Dua Ruang, Satu Teguran

SUARAMUDA.NET, SEMARANG
Dialog Imajiner 1: Sudewo & Mendagri.
Pagi itu, ruang kerja Mendagri dingin. Pendingin ruangan bekerja terlalu baik, atau mungkin suasananya yang memang membeku.

Mendagri: “Pak Bupati Pati… saya dengar Anda menaikkan PBB P2 sebesar 250%?”

Sudewo (tersenyum tipis): “Betul, Pak Menteri. Untuk meningkatkan PAD.”

Mendagri: “PAD, ya. Tapi rakyat Anda teriak kesakitan. Itu seperti mengobati demam dengan membakar rumahnya.”

Sudewo: “Tapi ini demi pembangunan, Pak. Jalan, jembatan, drainase…”

Mendagri: “Pembangunan tanpa rakyat yang mampu bayar pajak itu seperti membangun gedung di atas pasir. Kalau warga sampai menjual harta miliknya untuk bayar pajak… itu bukan pembangunan, itu pemiskinan.”

Sudewo (mulai gelisah): “Saya sudah siap kalau rakyat mau demo. Silakan saja.”

Mendagri (menatap tajam): “Nah, itu yang lebih bahaya. Kalau kepala daerahnya sudah merasa kebal demo, tandanya ia sudah lupa cara mendengar. Ingat, Anda bukan panglima perang. Anda pelayan publik.”

Sudewo: “Saya… akan mempertimbangkan masukan Bapak.”

Mendagri: “Pertimbangkan cepat. Sebelum suara rakyat berubah jadi gelombang yang menenggelamkan kursi Anda.”

Sudewo diam. AC tetap dingin. Tapi keningnya mulai basah.

Dialog Imajiner 2: Sudewo & Elit Gerindra

Ruang rapat DPP Gerindra sore itu tak terlalu ramai. Tapi aura tegangnya cukup untuk membuat siapa pun menelan ludah dua kali.

Elit Partai: “Mas Sudewo… ini kabar dari Pati. PBB naik 250%? Rakyat marah besar.”

Sudewo (dengan suara datar): “Saya hanya ingin meningkatkan pendapatan daerah.”

Elit Partai: “Pendapatan daerah itu penting, tapi suara rakyat lebih penting. Ingat, yang memilih Anda itu rakyat… dan yang memilih partai ini juga rakyat.”

Sudewo: “Saya siap jelaskan ke publik.”

Elit Partai: “Jelaskan? Mas, di politik itu, ketika rakyat sudah sakit hati, penjelasan sering hanya terdengar seperti pembenaran. Anda mau kita kehilangan kursi di Pati?”

Sudewo (menghela napas): “Saya kira partai akan mendukung langkah ini.”

Elit Partai: “Kita mendukung langkah yang pro-rakyat. Bukan yang bikin rakyat meringis. Ingat, di kotak suara nanti, warga tidak akan menulis ‘terima kasih atas pembangunan’. Mereka akan ingat siapa yang membuat mereka sulit makan.”

Sudewo: “….”

Elit Partai: “Mas Sudewo, dalam politik itu ada garis merah. Salah satunya: jangan membuat rakyat marah menjelang pemilu. Kalau sampai itu terjadi, rakyat tidak akan ingat apa yang sudah kita bangun… mereka cuma ingat siapa yang membuat mereka menderita.”

Sudewo (lirih): “Baik… saya mengerti.”

Hening.
Di luar, suara hujan terdengar pelan. Seolah ikut mengingatkan: suara tetes air itu kecil, tapi kalau terus menerus… bisa merobohkan batu. (*)

Penulis: Ali Achmadi, praktisi pendidikan dan pemerhati masalah sosial, tinggal di Pati.

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like