
Oleh: Khalifa Zulfa Nafida *)
SUARAMUDA, SEMARANG — Di era modern yang serba cepat dan kompetitif ini, banyak orang menghadapi tekanan hidup yang luar biasa.
Tantangan dalam pekerjaan, pendidikan, hubungan sosial, hingga eksistensi diri, tak jarang membuat seseorang terjebak dalam siklus berpikir yang berlebihan atau dikenal dengan istilah “overthinking”.
Meski sekilas terlihat seperti proses refleksi diri atau upaya untuk mencari solusi terbaik, overthinking sejatinya bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental seseorang.
Fenomena ini tidak hanya melelahkan secara emosional, tetapi juga mampu menciptakan gangguan psikologis yang merugikan dalam jangka panjang.
Overthinking dapat diartikan sebagai kebiasaan berpikir secara berulang-ulang terhadap suatu hal secara berlebihan, baik itu tentang masa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Seseorang yang overthinking cenderung memutar ulang situasi tertentu di pikirannya, menganalisis setiap detail kecil, dan membayangkan berbagai kemungkinan negatif yang bisa terjadi.
Meskipun terlihat seperti bentuk kehati-hatian, sebenarnya pola pikir ini lebih sering menjebak individu dalam lingkaran ketakutan dan kecemasan yang tidak berujung.
Salah satu dampak utama dari overthinking adalah meningkatnya tingkat kecemasan. Ketika seseorang terus-menerus memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi, otak mulai meyakini bahwa hal tersebut adalah ancaman nyata.
Akibatnya, tubuh merespons dengan meningkatkan produksi hormon stres seperti kortisol dan adrenalin.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan gangguan kecemasan (anxiety disorder), yang ditandai dengan perasaan gelisah, jantung berdebar, sulit tidur, hingga serangan panik. Padahal, semua itu berawal dari pikiran yang tidak bisa dikendalikan.
Selain kecemasan, overthinking juga dapat menyebabkan depresi. Pikiran yang berputar-putar mengenai kegagalan di masa lalu, kesalahan yang dilakukan, atau perasaan tidak cukup baik dapat menimbulkan rasa bersalah yang berlarut-larut.
Individu yang terus-menerus memikirkan hal-hal negatif tentang dirinya akan mulai kehilangan motivasi dan kepercayaan diri. Ia merasa hidupnya tidak berarti dan tidak ada harapan.
Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa berkembang menjadi depresi klinis yang memerlukan penanganan profesional.
Tak hanya berdampak pada emosi, overthinking juga bisa merusak kualitas tidur. Ketika otak terus aktif dan sibuk memikirkan berbagai hal menjelang waktu tidur, tubuh sulit untuk benar-benar rileks.
Akibatnya, seseorang menjadi sulit tidur (insomnia), atau meskipun tertidur, tidurnya tidak nyenyak. Gangguan tidur ini akan berimbas pada kondisi fisik dan mental keesokan harinya, mulai dari kelelahan, sulit berkonsentrasi, hingga perubahan suasana hati yang drastis.
Fenomena overthinking juga berdampak buruk pada hubungan sosial. Seseorang yang overthinking sering kali terlalu sensitif terhadap perkataan atau tindakan orang lain.
Ia bisa merasa bahwa dirinya tidak disukai, dikritik secara halus, atau bahkan dikhianati, meskipun kenyataannya tidak demikian. Hal ini menciptakan kesalahpahaman, jarak emosional, bahkan konflik dalam relasi sosial.
Dalam jangka panjang, individu tersebut bisa merasa kesepian dan terisolasi, yang lagi-lagi memperburuk kondisi kesehatan mentalnya.
Sayangnya, banyak orang belum menyadari bahwa overthinking adalah masalah yang nyata. Budaya “terus berpikir agar tidak salah langkah” sering kali dianggap bijak, padahal dalam praktiknya, berpikir berlebihan justru bisa melumpuhkan tindakan.
Overthinking sering kali membuat seseorang ragu mengambil keputusan, takut gagal, atau merasa harus menunggu waktu yang “sempurna” sebelum bertindak.
Akhirnya, kesempatan terlewatkan, dan hal ini kembali menjadi bahan overthinking yang baru. Siklus ini bisa berlangsung tanpa akhir jika tidak disadari dan dihentikan.
Mengatasi overthinking bukanlah perkara mudah, namun sangat mungkin dilakukan. Langkah pertama adalah dengan menyadari bahwa overthinking itu merugikan.
Kesadaran ini penting agar seseorang bisa mengambil tindakan untuk keluar dari lingkaran pikiran yang berlebihan. Setelah itu, mulailah belajar untuk membedakan antara berpikir secara rasional dan overthinking.
Berpikir rasional membantu kita menemukan solusi dan membuat keputusan, sedangkan overthinking membuat kita berputar-putar tanpa arah.
Teknik mindfulness bisa menjadi salah satu metode efektif untuk mengurangi overthinking.
Dengan melatih kesadaran penuh terhadap saat ini (present moment), seseorang bisa mengalihkan fokus dari pikiran negatif yang berlebihan menuju pengalaman nyata yang sedang dialami.
Meditasi, pernapasan dalam, atau menulis jurnal harian dapat membantu proses ini. Selain itu, membatasi paparan terhadap media sosial dan berita yang menimbulkan kekhawatiran juga bisa membantu mengurangi beban pikiran.
Penting pula untuk memiliki sistem dukungan sosial yang kuat. Berbicara dengan teman dekat, keluarga, atau tenaga profesional seperti psikolog bisa memberikan perspektif baru dan melegakan beban mental.
Terkadang, hanya dengan mengungkapkan isi pikiran, seseorang bisa merasa lebih ringan dan mendapatkan solusi yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Aspek penting dalam kehidupan individu adalah kesehatan mental. Sayangnya, banyak orang baru menyadari pentingnya setelah mengalami gangguan yang cukup berat.
Oleh karena itu, memahami dampak dari overthinking dan belajar mengelolanya sejak dini adalah langkah preventif yang sangat bijak. Kita harus belajar untuk hidup lebih seimbang, menerima bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan, dan bahwa membuat kesalahan adalah bagian dari proses menjadi manusia.
Kesimpulannya, overthinking bukanlah sekadar kebiasaan berpikir mendalam, tetapi sebuah kondisi psikologis yang dapat memberikan dampak signifikan terhadap kesehatan mental.
Jika dibiarkan, overthinking bisa memicu kecemasan, depresi, gangguan tidur, hingga merusak hubungan sosial. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengenali gejala overthinking dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengelolanya.
Dengan menyadari batas antara berpikir sehat dan berpikir berlebihan, serta dengan dukungan lingkungan dan strategi manajemen stres yang tepat, kita dapat menjaga kesehatan mental dan menjalani kehidupan dengan lebih tenang serta bermakna. (Red)
*) Khalifa Zulfa Nafida, mahasiswa Akuntansi, Universitas Bangka Belitung
**) Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah, isi dan pesan dalam artikel bukan menjadi tanggung jawab redaksi