PSI dan Projo: Diantara Pergeseran Ideologis dan Politik

Gambar: dok istimewa

Oleh Krisna Wahyu Yanuar*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Sebagai partai muda dengan klaim sebagai wadah perubahan, PSI baru-baru ini dikabarkan melakukan manuver ideologis yang cukup mencolok.

Menurut sebuah artikel terbit 2 November 2025, PSI “berbalik arah” dengan mendukung pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum Soeharto — padahal sebelumnya partai ini tegas menolak figur tersebut sebagai simbol KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Perubahan sikap ini kemudian menimbulkan kritik publik bahwa PSI melakukan akrobat politik: dari “lambang reformasi” menuju adaptasi pragmatis terhadap lanskap kekuasaan.

Lebih jauh lagi, meskipun mendapatkan dukungan resmi dari Joko Widodo (Jokowi) untuk kepengurusan DPP periode 2025-2030 pada 27 September 2025, posisi PSI tetap dipandang rapuh oleh pengamat politik karena masih sulit menembus basis pemilih tradisional dan hanya memiliki figur kuat terbatas.

Sebagai contoh, meskipun Jokowi menyatakan “mendukung penuh” PSI, analisis menyebut bahwa partai ini belum mampu menjamin lonjakan elektabilitas yang signifikan menjelang Pemilu 2029.

Ke depan, PSI bakal menghadapi risiko kehilangan identitas ketika harus beradaptasi secara cepat dengan kekuasaan agar tetap relevan.

Adanya ketidakkonsistenan ideologis bisa merusak kepercayaan pemilih muda yang sebelumnya menjadi basis utama.

Dukungan simbolik dari figur besar seperti Jokowi belum diterjemahkan ke dalam kekuatan struktural dan mobilisasi massa yang nyata.

Projo, Relawan yang Kehilangan Arah Dukungan

Organisasi relawan Projo yang sebelumnya dekat dengan pemerintah pun kini menunjukkan tanda-tanda perubahan posisi. Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, setelah dicopot dari kabinet, menyatakan bahwa Projo akan “tipis‐tipis” memberikan kritik kepada pemerintahan yang selama ini didukung.

Dalam kongres yang digelar 1 November 2025, ada isyarat bahwa Projo mulai “melepaskan bayang-bayang” Jokowi dan mengisyaratkan arah baru terhadap koalisi dengan Partai Gerindra.

Selain itu, Projo menanggapi narasi bahwa ada pihak yang ingin “memisahkan” Jokowi dan Prabowo Subianto — yang menunjukkan bahwa Projo kini terlibat dalam dinamika aliansi politik yang lebih kompleks dan kurang stabil dibanding sebelumnya.

Kebingungan Identitas

Projo kehilangan posisi strategis dalam pemerintahan sehingga peran sebagai “mesin relawan” menjadi kurang jelas. Perubahan peran (dari mendukung penuh ke mengkritik dengan hati-hati) dapat memunculkan kebingungan identitas di antara anggota dan simpatisan.

Keterlibatan Projo dalam manuver koalisi menandakan bahwa ia tidak lagi hanya menjadi relawan ideologis, melainkan bagian dari dinamika pragmatis kekuasaan—yang bisa memperlemah daya tawarnya sebagai kelompok independen.

Dengan mengaitkan fakta-terbaru di atas, dapat disimpulkan bahwa baik PSI maupun Projo sedang berada pada tahap transisi kritis: PSI dari identitas partai muda idealis menuju adaptasi kekuasaan, Projo dari relawan pemerintahan menjadi aktor politik yang perlu mendefinisikan kembali fungsi dan relevansinya.

Kedua entitas ini tampak melemah secara simbolik dan struktural, bukan karena hilangnya eksistensi semata, tetapi karena ketiadaan arah yang jelas, basis massa yang kuat, serta pergeseran identitas yang belum dirumuskan dengan matang.

Jika tidak segera mengatasi ketegangan ini—yakni antara idealisme dan pragmatisme, simbol dan struktur, dukungan dan mobilisasi—maka keduanya berisiko tersingkir dari lanskap politik utama menuju Pemilu 2029 dan seterusnya. (Red)

*) Krisna Wahyu Yanuar, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Peminat Isu Sosial Politik

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like