Oleh: Aliyah Tisya Meira Daulay *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Siapa sangka bahwa di sisi lain panorama laut biru dan hamparan pasir putih Bangka Belitung, tersimpan tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan kelestarian alam?
Keindahan alam kepulauan ini tidak hanya kaya, tetapi juga kebingungan dalam menghadapi manajemen wilayah wisata seperti memikirkan bagaimana cara untuk memaksimalkan potensi ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan?
Potensi besar yang dimiliki Bangka Belitung (Babel) sendiri adalah sebagai destinasi wisata alam. Menurut Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, wisatawan yang berkunjung pun meningkat secara signifikan pasca pandemi, dengan wisatawan domestik pada tahun 2023 yang tercatat sebanyak 500.000 lebih.
Tetapi, ledakan wisata ini tidak selalu disertai dengan praktik manajemen yang bertanggung jawab. Masih banyak kawasan wisata alami yang belum memiliki sistem pengelolaan yang baik, hingga menyebabkan ancaman kerusakan lingkungan yang serius.
Di sinilah pentingnya manajemen wisata alam yang berkelanjutan. Konsep ini tidak hanya sekadar mengundang wisatawan untuk “menikmati alam”, melainkan juga untuk menegaskan betapa pentingnya pelestarian lingkungan dan pemberdayaan di masyarakat sekitar.
Pendekatan ini menuntut sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, masyarakat sekitar, dan wisatawan itu sendiri. Tanpa manajemen industri pariwisata Bangka Belitung yang tidak terstruktur malah dapat menjadi bumerang bagi lingkungan tersebut.
Kawasan wisata Pulau Ketawai dan Pulau Lepar Pongok adalah salah satu contoh nyatanya. Dua wilayah ini mengalami lonjakan kunjungan, namun dengan regulasi pengelolaan sampah, konservasi terumbu karang, atau pembatasan jumlah pengunjung belum terpenuhi dengan sempurna.
Universitas Bangka Belitung (UBB) pada 2022 pernah melakukan sebuah studi yang menunjukkan bahwa 40% spot diving dan snorkeling di beberapa pulau mengalami kerusakan karang yang di akibatkan oleh aktivitas wisata yang tidak terkendali.
Bukankah wisatawan seharusnya berkontribusi terhadap pelestarian itu sendiri, bukan sebaliknya? Lalu, hal apa yang seharusnya menjadi strategi manajemen ekoswisata yang tepat untuk diterapkan di Babel?
Pertama, pemerintah daerah perlu mengadakan penguatan kapasitas manajemen destinasi. Artinya, tidak hanya membangun infrastruktur fisik seperti dermaga atau penginapan, tetapi juga sistem pengawasan dan edukasi wisatawan.
Penerapan “carrying capacity” atau daya dukung lingkungan sangat penting untuk mencegah overtourism. Misalnya, dengan membatasi jumlah harian wisatawan berdasarkan kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri.
Kedua, pelibatan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama. Banyak desa wisata di Bangka Belitung, seperti Desa Air Nyatoh dan Desa Rebo, yang sudah mulai mengembangkan model community-based tourism.
Model ini memberikan manfaat ekonomi langsung kepada warga sembari menjaga nilai budaya dan pengetahuan lokal tentang alam. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi objek wisata, tetapi juga subjek yang aktif dalam pengelolaan.
Ketiga, kolaborasi antara sektor swasta dan akademisi perlu ditingkatkan untuk merancang model bisnis pariwisata yang berkelanjutan.
Perusahaan wisata bisa menggandeng universitas lokal seperti UBB untuk melakukan riset dampak lingkungan dan sosial secara berkala. Hal ini penting agar keputusan bisnis tetap berpijak pada data, bukan karena semata-mata dorongan pasar.
Keempat, transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan dan perizinan harus menjadi prioritas. Sering kali, proyek-proyek pembangunan wisata besar tidak melibatkan kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) secara mendalam.
Padahal, kurangnya perhatian pada pengelolaan lingkungan dapat merusak hutan mangrove, padang lamun, hingga kawasan habitat penting yang menjadi tempat berlindungnya penyu di Bangka Belitung.
Namun, apakah kita sudah siap berkomitmen terhadap pariwisata yang lebih etis dan berkelanjutan?
Tantangannya memang tidak sedikit. Namun, keberhasilan pengelolaan destinasi wisata alam di daerah lain seperti Wakatobi dan Raja Ampat dapat membuktikan bahwa dengan strategi manajemen yang tepat, pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bisa berjalan berdampingan
Bahkan, menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, destinasi yang peduli terhadap lingkungannya cenderung dihargai oleh wisatawan, dan mereka rela membayar lebih untuk pengalaman yang bertanggung jawab secara sosial.
Sebagai kesimpulan, solusi yang dapat diberikan untuk Bangka Belitung adalah dengan membentuk sebuah forum sebagai sebuah wadah lintas sektor yang melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, dan pengusaha lokal.
Forum ini dapat menjadi tempat merumuskan standar pengelolaan wisata, menyusun peta potensi dan risiko, serta menjadi ruang berbagi praktik terbaik.
Sudah saatnya Bangka Belitung dikenal karena kualitas manajemennya dalam menjaga warisan tersebut untuk generasi mendatang bukan hanya dikenal karena keindahan alamnya saja. Apakah nantinya kita menjadi penjaga yang bijak atau hanya sebagai penikmat sesaat?
*) Aliyah Tisya Meira Daulay, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi