
Liputan Khusus Haji 2025 oleh Faiz Rafdillah*)
SUARAMUDA, SEMARANG – Saya kira semua telah usai. Setelah fase Arafah, Muzdalifah, Mina, lengkap dengan segala drama, kelelahan, dan sistem coba-coba yang tak masuk akal, saya pikir setidaknya saat kami berpindah ke Madinah, jamaah bisa bernapas tenang. Ternyata saya keliru.
Senin, 23 Juni 2025, seharusnya menjadi hari perpisahan kami dengan Mekkah tanah suci yang akan kami selalu rindukan.
Jadwal keberangkatan kloter kami, JKG 47, adalah pukul 6 pagi. Sarapan dijadwalkan pukul 5 pagi. Namun alih-alih tepat waktu, kami baru dijemput pukul 9 pagi.
Alasan yang diberikan cukup membuat dahi mengernyit: supir belum dapat izin dari syarikah, dan supir belum tidur.
Ya, Anda tidak salah baca, sopir bus pengangkut jamaah belum tidur semalaman dan ketersediaan supir lebih banyak di arahkan perjalanan ke Jeddah.
Sebagai ketua regu, beserta ketua regu dan rombongan lain, saya tentu tidak bisa membiarkan jamaah mengetahui fakta ini.
Bayangkan, jika mereka tahu bahwa mereka akan menempuh perjalanan panjang dengan sopir yang kurang tidur, apa yang akan terjadi?
Ketegangan psikis, ketidaknyamanan, bahkan kecemasan selama perjalanan. Ini bukan kesalahan teknis semata, ini kegagalan manajemen risiko yang sangat fatal.
Sayangnya, kekacauan tak berhenti di situ.
Sehari sebelumnya kami mendapat instruksi untuk mengumpulkan koper besar dan kecil, sebuah langkah yang kami pikir akan memudahkan pengiriman logistik ke Madinah.
Tapi yang terjadi justru mimpi buruk yang terulang: jamaah, koper besar, koper kecil, semua dikirim bersamaan dalam satu waktu.
Akibatnya? Penumpukan di lobi hotel Madinah. Antrian panjang, distribusi kamar semrawut, koper nyasar ke lantai berbeda, dan rasa letih jamaah berubah menjadi kejengkelan yang terulang kembali.
Sebagai ketua regu, saya menerima banyak keluhan dari anggota saya. Bukan hanya soal koper yang nyasar, tetapi juga soal pengambilan makanan yang tidak sensitif terhadap kondisi.
Saat jamaah dan koper masih tumpang tindih di lobi dan lift, datang instruksi pengambilan makan, tanpa koordinasi, tanpa melihat realita di lapangan.
Yang membuat semua ini lebih menyakitkan adalah: ini bukan kali pertama. Bukan fase puncak. Bukan fase darurat.
Ini hanya fase logistik perpindahan kota, yang seharusnya bisa disiapkan dengan matang sejak jauh hari.
Tapi tetap saja, yang kami temui adalah pengulangan: ketidaksiapan, ketidakteraturan, dan komunikasi yang buruk.
Protes pada Indonesia?
Lalu saya mendengar kabar ini: pada 16 Juni 2025, pemerintah Arab Saudi melayangkan nota diplomatik kepada Indonesia.
Isinya menyatakan bahwa banyak kekacauan penyelenggaraan haji tahun ini adalah kesalahan dari pihak Indonesia.
Sebagai jamaah yang sejak fase awal hingga hari ini mengalami langsung betapa tidak profesional dan tidak kompetennya syarikah serta aparat Saudi dalam menyediakan layanan, saya benar-benar geram.
Tuduhan ini bagi saya adalah lelucon pahit. Lawakan yang menyakitkan. Memang, saya mengakui ada banyak kekurangan dari sisi Indonesia, itu tak bisa dipungkiri.
Tapi melempar seluruh tanggung jawab ke pundak pemerintah kita dan tutup mata atas carut-marut sistem mereka sendiri, adalah bentuk “lempar batu sembunyi tangan” yang sangat buruk.
Syarikah yang tak kunjung tepat waktu, aparat yang arogan, distribusi makanan yang amburadul, bus yang tak tersedia, hingga petugas yang tak tahu prosedur, semua ini kami alami sendiri.
Kami alami berulang kali. Tapi semua itu lenyap dalam catatan diplomatik yang menyebut kami penyebab kekacauan?
Saya ingin bertanya: siapa yang sebenarnya tak siap? Siapa yang sejak awal menciptakan sistem murur dadakan tanpa SOP jelas?
Siapa yang menciptakan blok-blok syarikah baru tanpa pengalaman, dan menyamaratakan logistik untuk jutaan jamaah hanya lewat simulasi semalam?
Saya tidak tahu lagi harus menamainya apa. Apakah ini sistem yang tidak siap? Atau mentalitas penyedia layanan yang menganggap jamaah haji Indonesia bisa ditangani dengan seadanya?
Yang jelas, syarikah dan pihak pengelola seolah-olah tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya.
Apa yang kami alami hari ini menjadi penutup ironis dari rangkaian perjalanan ibadah yang mestinya sakral.
Kami datang ke Mekkah dengan harapan dan meninggalkan Mekkah justru dengan rasa jengkel yang nyata.
Madinah, yang seharusnya jadi tempat menenangkan hati, justru kami sambut dengan tubuh lelah, emosi yang menahan amarah, dan sistem yang tetap semrawut.
Saya ingin tegaskan satu hal: jamaah haji Indonesia bukan sekadar kuota. Kami adalah manusia, warga negara, dan ibadah kami tidak layak disederhanakan jadi angka dalam laporan sukses-suksesan.
Pemerintah Indonesia sudah waktunya mengambil sikap. Tidak cukup hanya menyampaikan “catatan evaluasi.”
Sudah saatnya menyatakan sikap tegas kepada pihak Saudi bahwa profesionalisme bukan hal yang bisa dinegosiasikan.
Bahwa martabat jamaah Indonesia harus dilindungi dari awal keberangkatan, puncak ibadah, hingga saat kembali.
Karena jika bahkan di akhir perjalanan kami pun masih harus berjuang melawan sistem yang tak peduli, lalu kapan jamaah benar-benar bisa disebut “tamu Allah” yang dihormati? (Red)