Tari Saman di Reels Apple: Saat Tradisi Tak Lagi Diam di Panggung Global

Ilustrasi Tari Salman (sumber: pinterest)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG —Dari Layar 6 Inci, Suara Tradisi Menggelegar. Segalanya dimulai dari satu video pendek. Sebuah unggahan berdurasi tak sampai dua menit di akun Instagram @apple, brand teknologi raksasa dunia, yang memperlihatkan deretan gadis berjilbab dengan gerak yang sangat terkoordinasi, tepukan tangan yang padu, dan tatapan penuh fokus.

Tarian ini bukan dance TikTok atau gerakan hasil AI. Ini Ratoh Jaroe, warisan budaya Aceh yang mengalir dalam darah sebagian rakyat Indonesia, namun sering kali dilupakan oleh algoritma dunia digital.

Kini, budaya itu muncul sebagai wajah kampanye global Apple yang bertajuk ‘Music Moves Tradition’ dan mengguncang jagat maya. Yang lebih menyentuh dari sekadar kehadiran tarian itu adalah siapa yang menarikan.

Mereka bukan selebritas, bukan influencer dengan follower jutaan. Mereka adalah siswi-siswi SMA dari Tangerang Selatan. Ya, Tangerang Selatan, kota satelit Jakarta yang sering disebut hanya sebagai tempat numpang lewat, kini menjadi rumah dari viralitas budaya yang diangkat oleh Apple ke panggung dunia.

iPhone 16 Pro Max memang disebut-sebut sebagai perangkat tercanggih yang pernah mereka rilis. Tapi siapa sangka, fitur “Shot on iPhone” kali ini bukan hanya soal kualitas visual, tapi soal kualitas narasi.

Bahwa dari sebuah layar 6 inci, kisah identitas bangsa bisa dipertontonkan. Bahwa dari kamera ponsel, denyut nadi tradisi bisa dipancarkan ke dunia, lebih lantang dari pidato pejabat, lebih menyentuh dari konferensi budaya.

Saat Gerakan Jadi Narasi

Tari Ratoh Jaroe bukan sekadar serangkaian tepukan atau hentakan. Ia adalah bahasa. Bahasa tubuh yang lahir dari sejarah panjang masyarakat Aceh. Gerakannya komunal, teratur, bahkan repetitif, bukan tanpa alasan.

Setiap hentakan adalah penegasan, setiap suara yang dihasilkan tubuh adalah dialog kolektif tentang kebersamaan, tentang keberanian, tentang identitas perempuan dalam masyarakat yang religius dan maskulin sekaligus.

Ketika Apple menampilkannya dalam bingkai slow motion, kita tak hanya melihat gerakan. Kita menyaksikan narasi.

Narasi tentang bagaimana budaya bisa hidup dalam tubuh muda, dalam ruang pendidikan publik, dalam dunia yang sudah terlalu sering melihat “modernitas” sebagai lawan dari tradisi. Apple tidak hanya merekam gerakan; mereka menangkap makna.

Dan di sinilah kekuatan media digital hari ini: ketika kamera jadi lebih dari sekadar alat, ketika video jadi lebih dari sekadar hiburan. Ia menjadi medium of meaning.

Saat konten diproduksi bukan hanya untuk klik, tapi untuk membangun makna dan merawat akar, maka budaya tak lagi hanya tinggal dalam museum atau pentas festival, tapi hidup dalam genggaman, diulang-ulang dalam swipe, dan ditafsirkan ulang oleh generasi digital.

Narasi ini bukan hanya milik Apple. Ia kini milik kita semua. Dan pertanyaannya sederhana: beranikah kita merawat dan memperluasnya?

Jurnalisme, Budaya, dan Layar Kecil

Di tengah derasnya informasi yang membanjiri linimasa, jurnalisme seakan sedang berjuang untuk tetap relevan dan dipercaya.

Tapi barangkali kita lupa, bahwa jurnalisme sejatinya bukan hanya tentang berita harian atau skandal politik, tapi juga tentang menyuarakan makna, mengangkat yang terlupakan, dan menyulam kembali kebanggaan kolektif.

Dan di sinilah kekuatan video kampanye Apple itu: ia bisa saja dibaca sebagai bentuk jurnalisme budaya di era media baru.

Kita melihat wajah-wajah muda yang bukan hanya merepresentasikan kebhinekaan, tapi juga membawa tubuh budaya ke dalam bingkai visual yang estetik.

Dalam kerangka jurnalisme modern, ini bukan sekadar dokumentasi; ini adalah storytelling, kisah yang lahir dari pengalaman, dari tubuh yang bergerak, dan dari pesan yang ingin disampaikan tanpa kata.

Tradisi yang biasanya hanya hadir di panggung pertunjukan kini hidup di layar kecil, menggeser konten hiburan instan dengan sesuatu yang lebih bermakna. Ini menunjukkan bahwa media baru, ketika digunakan dengan kesadaran budaya, dapat menjadi kanal jurnalisme yang menjangkau audiens global tanpa kehilangan akar lokalnya.

Sebagai akademisi muda, kita perlu menyadari bahwa jurnalisme hari ini tak hanya ada di media cetak atau siaran berita TV. Ia juga ada di reels, di TikTok, di kampanye digital seperti ini, selama nilai kebenaran, kepentingan publik, dan makna dijunjung tinggi.

Siapa Bilang Tradisi Tidak Keren?

Kita hidup di zaman ketika “keren” sering diukur dari efek visual, tren TikTok, atau gaya bicara yang viral. Tapi video Apple yang menampilkan tarian Ratoh Jaroe ini dengan tegas membantah anggapan itu: bahwa tradisi itu usang, kuno, atau membosankan.

Sebaliknya, ia justru menunjukkan bahwa ketika dikemas dengan tulus, jujur, dan cermat, budaya bisa jauh lebih menggugah daripada sekadar gimmick viral.

Tidak ada kostum mahal, tidak ada visual buatan AI. Yang ada hanyalah ketulusan ekspresi dan kekuatan koreografi kolektif yang dilatih dengan dedikasi.

Yang ditampilkan adalah tubuh yang bergerak dalam keikhlasan. Di balik gerakan tangan yang cepat dan hentakan tubuh yang seragam, ada latihan, ada disiplin, dan ada cinta akan warisan.

Generasi muda yang selama ini dicurigai sebagai generasi yang jauh dari akar budaya justru menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi pewaris dan penjaga tradisi, asal diberi ruang, diberikan panggung, dan diakui. Dalam dunia yang dibanjiri suara-suara artifisial, ternyata suara tradisi bisa lebih lantang, dan lebih menyentuh.

Maka, jika kamu hari ini masih menganggap tradisi itu kaku dan kuno, mungkin yang kamu lihat selama ini hanyalah bingkai yang salah. Karena ketika ia ditampilkan dengan konteks, cinta, dan medium yang tepat, tradisi bisa lebih cool dari filter Instagram mana pun.

Dari Tangerang Selatan untuk Dunia

Siapa sangka, kota satelit di pinggiran Jakarta, Tangerang Selatan, bisa menjadi titik lompatan tradisi menuju panggung global?

Dalam video kampanye Apple bertajuk ‘Music Moves Tradition’, wajah-wajah muda dari MAN 4 Tangerang Selatan tampil penuh percaya diri membawa tarian Ratoh Jaroe ke dalam ritme modern. Bukan panggung seni, bukan gedung pertunjukan, tapi kamera iPhone dan layar digital.

Kita harus berhenti meremehkan ruang-ruang kecil pendidikan di daerah. Karena dari situlah, kekayaan budaya bisa mekar dan meledak jadi fenomena global. Sekolah bukan hanya tempat belajar teori, tapi juga laboratorium peradaban, tempat nilai-nilai lokal diasah, dibentuk, dan diberi kesempatan untuk dilihat dunia.

Bagi para siswi itu, mungkin awalnya hanya sebatas latihan ekskul atau proyek seni sekolah. Tapi begitu kamera menyala dan sorotan global menghampiri, mereka menjadi bagian dari sejarah. Ini bukan cuma tentang kebanggaan lokal, tapi juga tentang bagaimana kekuatan kolektif, kerja keras, dan kebudayaan bisa bersinar dari sudut kota yang jarang dilirik.

Bagi publik, ini pengingat bahwa akar budaya Indonesia bisa tumbuh dari mana saja. Bahkan dari sekolah negeri di pinggiran kota yang murid-muridnya mungkin tak pernah bermimpi bisa menjadi wajah dari sebuah kampanye teknologi kelas dunia.

Ketika Kamera Jadi Medium Peradaban

Zaman sudah berubah. Kamera bukan lagi sekadar alat dokumentasi atau pencitraan. Ia telah menjelma jadi saksi sejarah, pengarsip peradaban, bahkan jembatan antarbudaya.

Dalam kasus video tari Ratoh Jaroe ini, kamera, dalam genggaman iPhone 16 Pro Max, menjadi medium yang mentransformasi tradisi menjadi narasi visual yang tak hanya ditonton, tapi dirasakan secara emosional.

Kamera menangkap bukan hanya gerakan, tapi juga ekspresi: tatapan penuh fokus, harmoni tubuh yang bergerak dalam irama, hingga semangat kolektif yang seolah bersuara meski tanpa dialog. Inilah bukti bahwa di tangan yang tepat, teknologi bisa jadi alat emansipasi budaya, bukan alat penyeragaman global semata.

Ketika tari yang berasal dari Aceh bisa tampil memukau dan dipadukan dengan aransemen musik modern global, kita tak sedang kehilangan identitas. Kita justru sedang menunjukkan bahwa identitas itu cair, lentur, dan bisa berdialog dengan dunia, tanpa kehilangan maknanya.

Sebagai jurnalis, kita punya tugas untuk membaca lapisan-lapisan ini. Untuk tidak sekadar menyampaikan bahwa “Apple bikin iklan pakai tari Indonesia,” tapi menjelaskan kenapa itu penting, apa maknanya, dan bagaimana itu bisa memengaruhi cara kita memandang budaya dan diri kita sendiri.

Tradisi, Media Sosial, dan Era Validasi

Kita hidup di zaman di mana “validasi” bukan lagi sekadar pengakuan sosial, melainkan nyawa eksistensi digital. Sebuah tarian, foto, atau suara bisa hilang ditelan algoritma jika tak mampu menembus perhatian publik.

Tapi ketika tradisi seperti Ratoh Jaroe masuk dalam pusaran digital yang hiperaktif, dan tidak hanya bertahan, tapi justru viral, itu bukan sekadar keberuntungan. Itu adalah bukti kekuatan naratif budaya yang otentik.

Media sosial, yang dulunya dicemaskan sebagai ruang pelumpuh tradisi, kini justru bisa menjadi kanal paling efektif untuk membumikan warisan budaya.

TikTok, Instagram, YouTube bukan hanya tempat menari untuk viral, tapi juga ladang tempat identitas kultural ditanam ulang, dihidupkan kembali, bahkan diekspor ke mancanegara.

Namun, perlu dicatat, tidak semua validasi digital bermakna. Apresiasi pada budaya tidak boleh berhenti di tombol like dan komentar “keren”. Ia harus ditindaklanjuti dengan rasa ingin tahu, pemahaman, dan pengakuan bahwa setiap gerak dan bunyi dalam Ratoh Jaroe punya sejarah, pesan, dan filosofi.

Suara Tradisi Tak Bisa Dibungkam

Iklan Apple ini lebih dari sekadar strategi pemasaran atau kampanye visual. Ia adalah pengingat bahwa suara tradisi tak pernah benar-benar diam.

Ia hanya menunggu medium yang tepat untuk bersuara kembali. Dan kali ini, suara itu datang dari layar 6 inci, lewat gerakan serentak puluhan perempuan muda yang menggema dari Tangerang Selatan ke seluruh dunia.

Sebagai generasi muda, kita dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan tradisi kita membisu di pojok museum, atau mendorongnya menari di panggung-panggung digital global.

Pilihan Apple, lewat video kampanye ini, adalah bukti bahwa jika tradisi diberi ruang, ia bukan hanya mampu bertahan, tapi juga menginspirasi dunia.

Dan kita, lewat tulisan, dokumentasi, dan karya-karya visual, punya tugas: memastikan tradisi terus menemukan nadanya yang baru, tanpa kehilangan akar dan jiwanya. (Red)

Penulis: Faiz Rafdillah, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta

Ilustrasi Tari Salman (sumber: pinterest)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like