komunikasi yang bersahabat agar remaja merasa didukung dan dipahami.
Sekolah perlu menyediakan ruang bagi remaja untuk menyalurkan energi dan kreativitasnya melalui kegiatan ekstrakurikuler yang positif tanpa tekanan berlebihan untuk prestasi semata.
Masyarakat juga harus menciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan contoh kehidupan yang sesuai dengan norma hukum dan sosial.
Sayangnya, tidak semua orang tua memahami bagaimana bersikap terhadap perubahan anaknya selama masa remaja.
Banyak orang tua yang justru semakin mengekang kebebasan anak tanpa memberikan ruang bagi mereka untuk menyampaikan pendapat atau membela diri.
Akibatnya, konflik keluarga sering terjadi, yang dapat memicu pemberontakan dan perilaku negatif pada remaja.
Oleh karena itu, pendekatan yang humanis dan edukatif menjadi sangat penting agar remaja merasa dihargai dan didukung, bukan dikekang atau dihakimi.
Selain itu, penanganan kenakalan remaja harus mempertimbangkan aspek psikologis individu. Remaja yang mengalami konflik internal atau tekanan sosial lebih rentan melakukan tindakan negatif.
Pendekatan pemidanaan yang keras justru dapat merusak masa depan mereka, sehingga solusi yang lebih efektif adalah sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan komunitas untuk menciptakan sistem pendukung yang kuat bagi remaja.
Pendekatan ini harus mengedepankan pemahaman psikologis dan memberikan ruang bagi remaja untuk berkembang secara sehat.
Penting juga untuk memahami bahwa masa remaja terdiri atas beberapa fase dengan karakteristik yang berbeda, yaitu adolesensi dini, menengah, dan akhir.
Pada fase adolesensi dini, remaja mulai menunjukkan preokupasi seksual yang tinggi dan cenderung renggang dengan orang tua, membentuk kelompok kawan yang erat, namun perilaku mereka masih kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada fase menengah, hubungan dengan lawan jenis mulai meningkat, dan remaja mulai mengkritik keluarga serta masyarakat.
Pada fase akhir, remaja mulai lebih matang secara emosional dan sosial, namun jika kondisi tidak mendukung, mereka dapat mengalami kesulitan jiwa yang serius.
Oleh karena itu, bimbingan yang bijaksana dan berkelanjutan sangat diperlukan pada setiap fase ini agar remaja dapat berkembang secara optimal dan terhindar dari kenakalan.
Dalam konteks pendidikan formal, integrasi pendidikan karakter dalam kurikulum sekolah menjadi sangat penting.
Guru dan tenaga pendidik harus menjadi teladan dan fasilitator yang mampu membimbing remaja menghadapi tantangan masa remaja.
Sekolah harus menyediakan kegiatan yang tidak hanya berorientasi pada prestasi akademik, tetapi juga pengembangan karakter dan soft skills yang dapat membantu remaja mengelola emosi serta berinteraksi sosial secara positif. (Red)
Penulis: Abdurrahman Ahmad Ridha, mahasiswa Sosiologi, Universitas Islam Negeri Walisongo