
Oleh: Vina Andini*)
SUARAMUDA, SEMARANG — Pagi itu, Kamis, 20 Maret 2025, langit Makassar tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbeda.
Langit biru yang terbentang begitu luas, angin yang bergerak malas, menyentuh kulit halusku. Kota ini bergerak seperti biasa, berdenyut dengan ritme yang sudah sangat familiar.
Namun, di dalam gedung parlemen yang dingin oleh AC dan wacana, sesuatu sedang dibicarakan
Notifikasi muncul di ponselku. Kupikir, mungkin diskon besar-besaran dari toko baju favoritku, atau mungkin sebuah undangan reuni dari teman-teman sekolah yang tak pernah berhenti mengingatkan.
Tetapi ternyata, itu bukan hal yang aku harapkan. Itu adalah berita duka, sebuah kabar yang mengubah segalanya bagi kami.
RUU TNI Disahkan
Entah berapa kali aku mengulang-ulang membaca judul berita itu. Berharap salah lihat. Berharap itu hanya kesalahan ketik. Tapi tidak, itu nyata. RUU TNI disahkan.
Isinya terasa seperti langkah mundur, seolah menyeret kami kembali ke bayang-bayang Orde Baru yang mengerikan.
Sebelum pengesahan ini, sudah ada angin yang perlahan berhembus, tanda-tanda yang tidak bisa kami abaikan begitu saja.
Wacana penguatan militer dalam kehidupan sipil sudah mulai sering terdengar. Seperti bayangan yang semakin jelas, meski tidak pernah dibicarakan dengan terang-terangan, kami merasa ada perubahan yang sedang terjadi.
Militer yang dulu hanya berfokus pada pertahanan negara, kini seolah dipersiapkan untuk mengisi ruang-ruang sipil.
Semua ini mulai terasa sejak beberapa tahun terakhir.
TNI yang semakin sering terlibat dalam pembangunan infrastruktur, membantu mengelola bencana alam, bahkan terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi ranah sipil.
Awalnya, mungkin bisa dimaklumi sebagai bentuk kontribusi yang positif. Namun lama-kelamaan kami mulai bertanya, apakah ini akan terus berlanjut hingga batasan antara militer dan sipil semakin pudar?
Sebelum RUU ini disahkan, ada banyak suara yang mengingatkan. Mereka yang mengerti betul apa arti penguatan peran militer dalam jangka panjang.
Mereka yang khawatir jika akhirnya kita kembali ke zaman di mana militer bukan hanya berkuasa dalam menjaga negara, tetapi juga dalam mengatur segala hal termasuk kehidupan sehari-hari kami.
Tetapi, pada Kamis pagi itu, semua kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Pengesahan RUU TNI ini bukan hanya soal aturan baru, tetapi juga soal arah negara yang kami cintai.
Militer, yang seharusnya tetap berada di luar ranah sipil, kini akan mengambil tempat yang lebih besar dalam pemerintahan.
Mereka yang seharusnya menjaga kedaulatan negara, kini akan turut mengurus birokrasi yang seharusnya dikelola oleh pejabat sipil.
Apakah ini hanya soal efisiensi? Kami tahu, di balik alasan itu, ada ambisi yang lebih besar. Ini bukan hanya soal kecepatan, tapi tentang akuntabilitas, tentang transparansi yang semakin berkurang.
Dalam demokrasi, rakyatlah yang berkuasa, dan untuk itu kami harus memastikan bahwa suara kami didengar.
Namun, dengan disahkannya RUU ini, ada perasaan bahwa demokrasi yang kami perjuangkan selama ini tengah terancam.
Tagar-tagar penuh kemarahan dan keresahan mulai memenuhi media sosial. Video-video edukatif, ilustrasi satir, hingga cuitan tajam menyebar dengan cepat.
Mahasiswa dan masyarakat telah turun ke jalan berkali-kali. Mereka mengangkat spanduk, menggema dengan orasi yang penuh semangat, dari kampus-kampus hingga ke bundaran kota.
Mereka menyuarakan satu hal yang jelas: batalkan revisi RUU TNI.
Namun suara mereka seolah teredam. Seperti dibenturkan pada tembok yang sangat tebal tembok kekuasaan yang dingin, kaku, dan tak peduli.
Suara kami seolah hanya dianggap sebagai angin lalu, formalitas demokrasi yang tak pernah benar-benar didengar.
Kami yang berada di bawah, rakyat biasa, mulai merasa semakin terpinggirkan. Apakah mereka yang duduk di kursi kekuasaan itu lupa?
Ataukah mereka memang sengaja membutakan mata, membungkukan telinga mereka terhadap jeritan kami? Kami bukan sekadar mengkritik, bukan hanya sekadar menyuarakan keluhan.
Kami berteriak karena kami peduli. Karena kami merasa, negara ini bukan milik mereka semata, tetapi juga milik kami.
Keputusan ini tidak hanya soal undang-undang yang baru disahkan. Ini tentang siapa yang memegang kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu digunakan.
Jika militer semakin mengisi ruang sipil, lalu di mana demokrasi kita? Di mana hak-hak kami untuk hidup makmur, untuk bahagia, untuk menentukan masa depan kami sendiri?
Kami bukan hanya sekadar suara yang terabaikan, tetapi kami adalah jiwa-jiwa yang menghidupi negara ini. Kami yang bekerja keras setiap hari, yang berjuang untuk kehidupan yang lebih baik, yang berhak untuk didengar.
Kenapa mereka yang berkuasa justru merenggut hak-hak itu dari kami, sedikit demi sedikit? Apa yang sebenarnya mereka kejar?
Apakah itu harta yang cukup untuk tujuh turunan mereka? Padahal kami, yang mereka anggap tak berdaya ini, masih berjuang untuk bisa makan besok.
Cerita ini belum selesai. Kami masih ada, masih berbicara, masih melangkah, masih menulis dengan kata dan tindakan.
Dan selama itu kami akan terus berusaha, dengan keberanian yang tak akan padam. TOLAK RUU TNI. EWAKO. (Red)
*) Vina Andini, Mahasiswa Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar
Wow, mantap