
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Pagi itu, ruang kelas yang biasanya riuh oleh tawa anak-anak mendadak berubah jadi lengang. Satu per satu siswa meringis menahan sakit perut, sebagian bahkan terpaksa digotong ke puskesmas terdekat.
Nasi kotak yang semestinya jadi sumber tenaga, justru menjelma mimpi buruk. Itulah kenyataan yang menimpa ratusan anak di Garut, Sragen, hingga Kupang—korban dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan lebih sering dikaitkan dengan kata keracunan ketimbang kesehatan.
Potret Seorang Korban
Di Garut, seorang siswi kelas 5 SD bernama Nadia (11) masih teringat jelas kejadian itu. Siang itu, ia baru saja menyantap menu ayam goreng dan nasi putih dari program MBG.
Tak lama kemudian, perutnya melilit hebat. “Aku pikir cuma masuk angin, tapi terus muntah berkali-kali,” ucapnya lirih sambil duduk di ranjang puskesmas.
Ibunya yang menunggui tak kuasa menahan air mata. “Harusnya makanan ini bikin anak-anak sehat, bukan malah sakit begini,” katanya.
Kisah Nadia hanyalah satu dari ratusan cerita serupa yang terjadi hampir bersamaan di berbagai daerah. Dari Garut hingga Kupang, tangis anak-anak kecil memecah suasana ruang kelas yang berubah jadi ruang darurat kesehatan dadakan.
Garut dan Banggai Islands, September 2025
Kasus terbesar terjadi di Garut, Jawa Barat, dan Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Lebih dari 800 siswa mengalami gejala mual, pusing, hingga muntah setelah menyantap makanan dari program MBG.
Di Garut saja, sekitar 569 siswa harus mendapat perawatan medis usai menyantap menu ayam dan nasi. Pemerintah pusat menegaskan akan memperketat pengawasan dapur penyedia makanan demi mencegah kasus serupa.
Sragen, Jawa Tengah, Agustus 2025
Di Sragen, Jawa Tengah, 360 siswa ikut menjadi korban. Menu makan siang sederhana—nasi kuning, telur dadar, tempe goreng, lalapan, apel, dan susu kotak—justru memicu mual massal.
Dapur penyedia makanan segera dibekukan sementara, sementara sampel menu dikirim ke laboratorium untuk diteliti.
Kupang, Nusa Tenggara Timur, Juli 2025
Tak kalah memilukan, sekitar 140 siswa di Kupang juga tumbang usai makan siang gratis. Menu disiapkan oleh dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang melayani beberapa sekolah.
Kasus ini bahkan membuat BPOM turun tangan untuk menelusuri penyebab keracunan, mulai dari cara penyimpanan, pengiriman, hingga kebersihan dapur.
Suara Kritis Publik dan Pakar
Rangkaian kasus ini menjadi alarm serius bagi masa depan MBG. Sebagian kalangan mulai menyerukan opsi “stop pelaksanaan MBG sementara” sampai sistem distribusi, kualitas bahan, serta standar higienitas benar-benar terjamin.
Pakar Sosial (Made Natasya Restu Dewi Pratiwi) mendorong moratorium sementara MBG sebagai momentum untuk melakukan audit menyeluruh.
Dari Gizi Jadi Krisis
Program MBG lahir dari niat baik: memastikan anak-anak Indonesia mendapat gizi seimbang agar tumbuh sehat.
Namun, rentetan kasus keracunan membuktikan bahwa niat baik saja tidak cukup. Tanpa sistem distribusi yang kuat, pengawasan yang ketat, dan standar dapur yang steril, program ini bisa berubah menjadi ancaman nyata.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah: berani mengambil jeda sementara demi perbaikan sistem, atau terus melaju dengan segala risikonya?
Bagi Nadia dan ribuan anak lain, harapannya sederhana: mereka ingin bisa makan siang gratis di sekolah tanpa rasa takut. Makanan yang disajikan bukan lagi ancaman, melainkan benar-benar sumber energi untuk mengejar cita-cita. (Red)