
Oleh: Shafira Putri Indraswati *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Baru-baru ini jagad maya dihebohkan dengan kericuhan yang terjadi pada penyelenggaraan Job Fair bertajuk “Bekasi Pasti Kerja 2025” yang berlangsung pada Selasa, 27 Mei 2025.
Bertempat di President University Convention Center, Jababeka, Cikarang, ribuan wajah penuh harap berdesakan, berpanas-panasan, dan rela antre demi selembar peluang untuk bekerja.
Di media sosial terlihat berbagai foto dan video itu dibagikan dengan jelas dan menuai beragam reaksi dari masyarakat.
Acara Job Fair bertajuk “Bekasi Pasti Kerja 2025” diinisiasi oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi, dengan menyediakan lebih dari 2500 lowongan pekerjaan.
Acara ini berupaya mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan secara langsung, dengan harapan dapat menekan angka pengangguran.
Harapan dapat Pekerjaan
Antusiasme sekitar 25.000 pencari kerja yang memadati lokasi acara mencerminkan tingginya harapan masyarakat terhadap peluang kerja yang ditawarkan.
Kabupaten Bekasi, khususnya Cikarang, memang dikenal sebagai kawasan industri dengan ratusan perusahaan berskala nasional yang beroperasi di dalamnya.
Harapan besar untuk menjadi bagian dari dunia kerja membuat ribuan orang rela antre panjang demi mendapatkan kesempatan.
Fenomena ini seakan menampar Pemerintah Indonesia bahwasanya isu pengangguran dan ketenagakerjaan belum bisa teratasi.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, mencatat angka pengaguran terbuka di Kabupaten atau Kota Bekasi mencapai mencapai 8,82 persen dari 1,6 juta angkatan kerja atau sekitar 142 ribu orang.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2025, mencatat jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 153,05 juta orang, meningkat 3,67 juta dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingginya Angka Pengangguran
Sementara itu, jumlah penduduk yang bekerja tercatat sebanyak 145,77 juta orang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di wilayah ini cukup tinggi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah daerah melalui Disnaker Kabupaten Bekasi menggelar berbagai kegiatan, salah satunya Job Fair bertajuk “Bekasi Pasti Kerja Expo 2025”.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disnaker Kabupaten Bekasi, Nur Hidayah Setyowati, menyampaikan bahwa penyelenggaraan Job Fair dilakukan secara hybrid dengan tujuan untuk menekan angka pengangguran.
Selain menggelar Job Fair, Disnaker Kabupaten Bekasi, Nur Hidayah Setyowati, memyampaikan bahwa Ia juga tengah mengupayakan nota kesepakatan (MoU) dengan perusahaan-perusahaan dengan tujuan memberikan payung hukum bagi pemerintah daerah terhadap perusahaan agar lebih banyak menyerap tenaga kerja lokal.
Meskipun tujuan penyelenggaraan job fair sangat mulia, pelaksanaannya tidak lepas dari berbagai persoalan.
Salah satu isu yang mencuat adalah praktik percaloan yang menghalangi pelamar kerja.
Beberapa pelamar mengaku dihadang oleh calo saat hendak mengikuti wawancara kerja, meskipun mereka telah mendapatkan panggilan resmi dari perusahaan.
Kementerian Ketenagakerjaan pun angkat bicara, mengimbau masyarakat untuk melaporkan praktik percaloan kepada dinas terkait atau kepolisian.
Problem Standar Perusahaan
Selain itu, banyak pelamar yang merasa kecewa karena rumitnya klasifikasi dan tingginya standar yang ditetapkan perusahaan.
Banyak pelamar yang dihadapkan pada ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan pribadi dengan tuntutan yang tidak realistis.
Tak jarang, perusahaan cenderung mencari calon pekerja yang siap pakai demi efisiensi. Hal ini yang membuat lowongan pekerjaan yang diinginkan menjadi terbatas.
Di sisi lain, informasi lowongan yang tidak transparan turut memperkeruh situasi. Disnaker mengakui bahwa implementasi Perpres 57 Tahun 2023 tentang Wajib Lapor Lowongan Pekerjaan masih belum optimal karena tidak adanya sanksi bagi perusahaan yang tidak melaporkan lowongan pekerjaan.
Berbagai persoalan yang muncul tidak hanya disebabkan karena faktor teknis ketenagakerjaan, tetapi juga terdapat relasi kuasa dan distribusi sumber daya yang tidak merata.
Ketimpangan Struktural
Dalam kaca mata sosiologi, fenomena job fair Cikarang mencerminkan ketimpangan struktural, di mana negara gagal mengakomodasi kebutuhan dasar warganya secara setara.
Dalam pandangan Max Weber, masyarakat modern yang dipenuhi oleh rasionalisasi formal justru menciptakan jebakan prosedural.
Dalam hal ini, birokrasi ketenagakerjaan justru membuat sistem perekrutan kerja yang terlalu kaku dan tidak transparan sehingga menyulitkan bagi pencari kerja.
Ini seperti “kandang besi”, di mana yang seharusnya aturan dibuat untuk efisiensi justru membatasi akses dan merugikan mereka yang sangat membutuhkan.
Tidak heran jika kemudian penyelenggaraan job fair bertajuk “Bekasi Pasti Kerja 2025” menuai kericuhan dan banyak kritik tajam dari masyarakat terhadap birokrasi.
Persoalan dan tantangan yang muncul dapat membuka mata kita bahwa tidak serta merta yang diubah atau ditingkatkan kompetensi individual, tetapi juga membenahi sistem sosial yang menaunginya.
Misalnya standar kualitas pendidikan dan keahlian, sistem rekruitmen, hingga pengawasan terkait kerawanan praktik eksploitasi dan percaloan di dunia kerja. Sebuah job fair seharusnya menjadi simbol harapan, bukan arena ketidakadilan.
Job fair di Cikarang merupakan langkah positif dalam mengatasi permasalahan pengangguran di wilayah tersebut.
Namun, keberhasilan kegiatan ini sangat bergantung pada pelaksanaan yang transparan dan bebas dari praktik-praktik yang merugikan pencari kerja.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk menciptakan sistem rekruitmen yang adil, efektif, dan transparan.
Dengan demikian, harapan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dapat terwujud dan angka pengangguran di Kabupaten Bekasi dapat ditekan secara signifikan. (Red)
*) Shafira Putri Indraswati, mahasiswa Prodi Sosiologi, FISIP, UIN Walisongo Semarang