
SUARAMUDA.NET, MAMUJU — Pemangkasan anggaran transfer daerah sebesar 24,8 persen menjadi pukulan berat bagi seluruh pemerintah kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat.
Dampak kebijakan ini dipastikan akan menghambat pelaksanaan sejumlah program strategis daerah yang sebelumnya direncanakan sebagai prioritas pembangunan tahun 2026.
Kondisi tersebut menempatkan Sulbar dalam situasi fiskal yang rentan. Sebagian besar struktur APBD di enam kabupaten masih bergantung pada dana transfer pusat, dengan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang relatif kecil.
Dengan ruang fiskal yang menyempit, kemampuan daerah dalam mempertahankan proyek infrastruktur dasar dan layanan publik menjadi terbatas.
Sektor yang paling tertekan diperkirakan meliputi pembangunan jalan, rehabilitasi sekolah, fasilitas kesehatan, dan program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Banyak di antara proyek tersebut bergantung pada alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) yang kini ikut mengalami pemangkasan.
Dalam situasi genting ini, koordinasi kelembagaan antara Pemkab dan Pemerintah Pusat menjadi kebutuhan mendesak. Pemkab tidak dapat berjalan sendiri menghadapi tekanan fiskal tanpa dukungan politik dan representasi dari pusat, khususnya dari para anggota DPR RI asal Sulawesi Barat.
Lima nama besar yang saat ini duduk di Senayan mewakili Sulbar—Ajbar Abd Kadir, Ratih Megasari Singkarru, Zulfikar Aras, Suhardi Duka, dan Agus Ambo Djiwa—diharapkan mampu memainkan peran strategisnya.
Posisi mereka di parlemen nasional seharusnya menjadi saluran advokasi kepentingan daerah dalam pembahasan kebijakan anggaran dan program prioritas nasional.
Namun hingga kini, belum terlihat pola koordinasi yang kuat antara Pemkab dan anggota DPR RI dapil Sulbar. Banyak peluang program kementerian tidak terserap optimal karena minimnya komunikasi dan advokasi politik di tingkat pusat. Akibatnya, kebutuhan riil daerah tidak selalu terakomodasi dalam kebijakan nasional.
Kesenjangan ini semakin tampak pada bidang ketahanan pangan, pendidikan, dan infrastruktur ekonomi lokal. Beberapa kabupaten dilaporkan kesulitan mengakses bantuan program dari kementerian teknis karena lemahnya dukungan lintas lembaga.
Padahal, di tengah pengetatan fiskal, akses terhadap program pusat menjadi penyelamat utama kelangsungan pembangunan daerah.
Kelemahan koordinasi lintas lembaga juga mencerminkan belum solidnya perencanaan berbasis kolaborasi antara daerah dan pusat.
Dokumen perencanaan daerah sering kali tidak sejalan dengan prioritas kementerian, sehingga peluang mendapatkan alokasi tambahan APBN kerap terlewat. DPR RI seharusnya hadir untuk menjembatani kesenjangan tersebut.
Memasuki tahun anggaran 2026, Sulbar dihadapkan pada ujian serius. Tanpa intervensi kebijakan dan dukungan representatif dari pusat, sebagian besar target pembangunan dalam RPJMD akan sulit tercapai.
Pemerintah daerah perlu memperkuat kolaborasi antar kabupaten, namun langkah itu tetap membutuhkan dukungan politik di tingkat nasional.
Anggota DPR RI memiliki kewenangan dan posisi strategis untuk memastikan daerahnya tidak tertinggal dalam distribusi anggaran nasional.
Melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, mereka dapat memperjuangkan agar Sulbar tetap menjadi bagian dari prioritas pembangunan nasional, bukan sekadar pelengkap statistik wilayah tertinggal.
Sayangnya, dua tahun terakhir belum terlihat capaian signifikan dari fungsi advokasi fiskal DPR RI dapil Sulbar. Minimnya inisiatif publik, forum konsultasi daerah, maupun hasil konkret dalam bentuk alokasi tambahan anggaran memperlihatkan lemahnya pengarusutamaan isu Sulbar di tingkat nasional.
Menurut Maenunis Amin, Direktur Logos Politika, lemahnya koordinasi fiskal ini bukan semata karena keterbatasan anggaran, tetapi karena kurangnya mekanisme komunikasi lintas institusi.
“Keterlibatan DPR RI asal Sulbar sangat menentukan. Mereka bukan hanya penyampai aspirasi, tapi juga penentu arah dukungan kebijakan dari kementerian. Tanpa peran mereka, Sulbar akan kesulitan menembus prioritas program nasional,” tegas Maenunis.
Sementara itu, Asraf, Ketua Umum Kesatuan Pemuda Kerakyatan (KPK) Sulawesi Barat), menilai perlunya tanggung jawab politik yang lebih nyata dari wakil rakyat di Senayan.
“Kami mendesak seluruh anggota DPR RI asal Sulbar tidak sekadar tampil saat reses. Mereka harus berjuang nyata di pusat untuk memastikan program prioritas daerah tidak mati di tengah jalan akibat pemotongan anggaran,” ujar Asraf.
Ini menegaskan bahwa pemangkasan transfer daerah bukan sekadar isu teknis keuangan, tetapi persoalan politik representasi.
Tanpa keterlibatan aktif DPR RI dalam memperjuangkan kepentingan fiskal dan program strategis, pembangunan Sulbar akan terus tersendat.
Para wakil rakyat di Senayan dituntut menunjukkan keberpihakan nyata pada daerah yang mereka wakili, terutama di masa sulit fiskal seperti sekarang. (Red)
Penulis: El Bara, Kader HMI cabang Polewali Mandar