Perut Anak Disalahkan, Bukan Sistemnya! Gubernur Luthfi Anggap 2.700 Siswa Keracunan Gara-Gara Tak Biasa Makan Spageti

Kepala BGN, Dadan Hindayana usai rapat koordinasi MBG bersama seluruh kepala daerah, ahli gizi, dan mitra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di GOR Jatidiri, Kota Semarang, Senin (6/10/2025).(KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Alih-alih menunjukkan empati terhadap ribuan anak yang jadi korban program Makan Bergizi Gratis (MBG), Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi justru melontarkan pernyataan yang bikin geleng kepala.

Ia menyebut 2.700 siswa yang keracunan di 15 kabupaten/kota di Jateng itu bukan karena kesalahan sistem, melainkan karena … perut mereka tak cocok dengan makanan baru.

Ya, Anda tidak salah baca. Menurut Luthfi, anak-anak yang terbiasa makan mi instan ternyata “kaget perutnya” saat disajikan menu MBG seperti spageti.

“Sing biasane makan indomie dikasih spageti, ora cocok wetenge, jadi penyakit,” ujar Luthfi dengan enteng dalam rapat koordinasi MBG di GOR Jatidiri, Semarang, Senin (6/10/2025), seperti dilansir Kompas.com.

Pernyataan yang terdengar seperti lelucon pahit itu sontak memunculkan pertanyaan besar: benarkah masalah utama ada di perut anak-anak — atau justru di sistem penyelenggaraan MBG yang terburu-buru dan tak siap?

Dalam rapat itu, Luthfi memang sempat mengakui adanya kelemahan dari sisi higienitas, sanitasi, dan minimnya tenaga profesional di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Tapi alih-alih bicara soal tanggung jawab, yang muncul justru narasi “perut tak cocok makanan baru”.

Padahal, 2.700 anak bukan angka kecil. Jika peristiwa ini terjadi di dunia industri, bisa jadi sudah ada audit besar-besaran, bahkan mungkin permintaan maaf publik. Tapi di sini, jawabannya simpel: “ya mungkin perutnya belum biasa spageti.”

Tak berhenti di situ, Luthfi juga menegaskan bahwa program MBG tak boleh berhenti, meskipun telah menimbulkan ribuan korban keracunan.

“(MBG) tidak boleh berhenti, karena program ini wajib hukumnya,” tegasnya.

Kalimat yang terdengar seperti ultimatum, tanpa sedikit pun menyentuh soal rasa tanggung jawab terhadap korban.

Yang makin ironis, Luthfi sempat mengimbau agar kepala daerah dan ibu-ibu PKK ikut mengecek dapur MBG.

Sebuah instruksi yang terdengar baik di permukaan, tapi juga menandakan: selama ini siapa yang mengawasi? Mengapa harus menunggu ribuan anak jatuh sakit dulu baru “disuruh cek dapur”?

Pernyataan Gubernur Luthfi ini memunculkan kesan bahwa pemerintah masih gagap membedakan antara tanggung jawab dan pembenaran.

Padahal, jika benar ada masalah sanitasi dan SDM di dapur MBG, seharusnya itulah yang jadi fokus evaluasi — bukan malah menyalahkan perut anak-anak miskin yang jadi sasaran program.

Bagi publik, komentar ini terasa seperti menabur garam di luka. Ribuan anak keracunan, tapi yang disoroti justru “perutnya belum terbiasa”.

Kalau logika seperti ini terus dipakai, jangan-jangan nanti kalau ada siswa jatuh sakit karena air kotor, jawabannya juga: “ya mungkin belum biasa minum air bersih.” Gubernur, masak gitu? (Red).

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like