Ketua PeTA: Rp2 Triliun Dana Otsus Cukup untuk Sejahterakan Eks Kombatan GAM

SUARAMUDA.NET, TAPAK TUAN, ACEH SELATAN— Ketua Pembela Tanah Air (PeTA) Aceh, Teuku Sukandi, melontarkan kritik tajam terhadap pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang telah mengalir lebih dari Rp100 triliun sejak penandatanganan perjanjian damai Helsinki tahun 2005.

Menurutnya, dua dekade setelah perdamaian, janji kesejahteraan bagi para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) masih jauh dari kenyataan.

Padahal, kata dia, dengan sedikit visi dan keberanian politik, dana Otsus dapat menjadi “tabungan abadi” yang menjamin kehidupan layak bagi para eks pejuang.

“Bayangkan, jika Rp2 triliun saja dari dana Otsus dijadikan tabungan abadi dalam bentuk saham syariah di Bank Aceh Syariah atau bank lokal lainnya, hasil bagi hasilnya bisa mencapai enam persen per tahun. Itu berarti ada Rp120 miliar per tahun, atau sekitar Rp10 miliar per bulan, yang bisa dibagikan kepada para mantan kombatan,” ujar Sukandi dalam keterangan persnya di Banda Aceh, Selasa (7/10/2025).

Dengan asumsi sekitar 5.000 mantan kombatan, lanjutnya, setiap orang dapat menerima Rp2 juta per bulan secara rutin. “Itu hitungan realistis, bukan mimpi,” tegasnya.

Dana Triliunan, Kemiskinan Tak Beranjak

Sukandi menyoroti fakta bahwa sejak 2008 hingga kini, Aceh telah menerima lebih dari Rp100 triliun Dana Otsus berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun dana besar itu, katanya, belum banyak berdampak pada kesejahteraan rakyat.

Data BPS Maret 2025 menunjukkan Aceh masih termasuk provinsi termiskin di Sumatera, dengan tingkat kemiskinan 12,33 persen dan angka pengangguran terbuka yang tetap tinggi.

“Ini ironi besar. Dana Otsus yang seharusnya menopang kesejahteraan justru menjadi sumber kekecewaan. Banyak eks kombatan kini menjadi buruh, petani tanpa lahan, bahkan penambang rakyat tanpa legalitas. Perdamaian yang mahal ini tidak boleh berakhir tanpa kesejahteraan,” ujarnya.

Seruan kepada Gubernur Mualem

Sukandi menilai, masa ini menjadi momentum penting karena masa penyaluran Dana Otsus akan berakhir pada 2027. Ia pun menyinggung peran strategis Muzakir Manaf (Mualem) — mantan Panglima GAM yang kini menjabat Gubernur Aceh — sebagai sosok yang memiliki tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan para mantan kombatan.

“Mualem adalah simbol perjuangan dan perdamaian. Jika di masa kepemimpinannya sebagian Dana Otsus bisa dijadikan tabungan abadi bagi rakyat dan eks kombatan, itu akan menjadi warisan sejarah yang jauh lebih bermakna daripada sekadar membangun jalan dan gedung,” tutur Sukandi.

Gagasan Dana Abadi Perdamaian

Sukandi menjelaskan bahwa tabungan abadi bukan sekadar hibah atau santunan, melainkan aset berkelanjutan yang dikelola secara syariah, transparan, dan produktif.

Skema ini, menurutnya, dapat menjamin stabilitas ekonomi eks kombatan sekaligus memperkuat fondasi perdamaian Aceh secara berkelanjutan.

Ia mencontohkan model serupa yang diterapkan di Timor Leste dan Irlandia Utara, di mana sebagian dana perdamaian diinvestasikan untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi para pejuang dan masyarakat terdampak konflik.

“Kalau Dana Otsus dikelola dengan paradigma baru—tidak habis dalam setahun, tapi tumbuh menghasilkan dividen bagi rakyat—Aceh bisa mandiri tanpa terus bergantung pada belas kasihan pusat. Itulah bentuk kemandirian sejati sesuai semangat perjuangan Aceh,” katanya.

Sorotan terhadap Transparansi Otsus

Sukandi juga menyoroti lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Dana Otsus selama ini. Ia menyebut banyak proyek yang tak menyentuh masyarakat dan berakhir sebagai temuan pemborosan dalam laporan audit.

“Sudah terlalu banyak temuan BPK yang menunjukkan proyek-proyek Otsus tidak efektif, bahkan mangkrak. Padahal kalau Rp2 triliun saja dari dana itu dikelola dengan benar, hasilnya bisa menghidupi ribuan keluarga mantan kombatan setiap bulan,” ujarnya.

Menegakkan Damai dengan Keadilan Ekonomi

Sukandi menutup pernyataannya dengan seruan moral kepada pemerintah Aceh dan para elit lokal untuk kembali ke semangat perdamaian yang sejati.

“Perdamaian bukan sekadar tanda tangan di MoU Helsinki, tapi keberanian untuk menghadirkan keadilan ekonomi bagi rakyat yang dulu berjuang di bawah bendera Aceh Merdeka. Kesejahteraan eks kombatan adalah pondasi moral perdamaian Aceh. Jika perut mereka lapar, maka damai pun rapuh,” pungkasnya.

Pernyataan Teuku Sukandi menjadi pengingat keras di ujung masa Dana Otsus: bahwa di balik pembangunan fisik, masih ada janji kesejahteraan yang tertinggal. Dan di Aceh, seperti ia sindir, angka dan fakta masih sering kalah oleh kepentingan elit. (Red)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like