
Oleh: Ali Achmadi *)
SUARAMUDA, SEMARANG – Dahulu, nama Kabupaten Pati berdiri paling depan di wilayah timur laut Jawa Tengah. Tak banyak yang tahu—atau mungkin sudah lupa—bahwa Pati pernah menjadi ibu kota Karesidenan Pati, pusat pemerintahan kolonial yang menaungi daerah-daerah seperti Kudus, Jepara, Rembang, dan Blora.
Namun hari ini, realita berkata lain. Kudus melesat sebagai pusat industri nasional. Jepara mendunia lewat ukirannya. Sementara Pati?
Masih berkutat dengan potensi yang belum tergarap. Perlu kejujuran untuk mengakui: kita tertinggal. Tapi pengakuan ini bukan untuk menyalahkan, melainkan titik awal untuk berubah.
Perspektif Historis: Dari Pusat ke Pinggiran
Pada masa Hindia Belanda, Karesidenan Pati mencakup Pati, Kudus, Jepara, Blora, dan Rembang. Kantor-kantor residen, jalur kereta api (semacam yang ada di Stasiun Juwana), dan pengaruh kolonial pernah berpusat di Pati.
Tetapi kini, sisa-sisa sejarah itu tak terawat dan tak termanfaatkan. Kantor Residen dan bangunan kolonial lainnya banyak yang terbengkalai atau bahkan tidak dikenali generasi muda sebagai situs sejarah.
Bandingkan dengan Kudus, yang mampu menjadikan situs Menara Kudus dan Masjid Al-Aqsa sebagai ikon sejarah sekaligus pusat wisata religi nasional, atau Jepara yang menjadikan rumah R.A. Kartini dan bangunan peninggalan Belanda sebagai bagian dari narasi budaya yang dikomersialkan.
Perspektif Ekonomi: Pati Terjebak di Hulu
Pati memiliki potensi pertanian dan perikanan yang besar, seperti lahan pertanian di Gabus dan Tambakromo, serta perikanan tambak di Juwana dan Dukuhseti.
Namun sebagian besar hanya berhenti pada penjualan bahan mentah. Petani dan nelayan menjual gabah dan ikan dalam bentuk mentah, tanpa pengolahan bernilai tambah. Tidak ada kawasan industri yang menopang hilirisasi produk lokal.
Sebaliknya, Kudus telah lama menjadi pusat industri rokok nasional. Perusahaan seperti Djarum, Nojorono, Sukun serta Polytron mendominasi ekonomi lokal dan memberi kontribusi besar pada PAD.
Bahkan, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Kudus mencapai ratusan miliar, yang digunakan untuk infrastruktur dan kesehatan.
Jepara juga sukses dengan industri mebel ekspor yang terpusat di kawasan industri Tahunan, didukung oleh koperasi dan UKM yang kuat serta branding internasional dan kini juga memiliki Kawasan industry terpusat di daerah Mayong.
Perspektif Infrastruktur: Stagnan dan Tidak Terintegrasi
Pembangunan infrastruktur di Pati berlangsung lambat dan tidak strategis. Jalan-jalan penghubung antar kecamatan seperti Winong – Tambakromo atau Batangan – Jakenan banyak yang rusak bertahun-tahun.
Tidak ada terminal besar, kawasan industri terpusat, atau jalur tol yang melewati Pati. Bahkan akses ke Pelabuhan Juwana pun tidak memadai untuk menjadi simpul logistik besar.
Bandingkan dengan Kudus yang punya jalan lingkar utara-selatan yang memperlancar arus logistik, dan Jepara yang memiliki akses pelabuhan Kartini untuk pariwisata dan perdagangan laut, serta pembangunan PLTU Tanjung Jati yang jadi magnet investasi.
Perspektif Kepemimpinan: Minim Inovasi, Lambat Bertindak
Pati tidak kekurangan tokoh, tapi kebijakan dan arah pembangunan sering bersifat reaktif, bukan strategis. Misalnya, rencana kenaikan PBB-P2 sampai 250% yang mengagetkan publik justru muncul di tengah lesunya ekonomi lokal.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus pada cara instan menambah pendapatan, ketimbang memutar roda ekonomi produktif.
Sebaliknya, Kudus berani membuat ekosistem digitalisasi UMKM melalui program Kudus Digital Market dan reformasi pelayanan publik berbasis elektronik. Jepara pun aktif menggandeng investor dan memperkuat branding wisata. Kepala daerah di sana cenderung berani mengambil risiko politik untuk proyek besar.
Perspektif Sosial dan Budaya: Potensi Besar, Minim Pengemasan
Pati kaya budaya. Mulai dari batik Bakaran di Juwana, hingga kuliner khas seperti nasi gandul, soto kemiri dan petis runting. Tapi sayangnya, semua itu belum menjadi produk unggulan daerah yang dikemas modern.
Batik Bakaran, misalnya, tidak banyak dikenal secara nasional, bahkan kalah populer dari batik Lasem.
Bandingkan dengan Jepara yang mampu menasionalisasi ukiran kayu hingga ekspor, dan bahkan menjadikan nama R.A. Kartini sebagai simbol emansipasi dan wisata edukatif. Kudus berhasil mengangkat kuliner seperti lentog dan jenang sebagai bagian dari identitas ekonomi kreatif.
Saatnya Pati Bangkit Lewat Terobosan, Bukan Sekadar Rutinitas
Pati adalah tanah yang subur, bukan hanya secara geografis tapi juga historis dan sosial. Namun potensi yang ada tidak otomatis menjelma menjadi kemajuan tanpa visi yang jelas, keberanian mengambil langkah strategis, dan kepemimpinan transformatif.
Sudah saatnya Pati tidak hanya menjadi “penonton” dari suksesnya Kudus dan Jepara. Pati harus menemukan DNA baru pembangunan yang relevan dengan zaman: berbasis potensi lokal, bertumpu pada inovasi, dan berani membuka diri terhadap investasi dan digitalisasi.
Hanya dengan begitu, nama besar Pati sebagai eks ibu kota karesidenan bisa kembali bersinar—bukan karena masa lalu, tapi karena masa depan yang dibangun dengan kesungguhan. (Red)
Ali Achmadi, tinggal di Pati. Praktisi pendidikan dan aktif mengamati isu-isu pembangunan daerah. Artikel ini ditulis sebagai bagian dari kontribusi publik untuk mendorong kemajuan Kabupaten Pati.