Apakah Semua Orang Butuh iPhone?

(Ilustrasi iPhone/ pinterest)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Cobalah sejenak kita mengangkat kepala di sebuah tempat yang ramai. Di sana kita akan menyaksikan sebagian besar orang menggenggam sebuah ponsel dengan logo apel setengah tergigit atau yang kita kenal sekarang dengan nama iPhone.

Gelagat penggunaan iPhone telah lama menjadi sorotan publik. Entah apa yang menjadi perbedaan fungsional iPhone dibandingkan dengan merek ponsel yang lain, tetapi pada umumnya iPhone berhasil menarik banyak peminat.

Kehadiran iPhone dengan berbagai model terbarukan selalu menjadi komoditas yang siap diperebutkan. Bagi kebanyakan konsumen di zaman ini, gaya hidup belum memadai kalau belum menggunakan iPhone.

Kecanggihan teknologi iPhone memang tidak dapat disangkal. Merek ponsel yang diluncurkan oleh Apple ini terkenal dengan inovasi yang terus berkembang. IPhone memuat sistem operasi yang berbeda (iOS) dengan ponsel berbasis Android OS, kemudian memiliki kualitas kamera yang mumpuni, sistem keamanan yang baik, serta ekosistem perangkat yang terintegrasi.

Revolusi industri dari iPhone yang sedemikian cepat membuat produk ini sulit disaingi oleh merek ponsel lainnya (Novalia, dkk, 2025). Namun, terlepas dari tawaran kecanggihannya, terbersit sebuah realitas sosial yang memicu kompleksitas.

Saat ini, iPhone bukan melulu menjadi perangkat komunikasi sebagaimana merek ponsel lainnya, melainkan menjelma sebagai indikator status sosial dan alat determinasi identitas di tengah masyarakat konsumtif.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuatan simbolik dari smartphone telah mengubah makna semulanya. Orang-orang ramai membeli iPhone bukan lagi karena nilai intrinsiknya, melainkan karena diinginkan oleh banyak orang (Haryatmoko, 2016).

Banyak orang rela menghabiskan uang dalam jumlah yang terlampau besar hanya untuk memiliki iPhone. Alih-alih mereka membelinya karena memang dibutuhkan, mereka justru hanya ingin beradaptasi dengan citra modernitas alias takut ketinggalan zaman (Fear of Missing Out).

Berkutat dengan realitas ini, kepemilikan iPhone telah membuat standar terhadap gaya hidup dan penanda kelas di tengah lapisan masyarakat.

Dorongan psikologis seakan menuntut mereka untuk ‘harus’ memiliki iPhone, padahal secara fungsi sama dengan ponsel Android yang mereka miliki sebelumnya. Akibatnya, muncul ilusi bahwa kepemilikan iPhone adalah syarat untuk diterima secara sosial.

iPhone dan Perilaku Konsumtif Masyarakat
Jean Baudrillard, dalam bukunya The Consumer Society (1998), menerangkan bahwa masyarakat modern tidak lagi hidup berdasarkan nilai guna (use value), tetapi nilai tanda (sign value).

Dengan kata lain, obyek konsumsi memiliki makna yang lebih dari sekadar fungsi materialnya. Dalam konteks ini, Baudrillard mengkonsepsikannya dengan istilah manipulasi tanda.

Manipulasi tanda yang dimaksudkan adalah suatu bentuk pencarian akan pengakuan sosial karena di balik tanda tersebut ada hasrat untuk integrasi sosial atau distinction (Baudrillard, 1998).

Oleh karena itu, apa yang dikonsumsi sebenarnya bukan menjadi pilihan dasar konsumen, melainkan supaya diterima dalam gaya hidup masyarakatnya.

Kerangka pemikiran Baudrillard ini mengantar kita pada realitas zaman yang tampak secara gamblang di hadapan kita. Masyarakat modern cenderung melihat bahwa dengan menggunakan iPhone seseorang diposisikan dalam golongan kelas atas.

Akhirnya banyak orang berangsur-angsur untuk membeli iPhone supaya dianggap dari kelas atas. Ironisnya, sebagian dari masyarakat ada yang mengalami keterbatasan secara ekonomi, tetapi mereka akan berusaha dengan segala cara untuk bisa membeli ponsel berlogo apel setengah tergigit itu.

Baudrillard mengatakan bahwa konsumsi saat ini memang dipakai untuk menutupi asal kelas yang sesungguhnya sehingga bisa menjadi kompensasi mobilitas sosial (Haryatmoko, 2016).

Sayangnya, mereka yang sudah lebih dahulu berada di kelas atas kerapkali menciptakan pembatasan konsumsi atau resistensi terhadap pendatang baru (Baudrillard, 1998). Mereka menyudutkan orang-orang yang baru pertama kali memiliki iPhone supaya tidak bisa menyamai kelas mereka.

Perilaku konsumtif semacam ini juga sangat dipengaruhi oleh sistem kapitalisme global. Kapitalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai hasrat untuk memproduksi semakin banyak barang baru dan dengan kualitas yang semakin bagus (Magnis-Suseno, 2008).

Strategi kapitalisme mengkonstruksi sebuah narasi baru untuk memantik masyarakat agar terus mengonsumsi tanpa memperhatikan fungsi esensialnya.

Karl Marx bahkan dari awal telah mengingatkan bahwa sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan, atau yang tidak kita rasakan sebagai kebutuhan, ditawarkan secara persuasif oleh raksasa kapitalisme (perusahaan) sehingga kita merasa membutuhkannya.

Pengaruh kapitalisme yang sedemikian kuat ini mau tidak mau menyeret masyarakat modern ke dalam sikap konsumerisme-hedonistik. Apapun yang membuat dia senang akan dibeli sekalipun tidak membutuhkannya.

Pola ini juga mencerminkan apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai kebutuhan palsu (false needs). Hampir setiap tahun Apple meluncurkan produk terbaru dari iPhone yang lebih canggih dan modern.

Pada saat yang sama, masyarakat konsumtif-hedonis ini akan bertarung untuk mendapatkannya sekadar biar bisa mengikuti tren. Mereka tidak mau apabila ada orang lain yang memilikinya terlebih dahulu. Tanpa kita sadari, siklus ini akan berputar tanpa akhir.

Perusahaan seperti Apple akan membaca perilaku konsumtif masyarakat dan berusaha untuk terus memproduksi iPhone versi terbaru sehingga orang-orang akan terus mengejar produk-produk terbaru itu.

Keluar dari Jebakan Sistem

Sejatinya iPhone bukan lagi menjadi representasi kemajuan teknologi, tetapi juga model kapitalisme yang beroperasi melalui manipulasi tanda.

Ketika masyarakat semakin terperangkap dalam manipulasi tanda tersebut, mereka secara tidak sadar memperkuat sistem yang sama yang membatasi kebebasan mereka.

Kapitalisme bekerja bukan lagi dengan paksaan, melainkan dengan bujukan halus melalui citra, simbol, dan gaya hidup yang diidamkan.

Dalam situasi ini, konsumen menjadi subjek yang patuh, bukan karena terpaksa, tetapi karena mereka percaya sedang membuat pilihan bebas, padahal mereka sementara berada dalam kendali sosial.

Pengenalan akan manipulasi tanda menjadi langkah yang baik untuk mengenali jebakan sistem kapitalisme. Budaya konsumtif yang berlebihan hanya akan melahirkan ketimpangan-ketimpangan antar-kelas di tengah masyarakat.

Fenomena gengsi dalam penggunaan iPhone biasanya menimbulkan kesenjangan simbolik di antara individu. Mereka yang tidak memiliki perangkat tersebut kerap dianggap ketinggalan atau FOMO.

Sementara mereka yang memilikinya, bertengger pada kecenderungan narsistik. Padahal, ukuran martabat manusia tidak pernah ditentukan oleh merek ponsel yang digunakan, melainkan oleh kontribusi dan nilai yang dihidupi.

Mengembalikan logika konsumsi pada prinsip kebutuhan sejati merupakan solusi penting untuk membangun masyarakat yang lebih rasional dan adil.

Pada akhirnya, pertanyaan “Apakah semua orang membutuhkan iPhone?” harus dijawab dengan pemikiran yang lebih kritis. Tidak semua orang membutuhkannya, karena kebutuhan tidak sama dengan keinginan yang dibentuk oleh sistem kapitalisme.

iPhone hanyalah satu contoh konkret bagaimana logika pasar mengubah konsumsi menjadi tanda. Yang diperlukan bukan penolakan terhadap produk, tetapi kesadaran untuk memahami mengapa seseorang merasa membutuhkannya.

Dengan kesadaran semacam ini, masyarakat dapat membebaskan diri dari ilusi konsumtif dan mengembalikan makna teknologi seperti smartphone ke fungsi esensialnya. (Red)

Penulis: Antonius Guntramus Plewang, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like