
Oleh: Julianty Silvia Putri *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mendadak ramai diperbincangkan setelah muncul spanduk kampanye politik yang tak biasa.
Sosok Benny Batara, yang menyatakan diri akan maju sebagai calon Wali Kota, memasang baliho dengan janji spektakuler: membangun tempat hiburan serupa Disneyland di Pangkalpinang.
Klaim ini sontak memantik reaksi beragam dari masyarakat—dari yang menganggapnya sebagai lelucon, hingga mereka yang terbuai oleh janji perubahan tata kota.
Tapi mari kita jujur: Disneyland, di Pangkalpinang?
Disneyland adalah ikon hiburan kelas dunia. Di bangun di negara-negara seperti Amerika Serikat, Prancis, Jepang, dan Tiongkok, tempat ini membutuhkan dana pembangunan luar biasa besar.
Disneyland Shanghai misalnya, menghabiskan biaya sekitar 5 miliar dolar AS (setara 88 triliun rupiah), hasil kolaborasi antara Disney dan pemerintah Tiongkok. Artinya, ini bukan proyek pribadi, apalagi sekadar janji seorang calon kepala daerah.
Bandingkan dengan APBD Pangkalpinang yang pada 2023 hanya sekitar 1,1 triliun rupiah. Jangankan membangun taman sekelas Disneyland, untuk membuat replikanya pun rasanya sulit tanpa dana raksasa dan dukungan multi-level.
Wajar bila banyak pihak mempertanyakan kredibilitas janji tersebut. Apakah ini visi besar yang visioner atau sekadar janji manis kampanye? Jawabannya masihlah abu-abu.
Secara geografis dan kultural, Pangkalpinang memang memiliki potensi wisata yang belum tergarap optimal. Bangka Botanical Garden adalah contoh destinasi agrowisata yang menjanjikan.
Dari sisi kuliner, lempah kuning dan hasil laut lainnya bisa menjadi kekuatan lokal. Namun, kendala utama masih berkutat pada infrastruktur yang belum merata, rendahnya promosi, minimnya fasilitas penunjang, dan keterbatasan dana.
Dalam kondisi ini, membayangkan pembangunan Disneyland tentu terdengar seperti halusinasi. Akan jauh lebih masuk akal jika calon pemimpin kota menawarkan pengembangan taman hiburan tematik berbasis budaya lokal.
Proyek seperti itu bisa menciptakan lapangan kerja, memberdayakan UMKM, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara bertahap—tanpa menjual mimpi berlebihan.
Masyarakat Pangkalpinang tidak butuh Disneyland, mereka butuh jalan yang layak, fasilitas publik yang merata, dan peluang kerja yang nyata.
Janji bombastis seperti ribuan lapangan kerja dari pembangunan Disneyland justru menimbulkan cibiran dan tanda tanya besar dari masyarakat Kota Pangkalpinang. Apalagi jika tidak diiringi dengan peta jalan yang konkret dan studi kelayakan yang transparan.
Dalam politik, visi besar memang sah-sah saja. Tapi ketika janji dibuat tanpa perhitungan, ia berubah menjadi delusi. Benny Batara perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental:
1. Dari mana sumber pendanaannya?
2. Apakah masyarakat lokal benar-benar akan merasakan dampaknya bagi ekonomi dan lapangan kerja?
3. Bagaimana menjamin proyek ini tidak bernasib sama seperti proyek mangkrak lainnya?
Tiga pertanyaan ini krusial, terutama yang terakhir. Jika pembangunan kantor BPJS saja bisa mangkrak, bagaimana dengan proyek raksasa seperti Disneyland? Apakah dia bisa menyanggupi dan mempertanggungjawabkan janjinya?
Pangkalpinang bisa berkaca pada proyek taman hiburan di Bangka Selatan, yang meskipun skalanya lebih kecil, tetap mampu menarik wisatawan dan menciptakan dampak ekonomi lokal.
Proyek seperti ini masih dalam jangkauan dana APBD maupun investor nasional, dan tidak memicu ekspektasi berlebihan masyarakat.
Dengan pengelolaan profesional, transparansi, dan pelibatan masyarakat lokal, taman hiburan bertema lokal dapat menjadi bukti bahwa Pangkalpinang bisa tumbuh secara bertahap dan berkelanjutan.
Bukan dengan lompatan-lompatan mimpi yang terlalu tinggi, tetapi lewat langkah-langkah kecil yang konsisten dan terukur.
Akhirnya, ini bukan semata soal Disneyland, melainkan arah pembangunan Kota Pangkalpinang. Masyarakat berhak skeptis terhadap janji yang terdengar fantastis. Namun masyarakat juga berhak mendapatkan pemimpin yang punya visi realistis, jujur, dan mampu bekerja nyata.
Pembangunan seharusnya tidak menjadi panggung retorika, tetapi cermin dari tanggung jawab seorang pemimpin kepada rakyatnya. Harapan tidak bisa dibangun di atas mimpi kosong.
Sudah saatnya Pangkalpinang bergerak maju, bukan lewat janji sensasional maupun delusional, tapi lewat kerja yang masuk akal, terencana, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat Kota Pangkalpinang. (Red)
*) Julianty Silvia Putri, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi