
Oleh: Zello Bertholomeus*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Sebentar lagi, jutaan anak Indonesia akan memasuki tahun ajaran baru 2025/2026.
Momen ini terasa istimewa, karena inilah titik di mana seluruh sekolah, dari kota besar hingga pelosok desa, secara resmi diwajibkan menerapkan Kurikulum Nasional.
Pemerintah dan para pendukungnya menyajikan ini sebagai sebuah fajar baru—sebuah janji akan lahirnya generasi yang kreatif, bernalar kritis, dan berkarakter Pancasila.
Harapan itu tentu baik adanya. Namun, sebagai bagian dari masyarakat yang setiap hari menyaksikan denyut nadi pendidikan di lapangan, saya ingin menyampaikan sebuah kekhawatiran publik yang mendasar: jangan-jangan kita hanya sedang sibuk mengganti sampul buku, sementara isi dan cara membacanya masih sama persis seperti puluhan tahun lalu.
Mari kita jujur mengakui penyakit kronis yang kita semua tahu ada. Selama bertahun-tahun, sekolah sering kali menjadi tempat yang melelahkan bagi anak-anak kita.
Mereka dibebani oleh setumpuk pekerjaan rumah, dikejar oleh target nilai, dan diukur oleh peringkat. Belajar direduksi menjadi aktivitas menghafal untuk lulus ujian.
Paulo Freire menyebutnya “pendidikan gaya bank”, sebuah sistem di mana anak dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi. Ini adalah sistem yang secara perlahan tapi pasti memadamkan rasa ingin tahu dan keberanian untuk bertanya.
Kurikulum Nasional, yang merupakan kelanjutan dari Kurikulum Merdeka, hadir sebagai obat atas penyakit ini.
Konsepnya di atas kertas memang terdengar ideal. Adanya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) diharapkan dapat membuat belajar menjadi lebih relevan dan kontekstual. Guru diberi “fleksibilitas” untuk berinovasi. Semuanya terdengar sempurna.
Namun, kurikulum secanggih apa pun hanyalah selembar kertas jika ia jatuh ke tangan sistem dengan mentalitas yang usang. Ini seperti memberikan resep masakan modern kepada seorang koki yang peralatannya masih tradisional dan hanya terbiasa dengan satu cara memasak.
Tanpa mengubah dapurnya, pola pikir kokinya, dan kualitas bahan-bahannya, resep itu tidak akan pernah menjadi hidangan yang lezat.
Di lapangan, kita sudah melihat gejala ini. P5, yang seharusnya menjadi ajang investigasi kritis, di banyak tempat berubah menjadi sekadar “festival” atau “pameran karya”.
Pertanyaannya bukan lagi “mengapa masalah ini terjadi di masyarakat kita?”, melainkan “produk apa yang bisa kita pamerkan di akhir semester?”.
Apakah proyek itu membuat anak kita lebih berempati pada pedagang kecil yang tersingkir, atau hanya membuatnya sibuk menggunting kertas warna untuk hiasan stan?
Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka kita hanya menciptakan kesibukan baru, bukan kesadaran baru.
Fokus sesungguhnya harus kita letakkan pada garda terdepan pendidikan: para guru. Merekalah “koki” yang akan menentukan nasib kurikulum ini.
Namun, kita tidak bisa menuntut mereka untuk kreatif dan inovatif jika mereka masih terbelenggu oleh beban administrasi yang berat, kesejahteraan yang minim, dan pelatihan yang sering kali hanya bersifat seremonial.
Memberi mereka “fleksibilitas” tanpa memberikan dukungan, kepercayaan, dan sumber daya yang memadai sama saja dengan menyuruh mereka berlari maraton dengan kaki terikat.
Tanggung jawab ini juga ada di pundak kita sebagai orang tua dan masyarakat. Kita tidak bisa menuntut sekolah untuk mengajarkan kreativitas dan kolaborasi pada hari Senin, lalu pada hari Selasa kita marah karena nilai ujian matematika anak kita tidak 100.
Kita tidak bisa meminta anak kita menjadi pemberani yang suka bertanya, tetapi di rumah kita sendiri menghukum mereka karena terlalu banyak “membantah”.
Mentalitas kita yang terobsesi pada nilai dan peringkat adalah bahan bakar utama yang membuat mesin “pendidikan gaya bank” terus berjalan.
Ini adalah momentum krusial. Kesempatan ini bukan hanya untuk mengganti kurikulum, tetapi untuk sungguh-sungguh mengubah cara kita sebagai bangsa dalam memandang arti ‘kecerdasan’ dan ‘keberhasilan’.
Mari kita mulai mengubah pertanyaan kita. Dari “Berapa nilai anak saya?” menjadi “Apa pertanyaan terbaik yang diajukan anak saya hari ini?”.
Dari “Sekolah ini peringkat berapa?” menjadi “Apakah sekolah ini membuat anak saya merasa aman, bahagia, dan suka belajar?”.
Jika perubahan fundamental dalam mentalitas guru, dukungan sistem, dan ekspektasi orang tua ini tidak terjadi, maka Kurikulum Nasional 2025 akan bernasib sama seperti pendahulu-pendahulunya: menjadi jargon indah di seminar, namun gagal menyentuh realitas di ruang kelas.
Jika kita melewatkan momentum ini, kita tidak hanya mengkhianati anak-anak kita, tetapi juga masa depan Indonesia itu sendiri. (Red)
Penulis: Zello Bertholomeus, Mahasiswa Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng