Dulu “Kasihan” Rakyat, Sekarang Tantangin Rakyat

Oleh: Ali Achmadi*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Tahun 2024, Sudewo naik panggung politik bukan hanya dengan suara, tapi juga dengan kata-kata. Kata-kata yang membius. Yang meyakinkan. Yang manis seperti madu hutan Gunung Muria: “Kasihan rakyat kalau PAD ditopang dari pajak.”

Begitu katanya di debat Pilkada. Disiarkan media. Disaksikan rakyat Pati. Dan hari ini, kata-kata itu berubah menjadi senjata makan tuan. Rakyat yang dulu mendukung, kini menunduk—-tapi bukan karena tunduk, melainkan tercekik. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dinaikkan 250 persen.

Bukan pelan-pelan. Tapi melonjak seperti roket. Yang lebih mengejutkan bukan angkanya, tapi reaksinya. Ketika warga mengeluh, ia menantang. “Silakan demo! Jangankan lima ribu, lima puluh ribu pun saya tidak gentar !” katanya.

Sudewo lupa: rakyat bukan musuh. Tapi majikan. Dan janji kampanye bukan suara kosong, tapi utang. Sekarang rakyat menagih. Tapi yang muncul justru arogansi. Ia berdalih, PBB di Pati tidak pernah naik selama 14 tahun.

Ia bandingkan dengan Jepara, Rembang, Kudus. Benar. Tapi siapa yang suruh membandingkan dari sisi beban rakyat?

Kalau semua harus pakai logika “seharusnya bisa 1.500 persen”, lalu kenapa dulu waktu kampanye tidak bilang saja: “Nanti saya naikkan PBB 250 persen.” Pasti tidak ada yang pilih. Janji Sudewo hari ini sedang dikembalikan oleh sejarah.

Dari Trio Srigala ke Trio Masalah

Kisah ini tak selesai di pajak. Ada banyak lembar yang harus dibuka. Masih segar dalam ingatan, sebuah pertunjukan goyang seronok oleh Trio Srigala, yang dipertontonkan secara terbuka di depan bupati dan jajaran pejabat Kabupaten Pati.

Pertunjukan itu dalam acara penyerahan badan hukum Koperasi Desa/ Kelurahan Merah Putih serta penandatanganan MoU Hari Jadi Kabupaten, menjadi bukti yang memalukan dan mengguncang rasa keadilan moral masyarakat.

Kegiatan ini bukan sekadar soal selera hiburan. Ia menyangkut posisi moral seorang pemimpin yang sejatinya menjadi teladan, bukan justru turut merayakan tontonan yang secara kasat mata jauh dari nilai-nilai pendidikan, etika publik, maupun kearifan lokal.

Kebijakan Ngawur: Libur Massal & Madin Terpinggirkan

keputusan “aneh” yang terbaru dan masih hangat: Seluruh siswa dari SD/MI sampai SMA/SMK/MA diliburkan demi acara keramaian Hari Jadi Kabupaten Pati. Disuruh hadir. Disuruh meriahkan. Ini bukan Korea Utara. Ini Pati, ini Indonesia. Dan Pati bukan milik bupati.

Lebih dulu lagi, kebijakan lima hari sekolah juga bikin gaduh. Ditolak masyarakat. Ditolak ormas keagamaan. Karena mengganggu pendidikan Madin dan TPQ. Tapi lagi-lagi, suara rakyat dianggap angin.

Dari Janji ke Arogansi

Apa yang membuat seseorang berubah dari “pembela rakyat” menjadi “penantang rakyat”? Mungkin kekuasaan. Mungkin lupa diri. Atau mungkin keduanya.

Sudewo sedang mencatatkan namanya sebagai bupati dengan kontradiksi paling tebal. Dulu “kasihan” rakyat, kini justru menekan rakyat. Bupati itu pelayan, bukan penguasa. Ia dipilih bukan untuk jadi raja. Tapi kini rakyat merasa dijajah.

Sudewo bisa berdalih PBB untuk pembangunan. Tapi pembangunan tanpa kepercayaan adalah ilusi. Karena infrastruktur yang kuat tidak akan menolong, jika kepercayaan rakyat sudah runtuh.

Rakyat Pati bukan anti pembangunan. Tapi rakyat Pati anti penghianatan. Dan sejarah punya cara menyimpan luka. Hari ini rakyat menulis. Besok sejarah akan menghakimi. Sadarlah ….. Jangan tunggu suara rakyat berubah menjadi badai. (Red)

*) Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati.

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like