Oleh: Gebrile Mikael Mareska Udu *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Isu hangat yang diperbincangkan publik, baik itu di forum resmi maupun di berbagai media sosial adalah tentang penggusuran pulau “Raja Ampat” di Papua,—yang dipandang sebagai surga kecil.
Banyak warga Indonesia yang menyumbangkan suara mereka untuk menolak, secara khusus masyarakat Papua sendiri.
Ungkapan penolakan mereka diekspresikan dengan berbagai cara, baik dalam bentuk demo, yang dimuat di berbagai media, ataupun dalam dunia seni, seperti musik.
Penolakan tersebut didaulatkan dalam satu tujuan, yaitu; “Save Raja-Ampat”. Bagi orang Papua penggusuran tanah raja ampat, sama halnya merusak dan mengambil seorang ibu dari mereka.
Bagi mereka, tanah Papua seperti seorang ibu yang selama ini menyusui dan memberi air asin untuk kehidupan.
Keuntungan tersebut tidak hanya dinikmati atau dirasakan oleh manusia, tetapi juga oleh berbagai makhluk hidup yang hidup di atas tanah Papua. Untuk itu, tak heran jikalau mereka tidak takut untuk membungkankan suara melawan pemerintah.
Suramnya Pemahaman Republikan
Indonesia adalah salah satu negara yang menggunakan sistem republikan, yakni negara yang menolak sistem monarki (kerajaan), melainkan negara yang pemerintahannya atau kepala negaranya (Presiden) ditentukan atau dipilih oleh rakyat.
Jadi, dalam hal ini kepala negara yang dipilih seyogianya menjadi instrumen untuk menjamin kesejahteraan hidup rakyat.
Pembentukan Indonesia sebagai negara “Republik”, bukanlah suatu keputusan individu melainkan melalui diskursus dan kesepakatan bersama.
Hal itu, terbukti dalam perancangan Undang-undang Dasar pada tanggal 11 Juli 1945, bahwasanya terdapat pemungutan suara dari 17 orang yang menyetujui Indonesia sebagai negara kesatuan republik dan hanya 2 orang saja yang setuju negara federal.
Kesatuan Republik Indonesia juga dapat dilihat dari kerangka pemikiran presiden pertama Indonesia Bung Karno, yang ia sebut sebagai “Nationale Staat”, atau dasar kebangsaan.
“Nationale Staat” yang dimaksudkan Soekarno di sini adalah Indonesia bukan suatu negara yang didirikan di atas agama, budaya, ras dan etnis tertentu, melainkan didirikan dari berbagai ragam latarbelakang.
Namun, dengan berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, secara khusus yang sedang di hadapi oleh rakyat Papua saat ini, secara tidak langsung menunjukkan, bagaimana kesatuan yang disuarakan oleh Bung Karno maupun yang tertera dalam hukum-negara hanya sebatas formalitas atau hitam di atas putih saja.
Pembanguanan infrastruktur di daerah perkotaan maupun di pedesaan, masih cenderung “pilih kasih”. Kenyataan inilah yang sedang dihadapi oleh rakyat Papua saat ini.
Papua sebagai salah satu pulau yang menyumbang banyak aset untuk perkembangan Indonesia justru kehidupan masyarakatnya seringkali diabaikan atau dipandang sebelah mata.
Bahkan, ironisnya seringkali rakyat Papua kurang mendapat keadilan. Penggusuran Pulau Raja Ampat menjadi buktinya.
Penggusuran dilakukan tanpa memperhitungkan kesepakatan atau diskursus bersama rakyat Papua.
Bagi Roussae, negara repuplik adalah negara yang kekuasaannya dibangun atas kesepakatan bersama, yaitu; mengalihkan kehendak individu ke kehendak umum.
Ketidaksepakatan itu secara jelas diekspresikan melalui berbagai macam penolakan yang terjadi. Pemerintah menggunakan otoritas untuk memutuskan sendiri.
Maka pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, “Dimanakah kesepakatan bersama waktu menyatakan Indonesia sebagai negara republikan?”
Perlunya Menghidupkan Kembali Semangat Republik
Salah satu hal baik yang bisa dijadikan solusi untuk membangun kembali semangat republik yang kian luntur adalah dengan menggunakan kaca mata pemikiran Roussae tentang “Konsep Aristokrasi”.
Ada tiga konsep aristokrasi dalam kerangka pemikirannya. Tetapi, yang lebih relevan untuk menghidupkan kembali krisis semangat republik di Indonesia adalah konsep aristokrasi alamiah.
Roussae menegaskan bahwa aristokrasi alamiah itu hanya cocok dengan kehidupan masyarakat kecil.
Karena aristokrasi alamiah merupakan suatu bentuk kekuasaan yang berunggul pada pribadi seseorang, dalam hal ini bijaksana, cerdas dan kebajikan moral yang tinggi, dan jiwa memimpin yang bukan karena memiliki kekayaan atau status sosial.
Aristokrasi alamiah adalah orang-orang yang mengutamakan atau memprioritaskan kepentingan bersama atau umum dan menyingkirkan kepentingan dan kehendak pribadi.
Jika dikaitkan dengan konteks Papua saat ini, Indonesia perlu seorang pemimpin yang berjiwa aristokrasi alamiah.
Ia adalah seorang tak hanya mampu berbicara di atas mimbar, tetapi juga dekat dan tahu dengan kehidupan dan kebutuhan rakyatnya, secara khusus mereka yang kecil dan miskin.
Pemimpin semacam itu adalah pemimpin yang mau tinggal bersama rakyat, mau merasakan situasi hidup mereka dan mau berjuang bersama mereka.
Penutup
Peristiwa yang saat ini sedang terjadi di tanah Papua, seyogianya sedang mengekpresikan, bagaimana sedang menipisnya semangat Republik di negara Indonesia.
Asas kesepakatan bersama, keadilan dan kesejahteraan rakyat sebagai roh republik, seketika lenyap karena dikontrol oleh kekuasaan para kaum elite.
Untuk itu, Indonesia adalah salah satu negara yang saat ini, sedang haus akan semangat republik yang merupakan roh pemersatu.
Oleh karena itu, seperti ditawarkan oleh Rousseau, Indonesia memerlukan sosok berjiwa aristokrasi alamiah, yang hidup sederhana, mencintai dan berpihak pada yang kecil dan memprioritaskan nilai keadilan.
Sebab, dengan demikian Republik Indonesia dapat menjadi rumah bersama yang benar-benar menjunjung keadilan dan kesejahteraan rakyat. (Red)
*) Gebrile Mikael Mareska Udu, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta