
Oleh: Dr. Yanuar Rachmansyah*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Gelombang protes delapan belas gubernur dari berbagai provinsi baru-baru ini menjadi cermin betapa vitalnya Transfer ke Daerah (TKD) bagi kehidupan ekonomi dan pembangunan di daerah.
Mereka datang ke Kementerian Keuangan dengan satu suara: menolak pemotongan dana TKD yang dianggap memberatkan operasional pemerintahan dan pembangunan di wilayah masing-masing.
Kekecewaan ini beralasan. Di banyak daerah, TKD bukan sekadar aliran dana dari pusat, melainkan darah yang menghidupi berbagai program publik — dari pembayaran gaji aparatur sipil negara (ASN), subsidi pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur dasar.
Ketika pemerintah pusat memangkas alokasinya, efek domino langsung terasa: proyek tertunda, pelayanan publik tersendat, bahkan ruang fiskal daerah ikut menyempit.
Sebagai instrumen utama desentralisasi fiskal, TKD dirancang bukan semata untuk membagi anggaran, tetapi untuk menjaga keadilan fiskal antarwilayah. Ia menjadi jembatan antara daerah kaya sumber daya dan daerah yang masih tertinggal.
Dalam praktiknya, TKD terbagi ke dalam beberapa komponen: Dana Bagi Hasil (DBH) untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah penghasil sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pemerataan keuangan antarwilayah, serta Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendanai program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.
Selain itu, Dana Insentif Fiskal dan Dana Desa berperan memperkuat ekonomi di akar rumput dan mendorong kinerja pemerintahan lokal. Oleh karena itu, setiap kebijakan pemotongan TKD sejatinya bukan sekadar soal teknis fiskal, melainkan juga persoalan politik pembangunan.
Di Aceh, misalnya, pemangkasan hingga 25 persen dianggap mengancam stabilitas pelayanan dasar. Di Maluku Utara, pemotongan hingga 30 persen diyakini memperlambat pembangunan infrastruktur yang selama ini menjadi urat nadi konektivitas antarwilayah.
Maka, wajar bila para gubernur memprotes kebijakan itu — bukan untuk menolak efisiensi, tetapi untuk menuntut keadilan dalam tata kelola pembangunan nasional.
Pemerintah pusat tentu memiliki alasan. Penyesuaian alokasi TKD sering kali dilakukan demi menjaga keseimbangan APBN dan efisiensi belanja negara.
Namun, perlu diingat bahwa efisiensi di tingkat pusat sering kali berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat di tingkat lokal. Ketika fiskal daerah melemah, kemampuan daerah untuk membiayai layanan publik pun ikut menurun.
Padahal, jika dikelola dengan efektif dan transparan, TKD terbukti memberi dampak besar terhadap penurunan ketimpangan dan kemiskinan.
Penelitian Wardhana (2013) dan Rianggara & Kawedar (2025) menunjukkan bahwa peningkatan transfer fiskal mampu menekan ketimpangan pendapatan dan mengurangi kemiskinan di daerah.
Bahkan, Sinaga dkk. (2025) menemukan bahwa pengelolaan transfer keuangan yang akuntabel dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal. Artinya, TKD bukan hanya soal nominal, tetapi soal kepercayaan dan tata kelola.
Sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), arah reformasi fiskal semakin jelas: mendorong kinerja, transparansi, dan pemerataan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2023, pemerintah pusat menegaskan komitmennya agar setiap rupiah yang ditransfer benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat.
Beberapa daerah telah menunjukkan hasil positif — Jawa Barat memanfaatkan DAU untuk digitalisasi layanan publik, sementara Nusa Tenggara Timur menggunakan DAK untuk membangun embung yang meningkatkan produktivitas pertanian.
Namun, implementasi di lapangan tak selalu mudah. Bagi daerah yang sangat bergantung pada transfer pusat, sedikit saja penyesuaian bisa mengguncang stabilitas keuangannya.
Dalam situasi seperti ini, sinergi antara pusat dan daerah menjadi kunci. Pemerintah pusat harus berhati-hati dalam menerapkan efisiensi agar tidak mematikan inisiatif lokal, sementara daerah harus berani berinovasi: memperluas sumber pendapatan asli daerah, memperkuat tata kelola, dan memastikan setiap rupiah benar-benar menyentuh masyarakat.
TKD sejatinya bukan sekadar transfer fiskal, melainkan simbol kemitraan antara pusat dan daerah. Ia mencerminkan semangat gotong royong dalam membangun bangsa dari pinggiran.
Karena itu, kebijakan fiskal seharusnya tidak dipandang sebagai instrumen pengendalian sepihak, tetapi sebagai mekanisme kolaboratif untuk menciptakan keseimbangan ekonomi nasional.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “apakah TKD akan dipangkas”, melainkan “bagaimana kita memastikan setiap transfer benar-benar berdampak bagi rakyat.”
Keberhasilan pembangunan tidak diukur dari besarnya dana yang dikirim dari Jakarta, melainkan dari sejauh mana dana itu mampu mengubah wajah kehidupan di pelosok: dari jalan becek yang kini menjadi akses ekonomi, dari sekolah reyot yang kini menjadi ruang belajar layak, hingga dari rakyat kecil yang kini punya harapan.
Transfer ke Daerah adalah nafas bagi daerah — dan selama nafas itu terus dijaga, niscaya pembangunan Indonesia akan berdenyut dari pinggiran menuju pusat. (Red)
*) Dr. Yanuar Rachmansyah, pengamat kebijakan ekonomi, Ketua Program Magister Manajemen Universitas BPD Semarang