
Liputan Khusus Haji 2025 oleh Faiz Rafdillah*)
SUARAMUDA, MAKKAH, ARAB SAUDI — Wukuf di Arafah adalah momen paling agung dalam perjalanan haji. Tapi bagi kami, jamaah asal Indonesia, Arafah 2025 justru menjadi salah satu titik paling menyedihkan.
Bukan karena cuaca atau fisik yang letih, melainkan karena perlakuan sistem yang kacau, koordinasi yang ceroboh, dan pelayanan yang sangat jauh dari kata pantas.
Kloter saya, Kloter 47, mengalami jadwal keberangkatan yang berantakan. Awalnya dijadwalkan pukul 09.00 pagi, lalu berubah mendadak menjadi pukul 16.00 sore.
Namun kenyataan di lapangan, kami baru dijemput pukul 19.00 malam. Tak ada penjelasan, tak ada permintaan maaf. Padahal ini adalah ibadah sakral, bukan wisata rombongan.
Saat tiba di Arafah, kami disambut dengan ketidaksiapan yang menyedihkan. Makan siang dan malam tidak datang untuk sebagian besar kloter.
Beberapa hanya menerima sarapan, itupun sangat telat. Bahkan batu kerikil untuk prosesi lempar jumroh, yang seharusnya dibagikan kepada setiap jamaah, hanya tersedia untuk sebagian kecil.
Alasan dari petugas syarikah: “sudah habis.” Habis? Ini bukan souvenir. Ini bagian dari rukun ibadah yang seharusnya terorganisir sejak jauh-jauh hari.
Pelayanan yang Sembrono
Fenomena ini menegaskan satu hal: pelayanan haji tahun ini bukan hanya buruk, tapi sembrono.
Syarikah yang ditunjuk Pemerintah Saudi terlihat tidak profesional, tidak sistematis, bahkan terkesan tidak peduli.
Di titik ini, kita tidak hanya bicara soal logistik. Kita sedang bicara tentang martabat jamaah dan kehormatan negara.
Indonesia adalah negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia.
Tapi kenyataannya, jamaah kita diperlakukan bukan sebagai tamu Allah yang dihormati, melainkan sebagai kelompok besar yang dijadikan kelinci percobaan atas sistem baru yang belum matang.
Tahun ini banyak perubahan teknis terjadi di lapangan, mulai dari pemindahan otoritas dari Kementerian Haji ke syarikah, sistem zonasi, hingga manajemen layanan, semuanya terasa seperti uji coba. Dan kami, jamaah Indonesia, seperti objeknya.
Kondisi ini menambah daftar panjang bukti bahwa pihak Saudi, melalui syarikah dan sistem haji mereka, tidak memprioritaskan pelayanan terhadap Indonesia secara serius.
Apakah karena jumlah kami terlalu besar dan dianggap bisa dimaklumi jika sebagian dikecewakan?
Atau memang sejak awal tak ada niat melayani dengan hormat? Kalau seperti ini, untuk apa kita terus bersikap lunak?
Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa ini bukan sekadar soal keterlambatan makan. Ini soal perlakuan struktural yang meremehkan jamaah kita secara sistemik.
Saya mendesak agar pemerintah Indonesia bersikap lebih tegas. Tak cukup hanya melakukan evaluasi internal. Kita perlu menyuarakan protes diplomatik yang jelas kepada otoritas Saudi.
Jika perlu, evaluasi menyeluruh atas kerja sama syarikah dan sistem haji baru dilakukan secara terbuka.
Jika perlu, pemerintah Indonesia berani mengancam pembekuan kerja sama hingga standar pelayanan diperbaiki secara sistemik dan terbukti.
Kami datang ke Tanah Suci bukan hanya sebagai individu yang beribadah, tetapi juga sebagai wajah bangsa.
Dan ketika wajah itu dipermalukan, maka yang tercoreng bukan hanya jamaahnya, tapi juga negara yang mengirim mereka.
Hari-hari terakhir menjelang puncak haji seharusnya menjadi titik spiritual tertinggi. Tapi ketika urusan paling mendasar saja tidak dihormati, wajar jika muncul pertanyaan: masihkah haji ini dikelola sebagai ibadah, atau sudah sepenuhnya berubah menjadi industri?
Indonesia harus bicara. Bukan dengan marah, tapi dengan wibawa. Jamaah kita bukan objek percobaan. Mereka layak dilayani dengan martabat, bukan sekadar dimaklumi karena jumlah mereka terlalu besar. (Red)