Jempolmu Menentukan Masa Depan Demokrasi: Mengapa Literasi Digital Kini Jadi Bekal Wajib Warga Negara?

Oleh: Celina Kinanti*)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Pernahkah kamu membuka media sosial dan merasa lelah melihat linimasa yang penuh dengan caci maki, berita bohong, dan perdebatan? Jika iya, kamu tidak sendirian.

Dunia digital yang dulu kita harapkan menjadi ruang kebebasan berekspresi, kini justru terasa seperti medan pertempuran. Ironisnya, di saat internet memberi kita kekuatan untuk bersuara, demokrasi kita justru menghadapi tantangan baru: banjir disinformasi, ujaran kebencian, dan etika yang semakin terkikis.

Di sinilah kita sadar, bahwa sekadar bisa main medsos atau “melek teknologi” saja tidak cukup. Kita butuh bekal yang lebih penting, yaitu literasi digital, untuk menjaga demokrasi kita tetap sehat.

Anggap saja literasi digital ini seperti “modal sosial” kita di dunia maya. Kalau di dunia nyata kita butuh kepercayaan dan sopan santun untuk hidup rukun, di dunia digital pun sama.

Etika inilah yang menjadi panduan kita untuk berinteraksi secara sehat, berpikir kritis sebelum membagikan sesuatu, dan pada akhirnya, membuat pilihan yang cerdas untuk bangsa.

Literasi Digital: Kompas Moral di Hutan Belantara Informasi

Kementerian Informasi dan Digital (Komdigi) membagi literasi digital menjadi empat pilar utama:
1. Cakap Digital (Digital Skills): Kemampuan teknis menggunakan perangkat.
2. Budaya Digital (Digital Culture): Memahami nilai-nilai Pancasila di dunia maya.
3. Aman Digital (Digital Safety): Melindungi data pribadi dan keamanan diri.
4. Etika Digital (Digital Ethics): Nah, ini dia intinya!

Literasi digital adalah kemampuan kita untuk bertindak dengan tanggung jawab. Sederhananya, ini tentang berpikir sebelum bertindak online. Apakah unggahan ini menyakiti orang lain? Apakah berita ini sudah pasti benar? Apakah saya menghargai privasi orang lain?

Tanpa etika, ruang diskusi publik yang seharusnya keren bisa berubah jadi ajang “perang” informasi. Kepentingan politik sesaat dan ego sering kali membuat etika dilupakan, dan yang jadi korban adalah demokrasi itu sendiri.

Banyak Pengguna, Tapi Yakin Berkualitas?

Faktanya, Indonesia adalah raksasa digital. Menurut data APJII, pada tahun 2025 pengguna internet kita sudah mencapai 229,4 juta jiwa. Hampir seluruh penjuru negeri sudah terhubung!

Tapi, ada satu masalah besar: ramainya pengguna ini ternyata tidak sejalan dengan kualitas interaksinya. Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) memang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, dari 43,18 (2023) hingga 44,53 (2025). Ini bagus, artinya kita semakin akrab dengan teknologi.

Namun, skor tinggi bukan berarti literasi digital kita sudah matang. Angka ini justru menjadi pengingat keras bahwa pekerjaan rumah kita bukan lagi soal membuat orang bisa online, tapi membuat orang bisa beretika saat online.

Ketika Pesta Demokrasi Jadi Ajang Saling Serang: Cermin Buram Etika Digital Kita

Mau lihat contoh paling nyata betapa etika digital kita sedang diuji? Lihat saja setiap kali Pemilu tiba. Pesta demokrasi yang seharusnya meriah dengan adu gagasan sering kali ternodai oleh:

  • Hoaks dan Fitnah: Ribuan konten hoaks sengaja dibuat untuk menjatuhkan lawan politik dan memanipulasi pemilih. Komdigi harus bekerja ekstra keras menurunkannya.
  • Doxing dan Ujaran Kebencian: Informasi pribadi disebar tanpa izin untuk meneror, sementara sentimen SARA digunakan untuk memecah belah.
  • Pasukan Buzzer: Akun-akun terorganisir yang melancarkan kampanye hitam, mengubah diskusi sehat menjadi ladang caci maki.
    Ketika hal-hal ini dibiarkan, bukan hanya reputasi individu yang hancur, tapi juga kepercayaan kita pada proses demokrasi itu sendiri.

Etika adalah “Lem Perekat” yang Membangun Kepercayaan

Masyarakat yang warganya punya etika digital yang kuat akan memiliki “modal sosial” atau “lem perekat” yang kokoh. Manfaatnya apa?

1. Saling Percaya: Kita bisa berdiskusi dengan produktif karena percaya informasi yang beredar bisa dipercaya dan orang lain punya niat baik. Tanpa kepercayaan, semua terasa seperti jebakan.

2. Komunitas Sehat: Kita bisa membangun jaringan untuk tujuan positif, seperti mengawal kebijakan pemerintah atau memulai gerakan sosial, bukan hanya untuk saling menjatuhkan.

3. Aturan Main Bersama: Tercipta kebiasaan baik, seperti saring sebelum sharing, tidak melakukan perundungan siber (cyberbullying), dan berdebat dengan argumen, bukan makian.

Dengan “lem perekat” ini, kita sebagai masyarakat akan lebih kebal terhadap provokasi dan bisa membuat keputusan politik berdasarkan akal sehat, bukan emosi sesaat.

Menguatkan etika digital adalah agenda yang sangat mendesak. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau sekolah, tapi tanggung jawab kita bersama.

Di sinilah Generasi Z (Gen Z) memegang peran super penting. Sebagai generasi yang lahir dan besar bersama internet (digital native), mereka bukan hanya target, tapi juga bisa menjadi agen perubahan paling efektif.

Gen Z bisa menjadi jembatan: menjelaskan risiko informasi di media sosial seperti bahaya hoaks kepada orang tua atau kakek-nenek mereka (generasi Boomers dan Gen X) dengan cara yang mudah dimengerti, sekaligus memberi contoh bagi generasi di bawahnya tentang cara berinteraksi yang positif di dunia maya.

Pada akhirnya, masa depan demokrasi digital kita tidak ditentukan oleh canggihnya teknologi, tapi oleh bijaknya jari-jemari kita. Dengan menjadikan etika sebagai fondasi, kita tidak hanya membersihkan ruang digital dari “polusi informasi,” tetapi juga merawat dan memperkuat demokrasi Indonesia. (Red)

*) Celina Kinanti, seorang mahasiswi semester akhir, kreator konten, dan traveler yang juga aktif mendaki gunung. Memiliki minat pada isu pemberdayaan, khususnya anak-anak, serta dinamika di dunia media digital.

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like