KDRT dan Lingkaran Kekerasan yang Tak Berujung: Ketika Harapan Mengalahkan Realita yang Ada

Ilustrasi KDRT / pinterest

SUARAMUDA, SEMARANG — Di balik dinding-dinding rumah yang seharusnya menjadi pelabuhan aman, seringkali tersimpan cerita-cerita yang memilukan.

Cerita tentang seorang perempuan, seorang istri, seorang ibu, yang setiap hari hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang datang dari tangan orang yang seharusnya menjadi pelindungnya.

KDRT Bukan Sekedar Kisah Sinetron

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan sekadar cerita di sinetron saja tapi ini adalah jeritan hati seorang wanita yang tersakiti, bisikan pilu dari jiwa yang terluka.

Dan yang paling pedih, seringkali perempuan itu memilih bertahan, terus menerus menggenggam harapan yang mustahil untuk berubah.

Tema ini saya angkat untuk dijadikan sebuah artikel opini karena di realita kehidupan sekitar kita, apalagi saya,—-tinggal di lingkungan pedesaan yang para perempuannya masih belum mandiri (bergantung pada suaminya).

Hal ini menyebabkan, mereka tidak bisa hidup tanpa suami yang menimbulkan banyak diantara suami mereka yang meremehkan peran perempuan karena seorang perempuan dianggap tidak akan bisa hidup tanpa adanya seorang suami (Mira Mareta, Zuhratul Azizah, 2021).

Sangat disayangkan, masyarakat pedesaan ini belum mengetahui tentang peran gender yang sebenernya, sehingga sistem yang mereka anut masih kental dengan budaya patriarki.

Saya sangat bersyukur, di Semester 6 ini bisa mendapatkan pengetahuan terkait gender dan keluarga. Hal ini karena menurut saya, menyangkut dengan masa depan yang akan saya perankan nanti.

Dengan modal pengetahuan terkait peran gender dan keluarga, ini bisa menjadi pedoman bagi saya dan keluarga nantinya—supaya tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat mengatasi terkait permasalahan yang akan dihadapi ke depannya.

KDRT di Kalangan Masyarakat

Ketika melihat realita dikehidupan rumah tangga, salah satu problem utamanya adalah KDRT yang sangat kompleks di kalangan masyarakat.

Lalu terbesit dalam pikiran saya; “mengapa sang istri tidak mau melapor atau melepaskan suaminya ini? Apalagi tindakan itu sudah sangat keterlaluan?

Pertanyaan ini cukup menghantui saya, dan atau bahkan kita semua, mungkin? Mengapa seorang perempuan yang sudah merasakan sakitnya pukulan, perihnya kata-kata kasar, dan hancurnya martabat, masih tetap di sana?

Jawabannya tidak pernah sederhana, selalu berlapis, terjalin dengan benang-benang harapan, kasih sayang yang keliru, dan rasa tanggung jawab yang amat besar. Banyak sekali alasannya.

Bisikan “Dia Pasti Berubah” merupakan sebuah mantra yang menyesatkan menurutku yang menjadikan diri ini semakin geregetan ketika mendengarnya.

“Dia pasti akan berubah.” Kalimat ini, seringkali lebih seperti mantra yang seringkali diucapkan oleh perempuan yang sudah sangat kecintaan terhadap laki-laki sehingga menutupi akal sehatnya.

Mereka mengenang masa-masa indah dulu, saat cinta masih murni, tawa masih lepas, dan janji-janji masih terasa nyata.

Mereka berpegang pada kenangan itu, membenarkan setiap amarah, setiap pukulan, setiap kata-kata menyakitkan, dengan dalih “mungkin dia sedang stres,” atau “ini hanya sesaat nanti juga dia akan berubah” (Silva Mangasik, Christiana Hari Soetjiningsih, 2022). Sebuah kalimat yang menurut saya ini tidak masuk dilogika.

Bahkan setelah insiden kekerasan, saat si pria ini meminta maaf dengan air mata, berlutut, dan berjanji tak akan mengulanginya, hati perempuan itu kembali luluh, ini yang saya seringkali tidak bisa berfikir kenapa hati perempuan itu cepet luluh dengan adanya air mata yang menetes itu tadi.

Ada segelitir harapan yang muncul, seolah mentari kembali menyinari. Namun, seringkali itu hanyalah bagian dari siklus kekerasan yang kejam.

Setelah fase “bulan madu” yang penuh penyesalan dan janji manis, ketegangan kembali menumpuk, dan kekerasan pun kembali terulang.

Pola ini seolah tak pernah putus, mengunci sang perempuan dalam penjara ilusi. Ini yang saya pelajari dari tema KDRT di mata kuliah Sosiologi Keluarga dan saya terapkan pada pada di realita kehidupan ternyata benar adanya.

Adanya Harapan untuk Berubah?

Harapan akan perubahan ini sayangnya, seringkali melumpuhkan akal sehat manusia dalam hal ini seorang perempuan.

Harapan ini membuat korban terus menoleransi perlakuan yang tak pantas, mengikis sedikit demi sedikit harga diri mereka, dan menjebak mereka dalam sebuah lingkaran setan.

Setiap janji yang tak terpenuhi, setiap permintaan maaf yang diulang-ulang tanpa perubahan nyata, hanya memperdalam luka dan memperpanjang penderitaan.

Mereka seolah berjalan di atas cangkang telur yang retak, selalu waspada, selalu takut, namun tak berani melangkah keluar, ini yang dirasakan seorang perempuan korban KDRT.

KDRT dalam Hubungan “Pacaran

Saya sebenernya kesel, emosi, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Soalnya, saya juga pernah menasihati teman saya sendiri—dimana dia dan pasangannya dalam asmara (pacaran) pernah mempraktikkan KDRT.

Atas kasarnya “si cowok”, perempuan yang merupakan teman saya hanya bisa menangis sedu atas kelakuan laki-laki yang “sangat toxic”. Tapi kenyataan itu terus berulang, hingga saya pun bosan memberikan nasehat. Toh, ” nanti juga bakal balikan lagi”!

Dari kasus itu, saya mengibaratkan: ”belum jadi suami saja sudah bersikap seperti itu, apalagi kalau sudah berumah tangga”.

Tetapi seseorang yang berada di dalam lingkaran percintaan (asmara) seringkali tidak sadar apa bentuk kekerasan yang terjadi pada dirinya dan cenderung tak mempan untuk diberikan nasehat.

Emang, cinta itu bisa membuat kita buta sehingga menghalangi jalan pikiran akal sehat kita untuk ke jalan yang lurus“.

Alasan KDRT dalam Rumah Tangga

Nah, dalam kasus KDRT pada rumah tangga, alasan paling rasional seorang perempuan korban KDRT seting kali mempertahankan rumah tangganya karena anak.

“Anak-anak butuh sosok seorang ayah”. Inilah bisikan lain yang begitu kuat, sering kali menjadi alasan paling sulit untuk dipecahkan.

Bayangan anak-anak tumbuh tanpa sosok ayah, tanpa keluarga yang “utuh,” adalah suatu hal yang begitu menakutkan bagi para ibu.

Mereka rela menelan pahitnya kekerasan, demi menjaga keutuhan keluarga, demi anak-anak tercinta (Feti Astuti, 2025).

Mereka percaya, betapa pun sulitnya, anak-anak akan lebih bahagia jika orang tuanya tetap bersama.

Tapi, kalau dilihat lebih mendalam anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan KDRT akan menjadi saksi bisu dari setiap pertengkaran, setiap tangisan, setiap ketakutan.

Dampak bagi Anak

Mereka menyerap energi negatif itu. Mereka mungkin tidak memar secara fisik seperti yang dilakukan oleh ayah kepada ibunya, tetapi luka di jiwa mereka bisa jauh lebih dalam.

Anak-anak ini bisa tumbuh dengan trauma, kecemasan berlebih, depresi, kesulitan di sekolah, bahkan masalah perilaku (Iva Nur Vaizah, 2023).

Anak laki-laki bisa jadi meniru perilaku kasar ayahnya, menganggap itu adalah cara yang wajar dalam hubungan, sementara anak perempuan mungkin tumbuh dengan pemahaman bahwa penderitaan adalah bagian dari cinta.

Ironisnya, dengan bertahan demi anak, sang ibu justru menempatkan anak-anaknya pada risiko yang lebih besar (Ayu Setyaningrum, Ridwan Arifin, 2019).

Mereka tanpa sadar mengajarkan anak-anak bahwa kekerasan adalah hal yang bisa ditoleransi dalam sebuah hubungan, bahwa penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang harus ditelan.

Anak-anak sebenarnya membutuhkan contoh yang baik tentang hubungan yang penuh rasa ksih, cinta yang tulus, dan rasa aman.

Sebuah rumah tangga yang damai, meskipun orang tua terpisah, jauh lebih baik daripada rumah tangga yang “utuh” namun dipenuhi ketakutan dan kekerasan.

Jiwa anak-anak terlalu berharga untuk menjadi tumbal keutuhan semu. Itulah segelintir alasan yang mereka pertahankan.

Dilema bagi Seorang Perempuan

Seorang perempuan yang memilih bertahan dalam KDRT sebenarnya bukan sekadar pilihan sederhana, melainkan sebuah dilema yang sangat rumit, yang melibatkan faktor psikologis, sosial, dan bahkan ekonomi.

Banyak korban tidak memiliki dukungan yang memadai, baik dari keluarga, teman, maupun sistem yang ada.

Stigma sosial terhadap perceraian dan ketidakmandirian secara finansial juga kerap mempengaruhi.

Maka, meminjam Tina dkk (2022), yang seharusnya dilakukan adalah melalui penyadaran yang dimana kita harus terus bicara soal KDRT, memberikan dukungan psikologis dan hukum harus mudah dijangkau.

Hal yang paling penting menurut saya, perempuan harus mandiri secara finansial biar tidak diremehkan oleh seorang suami.

Jadi, kalau peluang terburuk harus berpisah karena ego masing-masing atau bahkan oleh mau, setidaknya seorang perempuan masih tetap bisa mnghidupi diri pribadi serta anak-anak. (Red)

Penulis: Tri Mutiara, mahasiswa Sosiologi UIN Walisongo Semarang

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like