
SUARAMUDA, SEMARANG — Setiap kali membuka Instagram, TikTok, atau media sosial lainnya, pernah nggak sih kamu merasa wajahmu kurang menarik?
Rasanya semua orang punya kulit yang glowing, wajah tirus, serta senyum memesona. Sementara kamu, hanya bisa menatap kamera depan dengan perasaan ragu, bertanya dalam hati “Kenapa aku beda ya?”
Kalau kamu merasa berbeda itu wajar kok. Jangan cepat merasa minder, karena setiap orang punya keunikan sendiri yang tidak bisa dibandingkan.
Di balik layar ponsel yang penuh dengan konten sempurna itu, kita sedang disuguhkan sebuah standar kecantikan yang sebenarnya tidak realistis.
Standar yang dibangun dari algoritma, dan tuntutan estetika yang terus berubah. Tapi kenyataannya, standar itu dibuat bukan untuk merayakan keberagaman, melainkan untuk menuntut kita menjadi baik menurut versi tertentu versi yang sering kali jauh dari kenyataan.
“Cantik itu harus putih, harus langsing, hidung harus mancung, muka glowing, rambut lurus.”
Kalimat-kalimat seperti ini sudah terlalu sering terdengar bahkan dari orang-orang terdekat kita. Seolah-olah kecantikan mempunyai standar yang harus diikuti, padahal kenyataannya sama sekali tidak demikian.
Tidak ada satu pun manusia yang lahir dengan kendali penuh atas wajah dan tubuhnya.
Namun anehnya, kita diajarkan bahwa jika ingin diterima, kita harus berubah sesuai dengan standar estetik anjuran mereka.
Rasa tidak percaya diri kini menjadi teman akrab banyak remaja dan perempuan muda.
Media sosial yang seharusnya menjadi tempat untuk berekspresi dan menunjukkan keunikan diri justru memperparah hal ini.
Setiap hari kita dihadapkan pada wajah-wajah sempurna hasil kamera profesional, pengaturan pencahayaan yang pas, OOTD (outfit of the day) yang estetik dan instagramable.
Semua itu membuat kita merasa tidak sebanding bahkan sebelum kita mengenal potensi diri sendiri.
Kita sering kali merasa bahwa kita tidak cukup baik, tidak cukup cantik, atau tidak cukup menarik dibandingkan dengan apa yang kita lihat di layar.
Padahal, itu hanya ilusi yang diciptakan untuk menarik perhatian dan mempengaruhi persepsi diri kita.
Karena pada akhirnya, yang paling penting bukanlah menjadi seperti mereka, tapi menyadari bahwa setiap orang punya keindahan dan keunikan masing-masing yang tidak bisa dibandingkan dengan orang lain.
Lagi pula, kita juga perlu sadar bahwa standar kecantikan itu sebenarnya adalah sesuatu yang dibuat-buat dan selalu berubah mengikuti zaman serta budaya.
Di masa lalu, misalnya perempuan berisi dianggap tanda kemakmuran dan kecantikan di banyak budaya. Di tempat lain, kulit gelap justru dijadikan simbol eksotisme dan daya tarik tersendiri.
Lalu kenapa kita harus selalu mengikuti standar yang bahkan tidak universal?
Kecantikan bukan hanya soal penampilan fisik saja, tapi juga tentang bagaimana kita merasa nyaman dengan diri sendiri dan bagaimana kita membawa diri, bagaimana kita menunjukkan kepercayaan diri, dan bagaimana kita bisa mencintai dan menerima diri sendiri apa adanya.
Saatnya kita mulai bilang ke diri sendiri cukup. Cukup ikut-ikutan standar yang bikin kita lelah dan tidak nyaman.
Kita harus berani menolak standar palsu yang mengekang dan mulai menerima keberagaman yang ada dengan penuh kasih.
Kita juga butuh ruang aman, tempat di mana kita bisa jadi diri sendiri tanpa harus merasa ditekan untuk berubah. Komunitas, teman, dan keluarga punya peran besar dalam hal ini.
Lebih seringlah bilang, “Kamu sudah cukup,” daripada menyuruh orang lain untuk “ubah ini, itu supaya cantik”.
Merawat diri memang penting, tentu saja. Tapi merawat diri bukan berarti jadi versi lain dari diri kita yang sebenarnya.
Merawat diri harus bikin kita makin sayang sama diri sendiri, bukan makin insecure dan penuh tekanan.
Pakaian, skincare, make-up semua boleh digunakan, asal dilakukan karena kita senang dan nyaman, bukan karena tekanan standar orang lain.
Pilihan ini harus datang dari hati, bukan karena keharusan dan paksaan.
Dan sebagai generasi muda, kita punya kekuatan besar untuk mengubah budaya ini. Mulailah dari hal-hal sederhana misalnya dengan berhenti menyebarkan komentar negatif tentang fisik orang lain.
Stop bilang “Kamu gendutan” atau “Kok sekarang iteman?” karena ucapan sepele seperti itu bisa meninggalkan luka yang dalam dan tak terlihat oleh orang lain.
Mungkin terdengar biasa, tapi kata-kata bisa jadi senjata untuk menjatuhkan seseorang.
Kita tidak pernah tahu seberapa keras seseorang berjuang untuk berdamai dengan dirinya sendiri.
Jadi, kenapa tidak mulai menjadi bagian dari lingkungan yang menguatkan satu sama lain, bukan yang menjatuhkan?
Ubah cara pandang kita bahwa cantik itu relatif, dan tidak bisa diseragamkan. Semua orang dengan keunikannya masing-masing punya versi terbaik dari dirinya.
Dan versi terbaik itu bukan yang meniru orang lain, tapi yang jujur, tulus, dan berani mencintai dirinya sendiri.
Jadi, kalau kamu masih merasa tidak cukup cantik hari ini, ingatlah jika kamu tidak harus cantik versi mereka.
Cukup dengan menjadi versi terbaik dari diri kamu sendiri, itu sudah lebih dari cukup dan luar biasa.
Karena pada akhirnya, dunia gak butuh lebih banyak wajah sempurna, tapi butuh lebih banyak orang yang percaya diri dengan dirinya apa adanya.
Dengan begitu, kita bisa menciptakan dunia yang lebih lebih ramah, dan lebih penuh cinta untuk semua orang.
Mari kita bersama-sama merayakan keunikan dan keberagaman, serta menciptakan lingkungan yang positif, dan suportif bagi diri kita dan orang lain. (Red)
Penulis: Farah Nabila, Mahasiswa Sosiologi, UIN Walisongo Semarang