
Oleh: Irsyad Maulana*)
SUARAMUDA, SEMARANG — Ungkapan “Banyak Anak, Banyak Rezeki” telah lama mengakar dalam kultur masyarakat di Indonesia. Bahkan, seringkali ungkapan tersebut digunakan sebagai dalih untuk menolak program keluarga berencana.
Doktrin ini tampak sederhana dan optimis yaitu semakin banyak anak, maka akan semakin banyak pula pintu rezeki yang didapatkan dan terbuka.
Namun, apakah pandangan ini memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, ekonomi, dan agama?
Artikel ini hendak dimaksudkan untuk menelaah secara kritis paradigma tersebut, sembari membandingkannya dengan realitas kehidupan modern sekarang ini.
Serta, mempertimbangkan hadist Nabi Muhammad SAW yang sering dijadikan landasan bahwa memperbanyak keturunan adalah sebuah kebanggaan di akhirat kelak.
Anak Bukan Komoditas
Menyoal terkait “Banyak Anak, Banyak Rezeki” dalam frasa ini, meski terdengar begitu religius dan seringkali digunakan dalam konteks pragmatis yang justru bertolak belakang dengan tujuan utama membangun keluarga sakinah.
Sejujurnya dalam kenyataan sosial yang terjadi, jumlah anak yang banyak tidak serta-merta berarti rezeki yang melimpah.
Justru malah sebaliknya, dalam banyak kasus keterbatasan sumberdaya ekonomi menyebabkan anak-anak tersebut dapat terabaikan secara pendidikan, kesehatan, dan kasih sayang.
Anak bukanlah komoditas, mereka bukan alat investasi untuk jangka panjang, bukan pula sebagai jaminan nanti di masa tua.
Akan tetapi, menjadikan anak sebagai jembatan harapan rezeki tanpa kesiapan fisik, mental, dan finansial, adalah bentuk kekeliruan dalam memahami konsep tanggung jawab sebagai orang tua.
Telaah kritis dalam perspektif Islam yang mana mendorong pernikahan dan keturunan sebagai bagian dari sunnah Nabi.
Dalam sebuah hadist: “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2383).
Jadi Dasar Legitimasi?
Hadis tersebut seringkali kerap dijadikan orang-orang muslim sebagai dasar legitimasi untuk memperbanyak anak.
Namun sejatinya, perlu dipahami mendalam secara kontekstual bahwasannya Nabi tidak hanya berbicara tentang kuantitas, tetapi kualitas umatnya juga.
Jadi, hadist ini muncul dalam semangat membangun peradaban Islam yang kuat bukan sekadar memperbanyak jumlah manusia tanpa memperhatikan hak-hak mereka.
Jika banyaknya anak justru berujung pada kelalaian dalam mendidik, menyantuni, atau menciptakan generasi yang lemah secara akidah, mental, dan ekonomi, maka tujuan hadist tersebut tidak tercapai.
Dalam hal ini, doktrin “banyak anak, banyak rezeki” bisa bertentangan dengan maqashid syariah, yang menekankan perlindungan terhadap jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Bersikap proporsional bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas umat Islam yang diperintahkan untuk bertanggung jawab, tidak hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam membina keluarga.
Menikah dan memiliki anak memang merupakan anjuran yang mulia. Namun, Islam tidak pernah memerintahkan untuk memiliki anak secara tidak terbatas tanpa perencanaan.
“Banyak Anak, Banyak Rezeki” Perlu Dikaji Ulang
Rasulullah SAW sendiri adalah contoh orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya dan generasi muda pada zamannya.
Maka, memiliki sedikit anak tetapi mampu membentuk mereka menjadi insan yang taat, cerdas, dan bermanfaat jauh lebih utama daripada memiliki banyak anak namun terlantar dari segi pendidikan dan kasih sayang.
Pernyataan “banyak anak, banyak rezeki” bukanlah menjadi dalil mutlak, melainkan ungkapan budaya yang perlu dikaji ulang lagi.
Islam tidak melarang untuk memilki banyak anak, tetapi menekankan tanggung jawab yang besar atas mereka.
Hadist Nabi tentang kebanggaan akan banyaknya umat di hari kiamat tidak serta-merta membenarkan kelahiran anak-anak tanpa perencanaan matang.
Anak bukan komoditas. Mereka adalah amanah dan investasi akhirat yang memerlukan perhatian, kasih sayang, dan pendidikannya yang harus diperispakan dengan penuh.
Jika kita benar-benar ingin menjadi bagian dari umat yang dibanggakan Nabi, maka kualitas anak-anak kitalah yang harus menjadi prioritas dan memepersiapkannya secara matang. (Red)
*) Irsyad Maulana, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang