
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh gemerlap teknologi, aku sering merenung: di manakah posisi iman di tengah segala kemajuan ini?
Dunia digital telah membuka pintu informasi tanpa batas, tetapi juga menghadirkan godaan dan distraksi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Di satu sisi, modernitas memberi kemudahan. Namun di sisi lain, ia juga kerap membuat manusia terjebak dalam kekosongan makna.
Dalam perjalanan ini, aku belajar bahwa iman bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan di belakang, tetapi justru menjadi kompas yang menuntunku menavigasi arus deras zaman modern.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ الرَّحْمَـٰنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَـٰنًۭا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌۭ
(“Barang siapa berpaling dari peringatan Tuhan Yang Maha Pengasih, Kami adakan baginya setan yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”) — QS. Az-Zukhruf [43]: 36
Ayat ini mengingatkanku bahwa modernitas tanpa iman hanya akan menjadikan manusia terperangkap dalam kesenangan semu. Banyak orang berlomba-lomba mencari pengakuan di media sosial, membangun citra, dan mengejar popularitas.
Namun di balik semua itu, tak jarang hati mereka merasa kosong. Aku sendiri pernah merasakannya—saat sibuk mengikuti tren digital, aku sempat kehilangan arah dan lupa menyeimbangkan dunia maya dengan dunia nyata.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkanku bahwa kemajuan teknologi bukanlah musuh iman. Justru, yang menentukan nilai sebuah tindakan adalah niat di baliknya.
Aku bisa menggunakan media sosial untuk menebar kebaikan, belajar agama, atau berbagi inspirasi. Aku bisa memakai teknologi untuk memperdalam ilmu, bukan sekadar mencari sensasi. Dengan niat yang benar, modernitas bisa menjadi ladang pahala, bukan jebakan kesia-siaan.
Namun, perjalanan menjaga iman di tengah modernitas bukanlah hal mudah. Kadang aku merasa tertarik pada gaya hidup yang serba instan: ingin cepat sukses, cepat viral, cepat dikenal. Semua terasa begitu cepat, hingga aku lupa menikmati proses dan lupa bersyukur.
Modernitas mengajarkan efisiensi, tetapi iman mengajarkan kesabaran. Dua hal itu seringkali berbenturan di dalam diriku. Tapi justru di situlah aku belajar—bahwa menjadi modern bukan berarti kehilangan ruh spiritual.
Aku menyadari, imanlah yang membuatku tetap punya arah di tengah derasnya perubahan. Tanpa iman, manusia mudah tersesat di antara kemajuan. Seperti kapal tanpa kompas, kita bisa saja bergerak cepat, tetapi tak tahu ke mana tujuan akhirnya.
Di era modern ini, aku belajar menyeimbangkan antara “mengikuti zaman” dan “menjaga nilai.” Modernitas memang mendorongku untuk berpikir kritis, terbuka, dan kreatif, tapi iman mengajarkanku untuk tetap beretika, rendah hati, dan berpegang pada kebenaran.
Modernitas menghadirkan banyak hal yang tampak memukau: kecerdasan buatan, kehidupan digital, dan kemudahan akses informasi.
Tapi di balik semua itu, muncul tantangan baru bagi keimanan: ketergantungan pada teknologi, menurunnya interaksi sosial nyata, hingga kaburnya batas antara yang benar dan salah.
Aku menyadari, kecepatan teknologi sering kali membuat manusia kehilangan keheningan untuk merenung dan berdoa. Karena itu, aku mencoba meluangkan waktu setiap hari untuk menenangkan diri—membaca Al-Qur’an, shalat dengan khusyuk, atau sekadar berzikir di tengah hiruk pikuk digital.
Aku percaya, iman bukan penghalang kemajuan, melainkan penyaring yang menuntun kemajuan agar tetap bernilai. Iman bukan tembok yang membatasi, tetapi jembatan yang menghubungkan antara dunia dan akhirat.
Ketika aku memahami hal itu, modernitas tak lagi terasa menakutkan. Aku tak harus menolak perubahan, tapi cukup menyeleksi mana yang membawa manfaat dan mana yang menjauhkan dari Allah.
Bagi generasiku, yang tumbuh di era digital, menjaga iman adalah tantangan besar sekaligus anugerah. Kami memiliki akses ilmu yang luas, bisa belajar agama dari mana saja, dan berinteraksi dengan orang baik di seluruh dunia.
Tapi kami juga mudah terjebak dalam kesibukan dunia maya yang menguras waktu dan perhatian. Karena itu, aku berusaha menjadikan teknologi sebagai sarana, bukan tujuan.
Media sosial bukan tempat untuk mencari pengakuan, tapi wadah untuk berbagi manfaat. Internet bukan ruang untuk melarikan diri, tapi jendela untuk memahami dunia dengan nilai Islam sebagai dasarnya.
Ketika iman menemukan jalannya di tengah modernitas, hidup terasa lebih seimbang. Aku belajar bahwa menjadi manusia modern bukan berarti meninggalkan Allah, melainkan menjadikan-Nya pusat dari segala aktivitasku.
Setiap klik, setiap unggahan, setiap interaksi—semua bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena-Nya. Modernitas boleh membawa manusia ke masa depan, tetapi hanya iman yang bisa menuntun manusia menuju kebahagiaan hakiki.
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa iman dan modernitas bukanlah dua hal yang saling bertentangan, melainkan dua jalan yang bisa berjalan berdampingan. Modernitas memberiku alat untuk bergerak maju, sedangkan iman memberiku arah agar tidak tersesat.
Di tengah dunia yang terus berubah, aku ingin tetap teguh berjalan—memegang erat tali iman, sambil melangkah mantap menapaki jalan modernitas yang penuh peluang.
Karena di sanalah aku menemukan makna hidup yang sejati: menjadi manusia beriman di zaman modern, tanpa kehilangan jati diri dan tujuan akhirku. (Red)
*) Nashrul Mu’minin, penulis, tinggal di Yogyakarta