
Oleh: Abdurrahman Ahady*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Air adalah “jantung” peradaban manusia. Tanpanya, tidak ada kesehatan yang layak, ekonomi yang bertumbuh, maupun kualitas hidup yang lebih baik. Namun, mengelola Air ternyata tidak semudah “membalikkan telapak tangan”.
Indonesia sebagai negara yang diberkahi sumber daya air berlimpah tidak luput dari paradoks ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir 2024 telah mencatat bahwa 92,64 persen rumah tangga telah memiliki akses terhadap air minum layak (Badan Pusat Statistik, 2024).
Namun dibaliknya, capaian ini masih terdapat persoalan laten yang harus segera “dicarikan obatnya”, yaitu tingginya tingkat kehilangan air atau Non-Revenue Water (NRW).
Secara nasional, lebih dari sepertiga air bersih yang telah diproduksi dengan biaya besar hilang sebelum sampai ke pengguna akhir (Serayu News, 2025).
Gambaran ini juga tampak di tingkat daerah, termasuk di Kabupaten Padang Pariaman. Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Anai sebagai penyedia layanan publik menghadapi tantangan yang hampir serupa.
Di tengah kewajiban untuk menjamin ketersediaan air bersih yang terjangkau dan berkelanjutan, Tirta Anai berhadapan dengan sejumlah persoalan, mulai dari infrastruktur yang sudah menua, kebocoran yang sulit dideteksi, hingga proses administratif manual yang—barangkali—tidak lagi sejalan dengan dinamika era sekarang.
Semua itu bukan hanya sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari pola pengelolaan yang sudah saatnya diperbaharui.
Dalam konteks tersebut, kelangsungan dan relevansi Tirta Anai menuntut perubahan mendasar. Ke depan, perusahaan air minum daerah tidak cukup lagi bertahan dengan pendekatan konvensional.
Transformasi menuju smart water utility atau utilitas air cerdas berbasis data dan teknologi menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda.
Upaya ini mencakup adopsi teknologi Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (AI), pergeseran visi pengelolaan menuju keberlanjutan dan kemitraan, serta pembentukan ekosistem inovasi melalui kolaborasi lintas sektor.
Membedah Sumber Inefisiensi: Tantangan Struktural yang Mendesak
Langkah menuju transformasi digital baru dapat dipahami urgensinya jika kita menelaah terlebih dahulu akar permasalahan yang dihadapi.
Tingginya tingkat kehilangan air merupakan sinyal kuat adanya inefisiensi struktural yang telah berlangsung lama. Data Kementerian PUPR pada awal 2023 menunjukkan angka NRW nasional berada di kisaran 33,7 persen (Kementerian PUPR, 2023).
Sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk memperbaiki jaringan pipa, memperluas layanan ke wilayah yang belum terjangkau, atau mendukung kelompok masyarakat berpenghasilan rendah justru lenyap tanpa manfaat.
Penyebab utama dari inefisiensi ini terletak pada kondisi infrastruktur yang telah melampaui usia idealnya. Sebagian besar jaringan pipa telah dipasang puluhan tahun lalu dan kini rentan terhadap kebocoran.
Dalam praktik operasional yang masih bersifat konvensional, deteksi kebocoran sering kali baru dilakukan setelah muncul tanda-tanda nyata seperti genangan atau laporan dari warga.
Proses pencarian lokasi kebocoran pun cenderung memakan waktu, karena dilakukan melalui perkiraan dan penggalian di berbagai titik.
Keterbatasan lain muncul dari minimnya sistem pemantauan yang terintegrasi. Jaringan perpipaan ibarat “kotak hitam” yang sulit dibaca. Operator tidak memiliki informasi real-time tentang kondisi tekanan air atau pola aliran di berbagai titik jaringan.
Keputusan teknis akhirnya banyak bergantung pada intuisi dan pengalaman lapangan, bukan pada data akurat yang dapat mendukung pengambilan keputusan cepat dan tepat.
Selain itu, proses administratif yang masih manual turut memperburuk persoalan. Pencatatan meteran dari rumah ke rumah memakan waktu dan rentan kesalahan.
Keterlambatan dalam pencatatan berdampak pada siklus penagihan dan arus kas perusahaan. Ketidakseimbangan informasi juga terjadi: pelanggan tidak mengetahui pola konsumsi mereka secara detail, sementara perusahaan kesulitan menganalisis data penggunaan secara mendalam.
Hal ini menyulitkan upaya edukasi hemat air dan kadang menimbulkan persepsi kurangnya transparansi dalam penagihan. Semua faktor ini membentuk siklus inefisiensi yang sulit diputus tanpa perubahan paradigma.
Transformasi Digital: Menghidupkan Sistem Saraf dan Otak Cerdas dalam Jaringan Air
Pemanfaatan teknologi digital membuka jalan keluar dari berbagai persoalan struktural tersebut. IoT dan AI bukan lagi sekadar konsep futuristik, melainkan solusi nyata yang dapat diuji dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan utilitas air.
Teknologi IoT dapat berperan sebagai sistem “saraf digital” bagi Tirta Anai. Ribuan sensor dapat dipasang di titik-titik strategis agar jaringan bisa memantau tekanan, laju aliran, bahkan kualitas air secara real-time.
Data ini dikirim ke pusat kontrol, memungkinkan operator mengetahui secara cepat setiap anomali yang terjadi.
Penurunan tekanan di suatu wilayah, misalnya, dapat langsung terdeteksi dan ditindaklanjuti sebelum menyebabkan kerugian besar. Jaringan yang sebelumnya “bisu” kini dapat memberikan informasi secara berkelanjutan.
Selain itu, penerapan smart meter pada tingkat pelanggan dapat pula diterapkan. Sistem ini akan mencatat konsumsi air secara otomatis dan akurat sehingga dapat mempercepat proses penagihan dan menghilangkan potensi kesalahan manual.
Pelanggan dapat memantau penggunaan air melalui aplikasi, menerima notifikasi jika terjadi kebocoran, serta memahami dampak kebiasaan konsumsi terhadap tagihan. Interaksi ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga mendorong perilaku penggunaan air yang lebih bijak.
Di sisi lain, AI berperan sebagai “otak” analitis yang mengolah data dari sensor menjadi dasar pengambilan keputusan cerdas. Melalui analisis historis dan pola penggunaan, sistem AI dapat memprediksi segmen jaringan yang paling berisiko mengalami kerusakan sehingga perawatan dapat dilakukan secara proaktif.
AI juga mampu memprediksi permintaan berdasarkan pola konsumsi, kondisi cuaca, dan kalender kegiatan masyarakat, sehingga produksi dapat disesuaikan untuk efisiensi energi dan bahan kimia. Selain itu, AI dapat membantu mengoptimalkan distribusi air agar tekanan tetap merata di seluruh wilayah layanan.
Membangun Visi Baru
Meski teknologi memegang peran penting, keberhasilannya tetap bergantung pada perubahan visi dan tata kelola. Transformasi Tirta Anai akan efektif jika disertai pembaruan orientasi kelembagaan dan budaya kerja.
Perusahaan perlu melihat dirinya bukan hanya sebagai penyedia air, tetapi juga sebagai pengelola sumber daya. Perhatian tidak boleh berhenti pada instalasi pengolahan, melainkan harus menjangkau hingga ke sumber air baku.
Keterlibatan aktif dalam konservasi daerah tangkapan, reboisasi, dan advokasi kebijakan lingkungan menjadi bagian dari strategi jangka panjang. Keberlanjutan sumber air berarti keberlanjutan layanan, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Selain itu, hubungan antara perusahaan dan masyarakat perlu berkembang dari sekadar transaksi menjadi kemitraan. Teknologi digital memungkinkan interaksi dua arah yang lebih terbuka.
Melalui aplikasi terintegrasi, pelanggan dapat melakukan pembayaran, melaporkan gangguan, memperoleh informasi pemeliharaan, hingga menerima edukasi tentang penggunaan air.
Pelibatan seperti ini membangun rasa kepemilikan bersama dan memperkuat kepercayaan publik. Namun, tentunya perubahan besar tidak dapat dilakukan sendiri. Tirta Anai perlu membangun ekosistem inovasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator dan regulator, menyediakan iklim kebijakan yang mendukung investasi dan pembiayaan kreatif.
Kolaborasi ini juga dapat melibatkan Perguruan Tinggi— Universitas Andalas, misalnya—dapat menjadi mitra dalam mengadaptasi teknologi sesuai konteks lokal.
Kolaborasi dengan start-up teknologi dapat mempercepat pengembangan solusi digital yang efisien dan terjangkau. Sementara itu, partisipasi masyarakat sipil memastikan akuntabilitas dan keberlanjutan transformasi.
Penutup
Perumda Tirta Anai kini berada pada momen penting yang menentukan arah masa depannya. Apalagi di tengah semarak HUT yang ke-35 tahun ini. Pilihannya bukan sekadar antara bertahan atau berubah, melainkan antara terjebak dalam pola lama atau melangkah menuju tata kelola air yang lebih modern dan adaptif.
Transformasi menuju utilitas air cerdas memang menuntut investasi, inovasi, dan kesungguhan, tetapi manfaat jangka panjangnya jauh melampaui biaya awalnya.
Dengan memanfaatkan teknologi, memperbarui visi kelembagaan, serta memperkuat kolaborasi lintas sektor, Tirta Anai tidak hanya dapat mengatasi persoalan yang terjadi.
Lebih dari itu, juga dapat meningkatkan keandalan layanan, membangun kepercayaan publik, memastikan ketahanan air untuk generasi mendatang, dan menjadi inspirasi bagi pengelolaan air daerah lain di Indonesia.
Intinya: “bukan sekadar tentang mengalirkan air, tetapi juga mengalirkan pengetahuan, keadilan, dan masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat Padang Pariaman.” (Red)
*) Abdurrahman Ahady, masyarakat Padang Pariaman