
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Siapa sangka, benda kotak dengan antena menjulang yang dulu jadi rebutan, kini hanya jadi hiasan di sudut rumah?
Radio—yang pernah jadi saksi sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945—sekarang seakan dikubur oleh era digital.
Pada masanya, radio bukan sekadar hiburan. Ia adalah “senjata perang” dalam menyampaikan informasi, penyambung lidah rakyat, bahkan media pemersatu bangsa.
Dari radio pula kabar kemerdekaan tersebar ke seluruh penjuru negeri, membakar semangat perjuangan para pejuang dan rakyat. Tidak berlebihan jika radio disebut sebagai pahlawan sunyi dalam sejarah bangsa.
Namun, roda zaman berputar cepat. Kehadiran televisi, lalu internet, hingga media sosial membuat fungsi radio kian menyempit.
Generasi milenial dan Gen Z lebih sibuk scroll TikTok atau Spotify ketimbang memutar dial mencari siaran. Radio kini sering dicap “jadul”, padahal dulu ia adalah pusat informasi paling berharga.
Meski begitu, radio belum benar-benar mati. Beberapa stasiun radio justru bertransformasi ke platform digital, menghadirkan live streaming dan podcast agar tetap relevan.
Bahkan, komunitas pecinta radio lawas masih eksis, menganggap benda ini sebagai barang koleksi bernilai sejarah tinggi.
Ironisnya, apa yang dulu dianggap mewah dan tak tergantikan, kini hanya dianggap sekadar nostalgia. Radio yang pernah jadi denyut nadi bangsa, kini harus berjuang keras agar tak benar-benar hilang ditelan zaman.
Pertanyaannya: Apakah radio akan bangkit dengan wajah baru di era digital, atau benar-benar jadi fosil peradaban komunikasi manusia? (Red)