
Oleh: Sri Radjasa, M.BA*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Dunia perbankan berdiri di atas dua fondasi utama yang tak dapat ditawar yakni kehati-hatian dan kepercayaan. Dua nilai ini adalah darah dan nadi sistem keuangan modern.
Sekali saja keduanya tercemar, bukan hanya satu lembaga yang goyah, melainkan seluruh bangunan keuangan nasional ikut berguncang.
Kasus dugaan penggelapan aset nasabah oleh PT Bank UOB Indonesia menjadi potret paling gamblang tentang bagaimana fondasi itu sedang dirusak dari dalam, perlahan tapi pasti.
Kasus ini bermula ketika seorang nasabah, Hardi Wijaya Kusuma, menyerahkan sertifikat tanah SHGB No. 81 seluas 17.220 meter persegi di Kabupaten Tangerang kepada wakil direktur PT Bank UOB Indonesia sebagai bukti bonafiditas.
Sertifikat bernilai Rp87,7 miliar itu semestinya menjadi jaminan sah dalam perjanjian kredit. Namun ironisnya, perjanjian kredit tak pernah ada, dan sertifikat tersebut justru lenyap tanpa jejak.
Lebih parah lagi, dokumen itu kemudian ditemukan telah diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) oleh pihak bank pada tahun 2024, tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemilik sahnya.
Inilah wajah nyata kejahatan perbankan, bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan modus terstruktur yang memadukan penggelapan, penipuan, pemalsuan, dan penyalahgunaan kepercayaan.
Namun aroma busuknya tak berhenti di sana. Kasus ini menyeret nama-nama besar di tubuh bank, bahkan mengarah pada dugaan penyuapan dan kolusi dengan oknum aparat penegak hukum.
Maka yang kita hadapi bukan sekadar kasus pidana individual, melainkan indikasi sistemik mafia perbankan yang bersarang di balik institusi legal.
Dalam konteks inilah Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) tampil menjadi benteng terakhir keadilan.
Melalui Surat Teguran Nomor 3806/BP/PW 1.1.1/IX/2025 tertanggal 9 September 2025, Bawas MA menegur Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberikan klarifikasi dalam waktu 14 hari terkait laporan nasabah atas dugaan suap dan kolusi antara PT Bank UOB Indonesia dan majelis hakim dalam putusan Nomor 754/Pdt-G/2023/PN JKT PST serta putusan banding Nomor 2231/PDT/2024/PT DKI.
Langkah ini adalah preseden penting bahwa pengawasan yudikatif masih punya taring, dan keadilan tidak boleh tunduk pada kekuatan modal.
Dalam sistem hukum yang sering kali dicurigai telah menjadi “pasar gelap kebenaran,” sikap tegas Bawas MA adalah sinyal harapan bahwa negara belum sepenuhnya kalah.
Namun, pekerjaan belum selesai. Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan untuk mengurai jaringan mafia hukum dan keuangan di balik kasus ini.
Ketika sebuah bank asing terlibat dalam dugaan penggelapan dan kolusi dengan oknum pengadilan, maka ini bukan lagi sekadar persoalan etik, melainkan ancaman terhadap kedaulatan keuangan nasional.
Apalagi bila dibiarkan, kasus ini berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap perbankan, sesuatu yang pernah menjadi pemicu krisis moneter 1998, saat runtuhnya keyakinan publik terhadap bank-bank nakal membuat sistem keuangan ambruk dalam hitungan hari.
Secara filosofis, kepercayaan (trust) adalah bentuk kontrak sosial antara masyarakat dan lembaga keuangan. Sosiolog seperti Niklas Luhmann menyebut kepercayaan sebagai mekanisme pengurang kompleksitas.
Tanpa kepercayaan, sistem sosial termasuk sistem keuangan akan lumpuh oleh ketakutan dan kecurigaan. Itulah sebabnya, dalam dunia perbankan, kepercayaan bukan sekadar etika; ia adalah modal utama yang nilainya jauh lebih mahal daripada modal finansial.
Oleh karena itu, pengungkapan kasus UOB ini menjadi pertaruhan besar: apakah negara masih mampu menegakkan hukum atas nama rakyat, ataukah hukum sudah sepenuhnya dibeli oleh kekuasaan uang.
Bila keadilan gagal ditegakkan, publik bukan hanya kehilangan rasa aman dalam bertransaksi, tetapi juga kehilangan keyakinan bahwa sistem hukum masih punya integritas.
Dan ketika kepercayaan publik musnah, ekonomi tidak lagi berdiri di atas hukum, melainkan di atas spekulasi dan ketakutan.
Kasus Bank UOB adalah cermin retak dari wajah hukum dan keuangan Indonesia hari ini. Ia memperlihatkan betapa mudahnya uang menyusup ke dalam sistem peradilan, dan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi rakyat kecil di hadapan lembaga besar.
Namun selama masih ada lembaga seperti Bawas MA yang berani menantang arus, masih ada alasan untuk percaya bahwa keadilan belum sepenuhnya mati.
Pertaruhan ini bukan hanya milik satu nasabah, bukan pula soal satu bank asing. Ini adalah pertaruhan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem keuangan dan peradilan negeri ini.
Dan dalam pertaruhan semacam itu, setengah langkah bukan pilihan. Sebab, jika negara gagal menegakkan kebenaran hari ini, maka besok, seluruh rakyat bisa menjadi korban dari “mafia bank” yang bersembunyi di balik jas dan tanda tangan resmi. (Red)
*) Sri Radjasa, M.BA, adalah pemerhati intelijen