
Semarang, SUARAMUDA –
Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemenag RI, Prof. H. Muhammad Ali Ramdhani, mengibaratkan pemimpin seperti jantung dalam tubuh manusia.
Analogi ini ia sampaikan saat membuka Diklat Penguatan Kompetensi Kepala Madrasah Tahap 1 Tahun 2025 di Balai Diklat Keagamaan Semarang, Banyumanik, pada Senin (10/3/2025).
Menurutnya, jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh agar setiap organ dapat bekerja optimal. Begitu juga seorang pemimpin yang harus memastikan seluruh elemen di bawahnya berjalan dengan baik.
“Jantung memompa darah agar ujung kaki mendapatkan oksigen dan setiap organ berfungsi. Demikian pula pemimpin, tugasnya memastikan semuanya berjalan dengan baik,” ujar Prof. Ali Ramdhani, yang akrab disapa Kang Dani.
Karena fungsi vitalnya, jantung ditempatkan di tengah tubuh dan dilindungi tulang. Hal ini, menurutnya, menjadi metafora bahwa pemimpin mendapat kemuliaan bukan karena jabatan semata, melainkan karena perannya sebagai pelayan umat.
“Pemimpin adalah pelayan umat. Ia berada di tengah dan dilindungi karena perannya yang mulia dalam melayani,” tegasnya.
Kamad Harus FAST: Fathanah, Amanah, Shiddiq, dan Tabligh
Lebih lanjut, Kang Dani menekankan bahwa Kepala Madrasah (Kamad) harus menjadi motor penggerak perubahan yang cepat dan responsif.
“Kepala madrasah harus FAST, artinya menjadi lokomotif yang cepat dalam pergerakan,” katanya.
Namun, FAST juga merupakan akronim dari Fathanah (cerdas), Amanah (bertanggung jawab), Shiddiq (jujur), dan Tabligh (mampu menyampaikan kebaikan dengan bijak).
“Fathanah bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Pemimpin harus berpikir dengan hati, bukan hanya otak,” jelasnya.
Sementara itu, Amanah berarti menuntaskan tugas dengan tanggung jawab, Shiddiq menekankan kejujuran, dan Tabligh mengajarkan komunikasi yang baik agar pesan diterima tanpa menyinggung orang lain.
“Kata kuncinya, Kamad harus bisa melayani dengan baik,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah, KH. Abdul Ghaffar Rozin, menyoroti pentingnya kurikulum keaswajaan di madrasah. Menurutnya, masih banyak generasi muda yang kurang mengenal NU.
“Hampir 60 persen warga Indonesia mengaku NU, tetapi hanya 8 persen anak-anak di bawah 20 tahun yang benar-benar mengenal NU,” ungkapnya.
Gus Rozin pun membuktikan hal ini melalui kuis sederhana di Kantor PWNU Jateng. Banyak anak yang tidak tahu siapa Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari maupun Rois Aam PBNU.
“Saat ditanya siapa Mbah Hasyim? Mereka tidak bisa menjawab. Siapa Rois Aam? Juga tidak tahu,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Fakhrudin Karmani, menjelaskan bahwa diklat ini bertujuan membentuk kepala madrasah yang berintegritas, kompeten, dan berkomitmen meningkatkan mutu pendidikan.
“Dengan kepemimpinan yang baik, madrasah dapat berkontribusi positif dalam mengembangkan potensi siswa dan menciptakan lingkungan belajar berkualitas,” ujarnya.
Diklat ini berlangsung selama lima hari (10-14 Maret 2025) dan diikuti oleh 236 kepala madrasah dari berbagai jenjang, terdiri dari 30 kepala MA, 126 kepala MI, dan 80 kepala MTs. Dari jumlah tersebut, 62 peserta berstatus PNS dan 178 non-PNS.
Mengingat tingginya minat peserta, LP Ma’arif NU PWNU Jateng berencana mengadakan tahap kedua dalam waktu dekat.
“Insya Allah, kita akan buka diklat tahap kedua,” kata Fakhrudin.
Diklat ini juga ditandai dengan penandatanganan kerja sama antara LP Ma’arif NU PWNU Jateng dengan Balai Diklat Keagamaan Semarang. Hadir dalam acara ini sejumlah tokoh, antara lain: H. Saiful Mujab (Kepala Kanwil Kemenag Jateng), H. Muchammad Toha (Kepala Balai Diklat Keagamaan Semarang), H. Moch. Muhaemin (Kepala Balai Litbang Agama Semarang).
Dengan berlangsungnya diklat ini, diharapkan para kepala madrasah dapat menjadi pemimpin yang lebih tanggap, cerdas, dan berorientasi pada pelayanan umat.
Luar biasa