
Oleh: Muhammad Ilzam Fata*)
SUARAMUDA, SEMARANG — Isu tentang LGBT, singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender memang masih jadi topik yang bikin banyak orang debat panjang, apalagi di Indonesia.
Di beberapa negara, mereka sudah bisa hidup bebas, menikah, dan punya hak yang sama kayak warga lainnya.
Tapi di Indonesia, banyak orang yang masih melihat komunitas LGBT dengan tatapan aneh, sinis, bahkan takut.
Padahal, sebelum kita nge-judge atau menilai seseorang hanya dari orientasi seksualnya, penting banget untuk paham dulu: apa sih sebenarnya LGBT itu?
Dan kenapa masyarakat kita sering banget punya persepsi yang negatif?
Dalam psikologi sosial, ada istilah “persepsi sosial”, yaitu bagaimana kita memandang dan menilai orang lain dalam konteks sosial.
Persepsi ini nggak muncul tiba-tiba, tapi dibentuk oleh banyak hal: budaya, nilai agama, pengalaman pribadi, bahkan apa yang kita lihat di media.
Sayangnya, soal LGBT ini, banyak orang yang masih dapat info dari sumber yang nggak akurat, atau cuma ikut-ikutan stigma yang sudah terlanjur melekat di masyarakat.
Soal LGBT
LGBT itu sendiri bukan hal baru. Lesbian artinya perempuan yang suka sesama perempuan, gay untuk laki-laki yang suka laki-laki, biseksual tertarik pada dua gender.
Dan transgender adalah orang yang identitas gendernya berbeda dari jenis kelamin lahirnya.
Yang menarik, persepsi orang tentang kelompok ini masih sangat dipengaruhi oleh budaya dan nilai mayoritas.
Di Indonesia, yang masyarakatnya religius dan punya budaya kolektif kuat, hal-hal yang dianggap “berbeda” biasanya susah diterima.
Tapi mari kita luruskan: LGBT itu bukan penyakit. Ini bukan asal ngomong, ya, tapi udah ditegaskan sama lembaga-lembaga resmi dunia.
Sejak tahun 1973, American Psychiatric Association (APA) sudah menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan mental mereka (DSM).
Lalu tahun 1992, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga resmi menyatakan bahwa homoseksualitas bukan penyakit, dan nggak perlu “disembuhkan“. Jadi, secara medis dan ilmiah, orientasi seksual itu bukan masalah kesehatan mental.
Nggak cuma itu. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa orientasi seksual itu bukan pilihan sadar.
Salah satunya datang dari Simon LeVay, seorang ahli saraf dari Harvard. Ia menemukan bahwa ada perbedaan struktur di bagian otak yang disebut hipotalamus antara pria gay dan pria heteroseksual.
Selain itu, studi tentang anak kembar menunjukkan bahwa ada pengaruh genetik dalam orientasi seksual seseorang.
Artinya, ini bukan sekadar “karena lingkungan buruk” atau “salah pergaulan” seperti yang sering dipercaya, tapi lebih ke faktor bawaan lahir.
Namun, penting juga untuk tetap kritis dan terbuka terhadap informasi lain, terutama yang menyangkut risiko kesehatan dari aktivitas seksual, terlepas dari orientasi seksualnya.
Salah satu dokter spesialis kulit dan kelamin, dr. Dewi Inong Irana, pernah menyampaikan bahwa laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL) memiliki risiko lebih tinggi terkena HIV-AIDS.
Data dari CDC Amerika Serikat (2013) menunjukkan bahwa 81% dari remaja laki-laki usia 13 tahun ke atas yang terinfeksi HIV adalah dari kelompok gay dan biseksual.
Hal ini terutama karena hubungan melalui dubur memiliki risiko penularan yang lebih tinggi, bukan karena orientasi seksualnya, melainkan karakteristik aktivitasnya.
Nggak berhenti di situ, dr. Inong juga menyebutkan penyakit lain seperti sarkoma kaposi (kanker langka yang menyerang jaringan lunak), serta sipilis yang bisa muncul bahkan pada usia muda.
Ia pernah menangani pasien berusia 22 tahun dengan sipilis stadium dua yang mengaku punya empat pasangan (tiga laki-laki dan satu perempuan).
Di sini kita bisa belajar bahwa seks bebas dan tidak aman, apa pun orientasi seksualnya, memang punya risiko besar terhadap kesehatan.
Jadi, pembahasan soal LGBT bukan soal benar-salah semata, tapi juga perlu pendekatan kesehatan masyarakat yang objektif.
Semua orang, apa pun orientasi seksualnya, butuh edukasi soal hubungan yang sehat dan aman. Jangan sampai karena takut atau malu, mereka malah nggak berani periksa atau konsultasi, dan akhirnya makin berisiko.
Kenapa Masyarakat Menolak?
Kembali ke isu utama, kenapa masyarakat kita masih menolak LGBT? Salah satu penjelasan datang dari teori identitas sosial dalam psikologi.
Kita sebagai manusia, secara alami punya kecenderungan untuk membagi dunia ini ke dalam dua kelompok: “kami” dan “mereka”.
Ini dikenal dalam psikologi sosial sebagai ingroup dan outgroup. “Ingroup” adalah kelompok yang kita anggap sebagai bagian dari diri kita yang punya nilai, budaya, dan cara hidup yang kita anggap “normal” atau “benar”.
Sementara itu, “outgroup” adalah mereka yang kita pandang sebagai berbeda, asing, atau tidak sesuai dengan standar kita.
Nah, dalam konteks LGBT, banyak orang masih melihat mereka sebagai bagian dari “outgroup”. Karena perbedaan orientasi seksual atau identitas gender, komunitas LGBT sering dianggap “tidak seperti kita”.
Pola pikir ini, meskipun sering tidak disadari, bisa sangat memengaruhi bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Ini yang dinamakan bias sosial.
Bias ini bisa muncul dalam bentuk stereotip negatif, seperti anggapan bahwa LGBT pasti punya moral rendah, membahayakan masyarakat, atau menular.
Padahal, semua itu tidak berdasar secara ilmiah. Namun ketika stereotip ini terus-menerus digaungkan, lama-kelamaan bisa mengarah pada sesuatu yang jauh lebih berbahaya: dehumanisasi.
Korban Dehumanisasi?
Dehumanisasi adalah proses di mana kita mulai melihat orang lain bukan lagi sebagai manusia yang utuh, tapi sekadar “label” atau “masalah”.
Orang tidak lagi melihat mereka sebagai individu dengan cerita, perjuangan, dan rasa sakit, tapi hanya sebagai “LGBT yang harus dijauhi”, “yang salah”, atau bahkan “yang pantas disingkirkan”.
Dampak dari pola pikir seperti ini sangat serius. Ketika seseorang dikucilkan hanya karena identitasnya, mereka bisa kehilangan akses pada dukungan sosial, kesempatan kerja, layanan kesehatan yang aman, bahkan hak hidup yang layak.
Lebih jauh lagi, diskriminasi ini bisa menyebabkan tekanan psikologis berat.
Dalam teori minority stress, disebutkan bahwa tekanan yang terus menerus dirasakan oleh kelompok minoritas seperti rasa takut ditolak, stigma, pelecehan, bahkan kekerasan bisa menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga keinginan bunuh diri.
Dan ini bukan cuma teori. Di Indonesia, survei LSI tahun 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 80% masyarakat masih nggak setuju dengan keberadaan LGBT.
Sementara Komnas HAM mencatat bahwa diskriminasi terhadap kelompok ini terus meningkat setiap tahun. Mulai dari ditolak bekerja, diusir dari keluarga, sampai mengalami kekerasan fisik.
Banyak studi menunjukkan bahwa remaja LGBT punya risiko yang jauh lebih tinggi mengalami bullying, pengucilan sosial, bahkan kekerasan fisik, terutama jika mereka tumbuh di lingkungan yang tidak menerima.
Di Indonesia sendiri, masih banyak kasus di mana remaja atau dewasa muda yang mengidentifikasi diri sebagai LGBT dipaksa keluar dari rumah, dipukul, atau bahkan diintimidasi oleh orang terdekat hanya karena orientasi mereka.
Bayangkan, hanya karena seseorang dianggap “berbeda”, mereka harus hidup dengan rasa takut setiap hari takut dihakimi, takut ditolak, dan takut kehilangan orang-orang yang mereka sayangi.
Padahal, bukankah salah satu kebutuhan paling dasar manusia adalah merasa diterima?
Jadi, penting banget untuk mulai menggeser cara pandang kita. Daripada langsung memberi label atau menjauhi, kenapa tidak mencoba untuk memahami?
Manusia itu kompleks. Setiap orang punya latar belakang, perjuangan, dan alasan atas apa yang mereka jalani.
Ketika kita mulai melihat orang lain bukan sebagai “mereka yang berbeda”, tapi sebagai sesama manusia maka ruang untuk empati dan kemanusiaan akan terbuka lebih luas.
Padahal, semua orang punya hak untuk hidup nyaman dan aman, termasuk teman-teman LGBT. Setiap manusia punya hak yang sama untuk merasakan kasih sayang, dihargai, dan diakui sebagai pribadi yang utuh.
Masalahnya bukan pada siapa mereka mencintai, tapi pada bagaimana kita merespons perbedaan. Kita bisa punya pendapat berbeda, tapi tetap bisa memilih untuk saling menghargai.
Karena hidup itu bukan soal siapa yang “normal” dan siapa yang “berbeda”, tapi soal bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan damai.
Kalau kita tahu ada teman yang sedang dalam arah yang menurut kita keliru, bukan dengan menjauhi, tapi dengan mengingatkan dengan cara yang penuh empati dan kasih. (Red)
*) Muhammad Ilzam Fata, mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Muria Kudus; anggota Forum Ilmiah Mahasiswa (FIMA) UMK-Kudus