Oleh: Mario Oktavianus Magul *)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Tak dapat dimungkiri bahwa realitas dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Beragam krisis dan konflik sosial turut berseliweran di berbagai daerah. Ironisnya, hal itu berujung pada aksi demonstrasi yang tak terkontrol.
Alih-alih menjadi wadah penyampaian aspirasi, demonstrasi yang terjadi di pelbagai negara, termasuk Indonesia justru kerap menjelma menjadi sebuah tindakan anarkisitis.
Perusakan fasilitas publik dan kantor pemerintahan terjadi di banyak tempat. Ini mengindikasikan adanya sebuah penyakit yang tengah menggurita di tubuh bangsa. Krisis ekonomi, politik, dan kredibilitas barangkali telah menjadi modus awal yang melahirkan anomali ini.
Seluruh gambaran di atas, hemat penulis hanyalah beberapa potret buram yang berhasil direkam dari pelbagai situasi yang tengah dihadapi Bangsa Indonesia saat ini.
Bahwasannya, masih ada beragam persoalan akut lainnya yang belum terungkap dan masih perlu dibenahi. Alih-alih sibuk memperbaiki diri dari krisis ekonomi dan politik, manusia saat ini justru masih berkutat dengan sebuah krisis yang tak kalah serius dibanding keduanya, yakni krisis kesehatan mental.
Justru, pelbagai bentuk kecemasan, depresi, burnout dan disorientasi hidup makin sering muncul, tidak hanya dalam keluhan di ruang klinis, tetapi juga dalam realitas hidup keseharian.
Sehubungan dengan hal itu, indeks kesehatan mental (Mind Health Index/MHI) dalam sebuah observasinya mencatat bahwa proporsi orang yang kemungkinan mengalami depresi meningkat (47% dibandingkan 44% pada tahun 2023), dan mereka yang mengalami stress (64% dibandingkan 62% pada tahun 2023).
Sedangkan mereka yang kemungkinan mengalami kecemasan berada di level tertinggi: 23% lebih tinggi dibandingkan 20% pada 2023, dan 17% pada 2022.
Secara keseluruhan, seperempat populasi dunia berpotensi terkena gejala berat depresi, kecemasan dan stress. Tak hanya itu, koran Kompas pun juga menyoroti hal yang serupa.
Terdapat sekitar 1,7 juta warga mengalami stress di keluarga yang utuh atau setara dengan 58,6 persen dari total 2,9 juta orang yang mengalami stress di Indonesia. L
Beberapa fakta ini barangkali sudah cukup pas untuk menjadi peringatan bahwa krisis kesehatan mental adalah sebuah patologi sosial yang perlu diobati. Ia tidak hanya menjangkiti para mahasiswa dan pekerja kantoran, tetapi juga mereka yang secara sosial terlihat sukses dan kaya.
Lantas, kita perlu bertanya, mengapa manusia dewasa ini sering kehilangan pijakan batinnya? Di manakah letak kebahagiaan sejati? Dan apakah masih mungkin seseorang meraih ketenangan hidup di tengah dunia yang begitu gaduh dan bising?
Sederet pertanyaan ini sesungguhnya mengajak kita untuk sejenak flashback – menengok ke belakang, kepada seorang filsuf Yunani Kuno bernama Epikuros yang konsep pemikirannya tetap relevan hingga hari ini.
Epikuros dan Pencarian Ketenangan Batin
Frans Magnis Suseno dalam sebuah bukunya yang berjudul 13 tokoh etika menuliskan bahwa Epikuros hidup pada masa-masa awal Helenisme. Masa ini menjadi sebuah periode transisi, dimana negara kota Yunani kehilangan otonomi politisnya dan digantikan oleh kekaisaran-kekaisaran besar yang lebih bersifat hierarkis dan terpusat.
Pada masa itu, orang-orang Yunani mengalami pergeseran orientasi hidup: dari kehidupan publik-politik yang aktif, menuju kehidupan personal yang lebih reflektif.
Dengan lain kata, yang menjadi fokus perhatian mereka bukan lagi perkara soal ilmu-ilmu filosofis dan politis, melainkan kemampuan untuk mengolah pikiran pribadi: bagaimana menjadi manusia yang tenang dan bahagia dalam dunia yang tidak pasti.
Persis, dalam konteks seperti inilah, Epikuros hadir dan menawarkan konsep ataraxia. Konsep ini sejatinya merujuk pada keadaan jiwa yang tenang, bebas dari gangguan batin, gejolak yang tak menentu, ketakutan dan kecemasan.
Baginya, kebahagiaan adalah kebaikan tertinggi yang mencakup adanya ketenangan dan kebebasan dari rasa takut dan cemas. Akan tetapi, kebahagiaan yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah sesuatu yang bersifat temporal (muncul sesaat lalu menghilang – seperti kenikmatan jasmani atau hedonisme), melainkan kekal dan bertahan sepanjang hidup.
Dengan demikian, kebahagiaan versi Epikuros sesungguhnya mengarah pada sebuah kondisi jiwa yang stabil, tenang, dan tidak terombang-ambing oleh pelbagai keinginan yang berlebihan atau ketakutan irasional.
Senada dengan hal di atas, Epikuros juga turut menyoroti beberapa hal mendasar yang menjadi sumber kegelisahan (kecemasan) manusia. Ia berpendapat bahwa semua kecemasan itu berawal dari adanya ketakutan akan dewa-dewa, ketakutan akan kematian, dan ketakutan akan masa depan.
Menurut Epikuros, ketiga ketakutan tersebut merupakan hal yang tidak berdasar dan dapat diatasi dengan pemahaman yang rasional. Oleh sebab itu, sebagai upaya dalam mengatasi kecemasan, ketakutan dan ketidakbahagiaan tersebut, ia menawarkan konsep “Taman” sebagai salah satu solusi alternatifnya.
Taman adalah sebuah komunitas kecil yang menjadi tempat bagi para pengikutnya untuk hidup bersama dalam kesederhanaan, saling berbagi pemikiran, dan menjauh dari hiruk pikuk kehidupan duniawi.
Dalam konteks ini, taman tidak hanya sekadar menjadi tempat tinggal, tetapi juga sebagai simbol dari cara hidup yang baru – sebuah kehidupan yang jauh dari kebisingan dunia dan dekat dengan ketenangan batin.
Dunia Digital: Sebuah Bentuk Baru dari Ketakutan Lama
Konsep pemikiran Epikuros yang telah dijelaskan sebelumnya sesungguhnya adalah sesuatu hal yang sangat esensial dan relevan dengan situasi manusia saat ini. Pasalnya, pelbagai hal yang ditakutkan manusia pada zaman Epikuros tidaklah jauh berbeda dari apa yang kita alami hari ini.
Kendati variasi bentuk dari ketakutan itu sudah berubah, keduanya tetap berada di dalam satu pola yang sama. Bahwasannya, jika dahulu orang takut pada dewa-dewa dan kutukan, hari ini orang justru lebih takut pada penilaian sesamanya di media sosial.
Kecemasan mereka lahir bukan karena kemarahan para dewa, melainkan karena beberapa alasan yang kurang mendasar, seperti kurangnya like di pelbagai postingan, citra diri yang tidak cukup menarik di mata publik, atau karena krisis pengakuan di ruang maya.
Singkatnya, ketakutan akan kematian di masa lalu telah bergeser menjadi ketakutan akan kehilangan eksistensi digital, dan status sosial.
Sementara itu, ketakutan akan masa depan juga menjadi semakin nyata dalam bentuk kecemasan finansial, kompetisi karir, perubahan iklim, kerusakan ekologis, krisis global, atau bahkan kehadiran AI sebagai produk akal imitasi.
Berhadapan dengan semua realitas ini, kita tak dapat memungkiri bahwa manusia modern tengah dibanjiri oleh pelbagai distraksi dan informasi. Setiap detik muncul notifikasi, berita baru, dan standar hidup yang berubah-ubah.
Lantas, tidaklah mengherankan, jikalau Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul “Neksus” menyebut informasi sebagai oksigen di zaman modern – yang meresap melalui tembok-tembok berduri dan perbatasan beraliran listrik.
Di tengah kondisi semacam ini, mencapai ketenangan batin tentu menjadi sesuatu hal yang mustahil. Persis, pada titik inilah kita dapat kembali menemukan relevansi pemikiran Epikuros. Ia mengundang kita untuk berhenti sejenak, menyepi dan kembali kepada kehidupan yang sederhana namun bermakna.
Menyepi Bukan Melarikan Diri
Tak dapat dimungkiri bahwa kita terkadang salah kaprah dalam mengartikan konsep pemikiran Epikuros tentang “hidup dalam kesembunyian”. Alih-alih menjadi sebuah upaya untuk mencari ketenangan jiwa, kita justru memahaminya sebagai anjuran untuk menyendiri atau mengasingkan diri.
Ini merupakan sebuah kesalahan sederhana yang dapat mengaburkan makna dari konsep ataraxia yang sesungguhnya. Bahwasannya hal itu tidak merujuk pada upaya melarikan diri dari kehidupan sosial, tetapi lebih kepada usaha untuk menjauh dari kebisingan dan kegaduhan yang kurang esensial.
Dengan demikian, Epikuros melalui konsep pemikirannya hendak kembali mengundang kita untuk berani merumuskan makna kebahagiaan secara personal dan rasional, tanpa terikat pada penilaian eksternal yang berada di luar kendali kita.
Selain itu, kita pun juga perlu mengetahui bahwa di tengah perkembangan dunia yang semakin cair, tindakan menyepi juga dapat diartikan sebagai detoks digital – sebuah upaya untuk mengurangi penggunaan perangkat digital atau media sosial dalam jangka waktu tertentu, mengurangi keterikatan pada hal-hal materiil, dan berfokus pada upaya pembangunan ruang batin yang tenang.
Dengan lain kata, menyepi juga bisa berarti membangun “Taman” dengan versi dan gaya yang baru (modern) – sebagai sebuah komunitas kecil yang ideal, suportif, dan inovatif, dimana setiap pribadi dapat bertumbuh dengan baik.
Epikuros juga menggarisbawahi tentang pentingnya persahabatan sejati sebagai salah satu pilar kebahagiaan di dalam sebuah Taman (komunitas).
Dalam dunia yang semakin individualistis dan kompetitif, membangun jalinan relasi yang tulus dan bermakna di antara sesama dapat menjadi salah satu sarana untuk memperoleh ketenangan batin.
Menjadi Filsuf bagi Diri Sendiri: Sebuah Panggilan dari Epikuros
Keberlangsungan hidup manusia saat ini sejatinya tak dapat terlepas dari perkembangan zaman yang semakin dualistik. Pada satu sisi, teknologi informasi yang lebih baik dapat memberi kita kesehatan, kebahagiaan, dan kekuasaan – akan tetapi, pada sisi lain, teknologi tersebut justru merenggut kekuasaan dari kita dan menghancurkan kesehatan jasmani dan mental kita.
Dengan demikian, berhadapan dengan dualisme semacam ini, kita butuh lebih dari sekadar motivasi. Kita membutuhkan sebuah kerangka berpikir baru yang dapat membantu kita untuk hidup secara lebih sadar dalam memilah “apa yang penting” dan “apa yang hanya terlihat penting.”
Dalam situasi semacam ini, kemampuan untuk memilah tidak lagi menjadi sebuah pilihan, tetapi sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Epikuros dalam konsep pemikirannya tentang kebahagiaan, ketenangan, dan persahabatan, kembali menawarkan kepada kita sebuah alternatif jawaban yang mungkin cocok bagi dunia modern yang tengah kehilangan makna.
Untuk mencapai ataraxia kita tidak perlu menjadi pribadi asosial atau anti-kemajuan. Sebaliknya, kita diundang untuk menjadi pribadi yang berani memilih hidup tenang di tengah dunia yang bising.
Sebab, dalam dunia yang terus berlari, barangkali yang paling dibutuhkan hari ini bukanlah kecepatan, melainkan keberanian untuk berhenti sejenak, menyepi, dan merumuskan kembali – apa arti hidup yang benar-benar membahagiakan? (Red)
*) Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta