
Oleh: Efremsius Rifaldo *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Di era persaingan global yang semakin ketat dan dinamis, keberadaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai penopang ekonomi lokal tak bisa lagi bergantung pada metode manajemen konvensional.
Di Bangka Belitung, provinsi yang memiliki kekayaan alam dan budaya masih tertinggal dalam adopsi teknologi.
Kini, UMKM menghadapi tekanan yang nyata: bertransformasi secara digital atau tertinggal dan akhirnya gulung tikar.
Saat ini, transformasi digital dalam manajemen UMKM bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk bertahan dan berkembang.
Urgensi Transformasi Digital bagi UMKM
Transformasi digital bagi UMKM bukan hanya tentang menggunakan media sosial atau menjual produk secara online.
Lebih dari itu, digitalisasi menyangkut cara mengelola usaha secara menyeluruh: dari pembukuan, stok barang, pemasaran, hingga layanan pelanggan.
Di era sekarang, konsumen lebih menyukai transaksi yang cepat, transparan, dan bisa diakses kapan saja. Jika UMKM yang tidak beradaptasi dengan hal ini maka ia akan ditinggalkan, bahkan oleh pelanggan setianya.
Langkah yang Ditempuh
Beberapa hal yang penting dilakukan, adalah, pertama, digitalisasi memungkinkan UMKM menjangkau pasar yang lebih luas dan efisien.
Dengan kehadiran platform e-commerce, media sosial, dan aplikasi manajemen usaha, pelaku UMKM di Bangka Belitung bisa memperluas jangkauan bisnis mereka dari pasar lokal ke nasional, bahkan internasional.
Banyak pelaku usaha lokal seperti penjual lada putih, kerajinan tangan, atau makanan khas Bangka yang dulunya hanya mengandalkan penjualan langsung, kini dapat meningkatkan omzet lewat pemasaran digital.
Ini membuktikan bahwa dengan strategi digital yang tepat, keterbatasan geografis tidak lagi menjadi hambatan utama.
Kedua, digitalisasi meningkatkan efisiensi dan profesionalisme dalam manajemen. Aplikasi keuangan, pencatatan inventaris, hingga sistem pemesanan online memungkinkan pelaku UMKM untuk mengelola bisnis secara lebih akurat dan terorganisir.
Hal ini penting karena banyak UMKM yang gagal berkembang bukan karena produknya tidak bagus, tetapi karena manajemen internalnya lemah.
Di era sekarang, konsumen menuntut kecepatan, transparansi, dan kenyamanan—semua itu hanya bisa dicapai jika pelaku usaha memanfaatkan teknologi dalam pengelolaan usahanya.
Sebagai contoh sederhana, seorang pengusaha kerupuk ikan di Bangka Tengah yang masih mencatat keuangan di buku tulis akan kesulitan mengetahui keuntungan bersih secara real time.
Ia juga akan kesulitan mengajukan pinjaman usaha ke bank karena tidak memiliki catatan keuangan yang rapi.
Padahal, dengan aplikasi digital sederhana seperti BukuWarung atau Kasir Pintar, proses ini bisa dilakukan dengan mudah dan gratis.
Namun, tidak sedikit pelaku UMKM yang belum siap. Minimnya literasi digital, keterbatasan akses internet, serta pola pikir yang masih konvensional menjadi tantangan nyata di Bangka Belitung.
Meski demikian, hal ini bukan alasan untuk menolak perubahan. Justru kondisi tersebut menunjukkan perlunya intervensi dari berbagai pihak.
Dorongan dari Pemerintah
Pemerintah daerah harus aktif menyediakan pelatihan, memperluas infrastruktur digital, dan memberikan insentif kepada UMKM yang mulai beralih ke sistem digital.
Komunitas lokal dan lembaga pendidikan juga bisa berperan sebagai pendamping dan fasilitator.
Selain itu, pesaing dari luar daerah kini semakin mudah masuk melalui platform digital. Tanpa transformasi manajemen berbasis teknologi, UMKM lokal akan kalah bersaing baik dari segi harga, promosi, maupun pelayanan.
Ini ancaman nyata yang akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan ekonomi lokal.
Maka dari itu, mendorong digitalisasi bukan hanya tentang modernisasi usaha, tetapi juga tentang mempertahankan identitas dan keberdayaan ekonomi daerah.
Sebagai kesimpulan, digitalisasi dalam manajemen UMKM di Bangka Belitung adalah hal yang mendesak dan tak terhindarkan. L
Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi, UMKM yang tidak beradaptasi akan perlahan tersisih.
Sebaliknya, mereka yang mau bertransformasi akan memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat perekonomian daerah. Maka, pertanyaannya bukan lagi mampu atau tidak, tetapi mau atau tidak? (Red)
*) Efremsius Rifaldo, Mahasiswa Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi