Masihkah Pancasila Untuk Rakyat?

Oleh: Marsheilla Meida Ananda Putri *)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG – Pancasila adalah janji. Berasal dari darah bangsa yang tertindas oleh penjajahan, lalu berdiri tegak sebagai kompas moral: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.

Lima sila itu mirip dengan lima jari yang dikepal menjadi tangan – kuat, sederhana, dan tak terbantahkan. Namun, nilai-nilai ini sering dikaburkan saat ini.

Di ruang rapat yang nyaman, wakil rakyat menandatangani aturan yang justru melukai rakyatnya sendiri, bukan lagi untuk rakyat, melainkan hanya kata-kata kosong yang sering diucapkan di podium.

Apa artinya “Keadilan Sosial” dalam situasi di mana kebijakan hanya menguntungkan kelompok tertentu? Sementara mahasiswa, buruh, dan pedagang kecil mengeluhkan biaya hidup dan kesulitan yang mereka hadapi?

Apa arti “kerakyatan” dalam situasi di mana suara rakyat hanya dihitung setiap lima tahun dan kemudian ditukar dengan kebijakan dan janji palsu yang tidak pernah dipenuhi?

Protesta tidak baru dalam sejarah. Di tengah revolusi, Chairil Anwar menulis “Kami adalah bara api”. Di gelanggang kampus, Rendra menyerukan “Puisi Pamflet”.

Mereka menjadikan seni dan kata sebagai senjata. Semangat itu masih menggaung hingga hari ini, dan hanya caranya yang berubah: mural di dinding kota, orasi di tengah aspal, seruan di media sosial.

Ironisnya, pemerintah yang mengaku berlandaskan Pancasila justru membungkam kritik dengan gas air mata.

Sila kedua tentang “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dipelintir ketika aparat menculik mahasiswa yang bersuara. Riuh di jalanan menjadi saksi bahwa sila itu tinggal teks di buku pelajaran, bukan realitas di lapangan.

Namun, di luar hiruk-pikuk kekuasaan, rakyat kecil masih menjaga nyala nilai-nilai itu tanpa disadari.

Petani yang berbagi hasil panen dengan tetangga, guru honorer yang mengajar meski gajinya tak seberapa, relawan bencana yang berlari tanpa pamrih—mereka semua menjalankan Pancasila tanpa perlu menghafalkannya. Nilai-nilai itu hidup dalam tindakan, bukan slogan.

Keadilan sosial bukan cuma wacana hukum, tapi soal empati dan keberpihakan. Ia hidup dalam keputusan sederhana: ketika pejabat memilih menahan diri dari korupsi, ketika warga memilih tidak menutup mata terhadap ketidakadilan di sekitarnya.

Pancasila tidak butuh perayaan seremonial; ia butuh keberanian moral untuk menegakkan yang benar meski sendirian.

Generasi muda hari ini mungkin lebih akrab dengan tagar ketimbang teks pidato, tapi justru di sanalah bentuk baru dari “kerakyatan”.

Mereka berbicara lewat meme, video pendek, atau tulisan—bentuk baru dari perlawanan yang lahir di era digital. Walau sering dianggap remeh, kreativitas ini sebenarnya adalah cara baru untuk menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan tetap berdenyut.

Pertanyaannya, apakah negara mau mendengarkan bahasa baru rakyatnya ini? Atau justru memilih menutup telinga dengan dalih “stabilitas”? Kita sering lupa bahwa stabilitas tanpa keadilan hanyalah keheningan yang menekan.

Pancasila bukanlah sekadar hafalan upacara, tapi napas dalam kehidupan bernegara. Bila sila-sila itu runtuh jadi retorika, maka rakyat berhak bertanya: masih relevankah Pancasila di tangan mereka yang berkuasa?

Atau justru rakyatlah yang mesti merebut kembali maknanya, menyalakan kembali api yang dulu membuat bangsa ini berdiri?

Karena pada akhirnya, Pancasila bukan milik penguasa. Ia milik rakyat. Dan selama rakyat berani menjaga ingatan, menolak lupa, serta menyuarakan kebenaran, Pancasila takkan pernah mati – ia hanya sedang menunggu untuk dibangkitkan lagi, dari jalanan, dari seni, dari hati yang tak rela dikhianati. (Red)

*) Penulis: Marsheilla Meida Ananda Putri

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like