Hidup di Bawah Flyover: Cermin Ketimpangan yang Tak Bisa Diabaikan

Angguniasih, mahasiswa Sosiologi pada Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Oleh: Angguniasih*)

SUARAMUDA, SEMARANG — Di tengah semangat pembangunan dan modernisasi perkotaan, kita kerap melupakan mereka yang tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari agenda “kemajuan”.

Kota tumbuh ke atas dengan jalan layang, flyover, dan gedung pencakar langit. Namun di bawahnya, masih banyak warga yang hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, ketimpangan, dan keterbatasan.

Salah satu potret nyata dari realitas ini adalah kehidupan warga kolong Flyover Cakrawala, di Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat.

Komunitas ini terdiri dari puluhan kepala keluarga yang sebagian besar adalah korban penggusuran dan kegagalan tata kelola pertanahan.

Banyak dari mereka dulunya adalah warga kampung-kampung pesisir yang terpinggirkan oleh proyek reklamasi atau perluasan kawasan industri dan pelabuhan.

Tak punya cukup modal, akses informasi, maupun jaringan kekuasaan, mereka akhirnya membangun tempat tinggal seadanya di ruang-ruang tersisa kota yang oleh banyak orang dianggap “tidak layak huni”: kolong jembatan, bantaran sungai, atau pinggir rel kereta.

Namun, kolong Flyover Cakrawala bukan hanya simbol dari kemiskinan ekstrem, tetapi juga cermin dari gagalnya sistem kita dalam menjamin keadilan spasial dan sosial.

Ketika ruang kota dikomersialisasikan, dan hunian layak menjadi semakin tidak terjangkau, maka warga miskin kota terpaksa menciptakan “kota alternatif” mereka sendiri.

Mereka bertahan hidup di ruang sisa ruang yang diabaikan oleh negara, tetapi diisi dengan kehidupan yang tetap berjalan.

Apa yang terjadi di kolong flyover bukan semata-mata tentang ketidakberdayaan. Justru di sanalah solidaritas sosial terbentuk.

Warga membangun komunitas, bukan hanya tempat tinggal. Mereka membentuk Paguyuban Cakrawala yang merupakan organisasi berbasis warga yang berfungsi sebagai penghubung, pelindung, sekaligus penggerak.

Di bawah kepemimpinan Joko, yang juga menjabat sebagai Ketua RW 08, paguyuban ini memperjuangkan hak-hak dasar warga: hak atas tempat tinggal, hak mendapatkan bantuan sosial, hingga hak untuk diakui sebagai bagian dari sistem administrasi kota.

Mereka juga menciptakan sistem internal yang berbasis gotong-royong. Ada dapur umum yang dikelola ibu-ibu PKK. Ada pula ronda malam yang diatur bergiliran.

Anak-anak yang tidak bisa mengakses sekolah formal dibimbing belajar oleh relawan mahasiswa dan aktivis sosial.

Bahkan, warga secara swadaya membangun sumur resapan air hujan sebagai bentuk adaptasi lingkungan.

Namun, sekuat apapun solidaritas komunitas, tetap ada batas yang tidak bisa mereka tembus sendirian: batas kebijakan publik yang belum berpihak.

Hingga kini, status tempat tinggal mereka masih dianggap ilegal. Akses ke layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan sangat terbatas.

Banyak anak tidak tercatat dalam data kependudukan, yang artinya mereka juga kehilangan akses ke pendidikan dan jaminan sosial.

Ketika distribusi bantuan sosial datang, nama mereka sering tidak ada dalam daftar. Ketika penggusuran mengancam, tidak ada perlindungan hukum yang bisa mereka andalkan.

Pemerintah kota, dalam hal ini Dinas Sosial maupun aparat kelurahan, perlu membuka mata dan turun langsung melihat realitas ini.

Bukan untuk mengusir, tetapi untuk memahami dan mencari solusi bersama.

Komunitas-komunitas seperti warga kolong flyover bukanlah “masalah sosial” yang harus dihilangkan, tetapi bagian dari warga negara yang memiliki hak untuk hidup layak.

Pendataan harus dilakukan secara inklusif. Skema penanganan kemiskinan tidak bisa diseragamkan, melainkan harus adaptif terhadap konteks lapangan.

Perlu dicatat bahwa membiarkan komunitas seperti ini hidup dalam kondisi informal tanpa kejelasan hukum dan fasilitas dasar bukan hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memperbesar beban sosial jangka panjang.

Anak-anak yang tumbuh dalam kemiskinan struktural memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting, putus sekolah, dan ketertinggalan keterampilan. Padahal, mereka adalah bagian dari masa depan kota.

Pemerintah, dunia akademik, dan masyarakat sipil harus duduk bersama untuk membangun kebijakan berbasis kolaborasi.

Tidak semua solusi harus mahal atau berskala besar. Dalam jangka pendek, pengakuan administratif dan integrasi layanan dasar sudah menjadi langkah penting.

Dalam jangka menengah, program hunian transisi berbasis komunitas bisa dikembangkan.

Dan dalam jangka panjang, penataan ruang kota harus menyertakan warga miskin sebagai subjek, bukan objek pembangunan.

Kita tak bisa terus memuliakan infrastruktur sambil membiarkan orang-orang hidup di bawahnya dalam keterasingan.

Pembangunan sejati adalah ketika tidak ada satu pun warga yang hidup di bawah garis bayang-bayang baik secara fisik maupun sosial.

Sudah saatnya suara dari bawah flyover didengar dan direspon dengan kebijakan yang adil dan manusiawi.

Karena kota yang bermartabat adalah kota yang memanusiakan semua warganya, termasuk yang tinggal di bawah jembatan.

Masyarakat umum juga punya peran penting. Narasi yang kerap menyudutkan mereka sebagai “pengganggu ketertiban” harus diubah menjadi narasi empati dan keadilan.

Media, kampus, hingga komunitas-komunitas warga bisa membantu mendorong perubahan, tidak hanya dengan wacana, tetapi juga dengan aksi nyata.

Karena selama masih ada warga yang hidup di pinggir kota dan di pinggir perhatian, maka keadilan sosial masih menjadi janji yang belum ditepati.

Keterlibatan media dalam isu ini sangatlah penting. Sebuah masyarakat yang adil tidak hanya dibentuk oleh kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh narasi yang dibangun dan disebarkan melalui saluran informasi.

Media komunitas perlu lebih aktif dalam memberitakan kondisi warga kolong flyover dengan pendekatan yang manusiawi dan faktual, bukan sekadar sensasional.

Begitu pula dengan kampus sebagai ruang intelektual, seharusnya mendorong mahasiswa dan dosen untuk menjadikan isu-isu seperti ini sebagai objek penelitian, pengabdian, dan kampanye kesadaran publik.

Kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang nyata dan berkelanjutan. (Red)

*) Angguniasih, mahasiswa Sosiologi pada Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like