SUARAMUDA, KUDUS– Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui utusan malaikat Jibril. Mukjizat ini dituliskan dalam mushaf dan merupakan suatu kewajiban untuk disampaikan kepada umat manusia.
Tujuannya adalah agar Al-Qur’an dibaca, dipahami, dan dijadikan pedoman dalam kehidupan, sehingga kita dapat menemukan kebahagiaan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Al-Qur’an mengajak umat manusia untuk merenungkan ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Selain memberikan keyakinan dan mengungkapkan kebenaran Ilahi, Al-Qur’an juga menawarkan solusi baru melalui penyesuaian dengan perkembangan dan kondisi umat Muslim.
Tentunya, hal ini harus dilakukan tanpa mengorbankan prinsip dasar dan dengan tetap menghormati ajaran yang tidak tercantum dalam ijtihad para ulama.
Dalam Islam, terdapat enam rukun iman yang harus diyakini, yaitu: iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul, iman kepada hari akhir, serta iman kepada qodho dan qodhar Allah.
Iman dan keyakinan akan keberadaan Allah SWT adalah yang paling fundamental. Seorang Muslim yang tidak percaya atau meragukan keberadaan Allah sejatinya berada dalam kesesatan yang nyata.
Namun, sering kali kita mempertanyakan tentang keberadaan Allah, benarkah Dia ada, dan di manakah Dia berada?
Meskipun kita sebagai umat Islam tidak pernah melihat wujud-Nya ataupun berbicara langsung dengan-Nya, kepercayaan kita tetap teguh. Islam adalah agama yang kaya dan luas, memberi kebebasan kepada para pemeluknya dari keterbatasan semu menuju kebebasan yang hakiki.
Perbedaan dalam Islam
Kebebasan dalam Islam dapat dipahami sebagai keragaman. Ironisnya, perbedaan ini sering dianggap sebagai pertentangan dalam ajaran Islam oleh orang-orang di luar agama tersebut, mirip dengan apa yang juga terjadi dalam kitab-kitab agama lainnya.
Perbedaan yang terjadi dalam agama Islam sejatinya adalah hal yang wajar dan tidak seharusnya dipandang sebagai pertentangan dalam ajaran.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan ini muncul, salah satunya adalah perbedaan pemahaman terhadap makna suatu ayat.
Oleh karena itu, untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik, dibutuhkan pengetahuan yang memadai, termasuk ilmu tentang asbabul nuzul, yaitu sebab-sebab turunnya suatu ayat. Ayat mutasyabihat berasal dari kata “mutasyabih”, yang memiliki asal kata “tasyabuh”.
Dalam bahasa, tasyabuh berarti serupa atau sama, yang umumnya mengarah pada kesamaran antara dua hal. Kata-kata seperti tasyabaha, isytabaha, dan asybaha menggambarkan keadaan di mana dua hal menjadi mirip dan membingungkan satu sama lain.
Dalam konteks terminologi, ayat mutasyabihat merujuk kepada ayat-ayat yang arti dan maknanya belum sepenuhnya jelas, sering kali memiliki berbagai kemungkinan takwil, atau makna yang tersembunyi, sehingga membutuhkan penjelasan khusus. Dalam beberapa kasus, hanya Allah SWT yang mengetahui hakikat maknanya.
Contohnya, dalam Surah Thaha (20) ayat 5, Allah digambarkan sebagai “Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arasy”.
Sebagian besar ayat mutasyabihat berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT, dan sulit bagi kita untuk memahami ayat semacam itu secara harfiah.
Penafsiran literal sering kali dapat menimbulkan kesan bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat kekurangan yang sama dengan makhluk ciptaan-Nya. Salah satu contoh ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang keberadaan Allah SWT terdapat dalam surat Thaha (20) ayat 5.
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى٥
Dalam ayat yang disebutkan, Allah SWT adalah Yang Maha Pengasih dan bersemayam di atas ʻArsy. Sementara itu, di Surah Al-Baqarah (2) ayat 115, dinyatakan bahwa Allah ada di berbagai tempat di muka bumi.
Dalam Surah Ash-Shaaffaat (37) ayat 99, terdapat kisah Nabi Ibrahim a. s. yang berkeinginan untuk berangkat menghadap Tuhan, yang mengarahkannya menuju kota Palestina. Jika kita menafsirkan ayat-ayat ini secara harfiah, muncul kesan bahwa Allah SWT berada di tiga tempat.
Sebagian besar ulama sepakat menggolongkan ayat-ayat ini sebagai ayat mutasyaabihat, yang berarti maknanya tidak dapat dipahami secara langsung. Oleh karena itu, untuk memahami ayat-ayat ini dengan tepat, kita perlu merujuk kepada ayat-ayat muhkamat.
Ayat muhkamat adalah lawan dari ayat mutasyaabihat. Istilah ini merujuk pada ayat-ayat dengan makna yang jelas dan tegas, tanpa keraguan. Pengetahuan tentang ayat muhkamat merupakan pengetahuan yang tidak menimbulkan pertanyaan.
Sebagai contoh, dalam membahas keberadaan Allah SWT, kita dapat merujuk pada kalam-Nya di Surah Asy-Syura (42) ayat 11 yang berbunyi:
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”.
Dari ayat ini, kita memahami bahwa keberadaan Allah SWT tidak terbatas hanya pada ruang atau tempat tertentu, karena tiada sesuatu pun yang mirip dengan-Nya. Oleh sebab itu, penting untuk memahami tempat dan keberadaan-Nya dengan cara yang sejalan dengan ajaran-Nya.
Keberadaan Allah melampaui kemampuan dan pemahaman manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dalam upaya memahami ayat-ayat dan hadis yang memiliki makna serupa, para ulama mulai dari zaman para sahabat, tabi’in, hingga tabi’ at-tabi’in hingga saat ini, telah menggunakan dua metode untuk menafsirkan ayat mutasyabihat.
Pertama adalah Tafwidh, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah Swt. Kedua adalah Ta’wil, yaitu memberikan penafsiran berdasarkan konteks.
Dengan pemahaman yang jelas mengenai perbedaan antara ayat mutasyabihat dan ayat muhkamat, seseorang akan lebih teliti dalam mempelajari arti yang terdapat dalam Al-Qur’an. Namun, penting untuk menyadari bahwa menguasai hakikat ini memerlukan waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, sangat diperlukan guru atau pengajar yang kompeten untuk membimbing dalam memahami ilmu agama Islam.Secara singkat, ayat muhkamat adalah ayat yang maknanya sudah jelas dan tidak samar lagi, sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang makna atau terjemahannya masih belum jelas.
Makna Istawa’ (Bersemayam)
Dalam kitab Mu’jam Maqaṭiʿ al-Lughah, dijelaskan bahwa kata “istawa’” berasal dari akar kata “sawiya” (yang terdiri dari huruf sin, wau, dan ya). Kata ini mengandung makna tegak dan lurus, yang berkaitan dengan konsep “istiqaamah” (kekompakan atau konsistensi).
Selain itu, “istawa’” juga merujuk pada kesamaan antara dua hal, seperti dalam ungkapan “hadza la yusawi kadza” (ini tidak sama dengan yang itu), atau dalam pernyataan “fulan wa fulan ‘ala sawiyyatin min hadza al-amr” (si fulan dan si fulan sama dari segi ini).
Konteks ini semakin jelas dalam Al-Qur’an, di mana istilah “beristiwa’” atau “bersemayam” disebutkan sebanyak sembilan kali dalam ayat-ayat yang merujuk kepada Allah SWT yang bersemayam di atas ‘Arsy.
Pengulangan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa surat, antara lain: Surat Yunus (10): ayat 3, Surat ar-Ra’d (13): ayat 2, Surat Thaha (20): ayat 5, Surat al-Furqan (25): ayat 59, Surat al-Qasas (28): ayat 14, dan Surat as-Sajdah (32): ayat 4, serta Surat Fushilat (41): ayat 11.
Dalam Surat an-Najm (53) ayat 6 dan Surat Al-Hadid (57) ayat 4, terdapat penjelasan bahwa Allah SWT bersemayam di atas ‘Arsy.
Kata “istawa” dalam bahasa Arab memiliki berbagai makna. Pertama, “istiwa” dapat dipahami sebagai “mencapai kesempurnaan”. Sebagai contoh, dalam Surat Al-Qashas (28) ayat 14, Allah berfirman mengenai Nabi Musa AS:
“Setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami menganugerahkan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Kedua, “istawa” dapat berarti “bertempat atau menetap” (at-Tamakkun Wa al-Istiqrar). Contoh dari makna ini terdapat pada firman Allah SWT mengenai perahu Nabi Nuh AS dalam Surat Hud (11) ayat 44: “Difirmankan (oleh Allah):
“Wahai bumi, telanlah airmu dan wahai langit, berhentilah (mencurahkan hujan). Air pun disurutkan, urusan (pembinasaan para pendurhaka) pun diselesaikan, dan (kapal itu pun) berlabuh di atas gunung Judiy. Dan dikatakan, ‘Kebinasaanlah bagi kaum yang zalim”.
Dengan demikian, penggunaan kata “istawa” mengandung kedalaman makna yang perlu kita telaah dengan baik.
Ketiga, kata “istiwa” memiliki makna “lurus dan tegak” (al-Istiqamah dan al-I’tidal), sebagaimana diungkapkan dalam Surah Al-Fath (48) 29.
Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya menunjukkan sikap tegas terhadap kaum kafir yang bermusuhan, namun saling menunjukkan kasih sayang di antara mereka.
Kita dapat melihat mereka dalam posisi rukuk dan sujud, senantiasa mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Di wajah mereka, terpancar tanda-tanda bekas sujud yang bercahaya.
Sifat-sifat mereka diungkapkan dalam Taurat dan Injil, diibaratkan seperti benih yang tumbuh tunasnya, kemudian semakin kuat dan besar pada batangnya.
Tanaman itu memberikan kegembiraan bagi orang yang menanamnya. Gambaran ini menunjukkan bahwa Allah ingin menimbulkan kemarahan di hati orang-orang yang menentang. Orang kafir akan mendapati bahwa Allah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar bagi mereka yang beriman dan beramal kebajikan. Ini menunjukkan sikap yang adil dan lurus.
Sebagai ilustrasi, Allah menggunakan perumpamaan tentang tanaman yang tumbuh tegak pada pangkalnya. Dalam Tafsir al-Bahr al-Muhith, Imam al-Mufassir Abu Hayyan Andalusi menyatakan bahwa kata “Fa-Istawa” dalam Surat Al-Fath ayat 29 diartikan sebagai tanaman yang telah tumbuh sempurna di atas pokoknya.
Selanjutnya, istilah “istiwa’” juga berarti “berada di atas atau di tempat yang tinggi,” sebagaimana diungkapkan dalam Surah Al-Mu’minun (23): 28.
Dalam ayat tersebut, Allah berfirman bahwa ketika kita dan orang-orang yang bersama kita berada di atas kapal, kita seharusnya mengucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari kaum yang zalim”.
Di samping itu, istilah “istiwa’” dapat bermakna istawha atau qahara yang berarti menguasai. Sebuah syair menyebutkan bahwa Bishr bin Marwan telah berhasil bertakluk dan menundukkan Irak tanpa mengandalkan kekuatan pedang atau pertumpahan darah.
Dalam konteks ini, “istawa’” dalam arti menguasai memiliki dua pemaknaan. Pertama, menguasai melalui penaklukan dan penguasaan objek yang ditaklukkan (al-Istila’ Ma’a Sabq al-Mughalabah). Kedua, menguasai tanpa perlu melakukan penaklukan terlebih dahulu terhadap objek tersebut (al-Istila’ Min Ghayr Sabq al-Mughalabah).
Kata “istiwā'” mengandung makna “menuju kepada suatu perbuatan” (Qashd asy-Syai’). Ini dapat kita temukan dalam QS. al-Baqarah (2): 29, yang menyatakan, “Dialah (Allah) yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Istilah “istiwā'” juga dapat diartikan sebagai “sama” atau “sepadan” (at-Tamatsul Wa at).
Dalam surah Al-Zumar (39): 9, Allah SWT berfirman, “Apakah orang musyrik lebih beruntung, ataukah orang yang beribadah di malam hari dalam keadaan bersujud dan berdiri, disertai rasa takut terhadap azab akhirat serta mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah (Wahai Muhammad), ‘Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan mereka yang tidak berilmu?’ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran”.
Makna dari kata “yastawî” dalam konteks ayat ini adalah “ya’tadil,” yang berarti sama atau sepadan. Dengan demikian, ayat tersebut ingin menegaskan, “Wahai Muhammad, apakah ada kesetaraan antara orang-orang yang berilmu dan yang tidak berilmu? ” Tentunya, jawabannya jelas bahwa keduanya tidaklah sama.
Sebagai contoh lain dalam bahasa Arab, jika kita mengatakan “Istawa’ al-Qaum Fi al-Mal,” itu berarti bahwa semua orang dalam suatu kaum memiliki harta yang sepadan; tidak ada yang lebih atau kurang.
Selain itu, terdapat pula makna lain dari kata istiwa’, yang berarti “matang atau siap untuk dimakan”, Misalnya, jika kita menggunakan ungkapan “Istawa’ ath-Tha’am,” itu berarti makanan tersebut telah matang dan siap disantap.
Selanjutnya, istilah al-ru’kub wa al-isti’la’ mengacu pada proses menaiki kendaraan dan duduk di atasnya. Hal ini dijelaskan dalam QS. al-Zukhruf (43): 13: “agar kamu dapat duduk di atas punggungnya. Dan setelah kamu duduk (di atas punggungnya), kamu akan mengingat nikmat Tuhanmu dan bersyukur, ‘Mahasuci Zat yang telah menundukkan (semua) ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya”.
Pendapat Para Ulama tentang Keberadaan Allah SWT
Secara umum, para ulama memiliki dua pendekatan dalam memahami istilah “istawa” dan ayat-ayat mutasyabihat lainnya.
Pertama, melalui metode Tafwid, yaitu menyerahkan makna tersebut kepada Allah SWT dan membiarkan ayat-ayat itu dalam keadaan tawaqquf tanpa berusaha menyesuaikan, menggambarkan, atau menangguhkan makna tersebut.
Pendapat ini banyak diikuti oleh para ulama Salaf As-Salih. Khususnya, mengenai makna ayat dalam Surah Thaha ayat 5 yang menyebutkan tentang keberadaan Allah yang bersemayam di atas ‘Arsy, ulama sepakat untuk mengembalikan maknanya kepada Allah SWT.
Imam Malik, ketika ditanya tentang arti dari kata “istiwa’,” menjelaskan bahwa sejak dahulu, para ulama setelah abad ke-3 berusaha untuk menjelaskan makna tersebut dengan cara mengalihkan arti dasarnya. Mereka menafsirkan “bersemayam” sebagai “berkuasa”.
Dengan demikian, istilah “istiwa'” dalam ayat ini menegaskan penguasaan Allah Ta’ala dalam mengendalikan dan mengatur alam semesta. Pemahaman ini selaras dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat kekurangan atau kemakhlukan.
Kedua, metode ta’wil yang diikuti oleh sebagian besar ulama Khalaf dan beberapa ulama Salaf adalah dengan memalingkan makna teks-teks mutasyabihat dari arti literalnya.
Mereka berusaha untuk menempatkan makna tersebut dalam kerangka pemahaman yang konsisten dan selaras dengan ayat-ayat muhkamat lainnya, yang menjamin kesucian Allah dari atribut, posisi, dan bentuk fisik seperti makhluk-Nya.
Dalam hal ini, istiwa’ dalam ayat tersebut diartikan sebagai kekuasaan Allah, sementara istilah “tangan” dalam ayat lain diinterpretasikan sebagai kekuatan dan kemurahan hati.
Selain itu, kata ‘ain (mata) dipahami sebagai pertolongan (‘inayah) dan pemeliharaan (ri’ayah), sedangkan dua jari-jari yang disebutkan dalam hadis diartikan sebagai kehendak (iradah) dan kekuasaan (qudrah) Allah, serta berbagai penafsiran lainnya.
Imam Ibn Katsir memberikan penafsiran terhadap surat Thaha ayat 5, di mana beliau tidak menginterpretasikan ayat mutasyabihat tersebut dengan penjelasan yang mendetail.
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى ٥
Terjemahan: (Dialah Allah) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ʻArasy.
Perlu dicatat bahwa penafsiran untuk ayat semacam ini telah dijelaskan dalam ayat 54 pada Surah Al-Aʻraf, sehingga tidak perlu diulang. Cara yang seharusnya diikuti dalam memahami ayat ini adalah pandangan para ulama salaf yang sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mereka tidak mempertanyakan keberadaan ayat ini, tidak merubah maknanya, tidak menggambarkan-Nya dengan bentuk lain, tidak mengingkari, dan tidak membandingkan.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al-Aʻraf (7):5, di mana Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Dia duduk di atas Arsy”.
Dalam hal ini, kami mengikuti jejak Salafus Shalih serta para ulama Muslim di masa lalu dan sekarang.
Prinsip yang kami pegang adalah meninggalkan ayat yang bersifat tawaqquf tanpa melakukan adaptasi, simulasi, atau penangguhan.
Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama Salaf as-Salih dalam menafsirkan ayat 5 Surat Thaha (20) cenderung mengikuti metode yang telah ditetapkan oleh ulama sebelumnya.
Menariknya, Imam Ibnu Katsir dianggap sebagai ulama Khalaf, namun ia tetap merujuk pada pandangan ulama Salaf as-Salih dalam tafsir Al-Qur’an.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw telah menetapkan beberapa sifat bagi Allah SWT. Abu Hurairah melaporkan, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda”
Artinya: Ketika Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia mencatat di dalam kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) yang terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy (singgasana),bahwa: Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Ibnu Hanbal memberikan penjelasan mengenai konsep Istiwa dengan menyatakan bahwa penempatan Allah di atas ‘Arsy adalah urusan-Nya dan tergantung pada kehendak-Nya, tanpa batasan, dan tidak ada seorang pun yang mampu mendeskripsikannya.
Ayat yang membahas tentang istiwa menggambarkan tindakan Allah SWT, mengisyaratkan adanya kesan keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Dalam penafsiran Al-Zamakhsyari pada Surah Taha (20) ayat 5, istilah ‘Arsy diartikan sebagai tahta raja, sementara kata istiwa diartikan sebagai “duduk dengan pemahaman”.
Secara lahiriah, ayat ini dapat dipahami sebagai “Al-Rahman (Allah) duduk dengan pemahaman di atas tahta kerajaan (‘Arsy)”.
Al-Zamakhsyari menambahkan bahwa ayat ini merupakan ungkapan kiasan, dan makna yang terkandung di dalamnya menggambarkan kerajaan Allah SWT.
Sebagai contoh, ungkapan “istiwa’ fulan ‘ala ‘Arsy” (sang fulan duduk di bangku kerajaan) berarti bahwa “sang fulan adalah raja, meskipun ia tidak duduk di tahta kerajaan pada saat itu”.
Potongan ayat yang berbunyi (استوى) atau “istawa'” dikenal sebagai suatu ungkapan yang caranya tidak dapat dipahami sepenuhnya. Mempercayai maknanya adalah suatu kewajiban, sementara mempertanyakannya dianggap sebagai bid’ah. Begitulah pendapat Imam Malik.
Dalam penafsiran ayat ini, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan terdapat tiga pandangan yang diungkapkan oleh para ulama. Pendapat pertama, yang dipegang oleh sebagian besar ulama, adalah kita seharusnya membacanya dan meyakininya tanpa memberikan tafsiran lebih lanjut.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang maksud firman Allah SWT: “Tuhan Yang Maha Pemurah, yang beristiwa di atas ‘Arsy”.
Imam Malik menjawab, “Kita mengetahui apa yang dimaksud dengan bersemayam, tetapi cara bersemayam-Nya tidak bisa dipahami oleh akal manusia. Namun, kita wajib meyakininya. Menanyakan hal ini adalah bid’ah, dan saya melihat bahwa niatmu tidak baik. ”
Pendapat kedua yang dipegang oleh kelompok Musyabihah menyatakan bahwa ketika kita membaca dan menjelaskan makna kata istiwa sesuai dengan bahasa Arab, maka artinya adalah “berada di atas sesuatu” atau “berdiri tegak”.
Namun, Wahbah al-Zuhaili memandang pandangan ini sebagai pendapat yang batil, karena hal tersebut menyangkut sifat benda, sementara Allah SWT bebas dari karakteristik kebendaan semacam itu.
Sementara itu, pendapat ketiga dipegang oleh sebagian ulama yang menyarankan agar kita membaca, menafsirkan, dan mengalihkan maknanya kepada makna lahiriyah.
Dalam hal ini, sebagian ulama berpendapat bahwa makna “istiwa” adalah “menduduki dan menguasai”. Ada juga yang berpendapat bahwa “istiwa” berarti “tinggi di atas”, sementara ungkapan “Wallahu ‘alam” menunjukkan ketinggian urusan-Nya.
Beberapa ulama lainnya menyebutkan bahwa “istiwa” dapat diartikan sebagai “berkehendak menuju sesuatu” dalam konteks penciptaan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh Imam al-Thabari, meskipun tidak dijelaskan secara rinci mengenai cara-cara penafsirannya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa Wahbah al-Zuhaili menafsirkan makna istiwa dalam bahasa Arab sebagai keadaan yang agung dan tinggi di atas segala sesuatu.
Dia juga menjelaskan bahwa setelah menciptakan bumi, Allah berkehendak menuju langit dengan kehendak yang khusus dan sesuai untuk langit itu.
Imam Thabathaba’i, yang mengutip pendapat Imam Ar-Raghib Al-Isfahani, menyatakan bahwa kata “عَرْش” (Arsy) secara bahasa berarti tempat duduk raja atau singgasana.
Kata ini juga dapat diartikan dalam konteks kekuasaan. Arsy awalnya mengacu pada sesuatu yang beratap, atau tempat duduk seorang penguasa yang disebut Arsy karena tingginya jika dibandingkan dengan tempat lainnya.
Namun, penting untuk diingat bahwa makna hakiki dari kata ini dalam ayat tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh manusia. Banyak orang awam memiliki pemahaman yang terbatas mengenai tujuan dari istilah ini, dan Allah SWT Maha suci dari segala penafsiran yang tidak tepat. (Red)
Penulis: Muhammad Rifqi Zainul Alam, Mahasiswa Jurusan Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, IAIN Kudus