
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Suara buruh Jawa Tengah kembali menggema. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng bareng Aliansi Buruh Jawa Tengah (Abjad) kompak meminta pemerintah menaikkan upah minimum 2026 sebesar 6,5 persen.
Tapi ternyata, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng belum bisa bergerak cepat. Alasannya? Regulasi dari pusat sebagai dasar hukum penetapan upah belum turun juga.
Kepala Disnakertrans Jateng, Ahmad Aziz, bilang kalau urusan UMP dan UMK sebenarnya jadi kewenangan gubernur. Tapi tetap harus nunggu aturan resmi dari pemerintah pusat.
“Sekarang kita belum bisa bahas, karena regulasinya belum ada. Nanti kalau sudah turun, baru deh kita mulai pembahasan,” kata Aziz lewat sambungan telepon, Senin (22/9/2025).
Aziz menegaskan, nantinya proses penetapan UMP/UMK tetap melibatkan Dewan Pengupahan. Selain itu, ruang dialog dengan buruh juga terbuka, meski keputusan akhir tetap bakal mengacu pada formula resmi dan SK gubernur.
“Kita hargai aspirasi teman-teman buruh. Tapi tetap ya, formula yang jadi patokan utama. Indikatornya banyak: inflasi, pertumbuhan ekonomi, kebutuhan hidup layak, sampai kemampuan perusahaan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua KSPI Jateng, Aulia Hakim, menilai angka 6,5 persen cukup realistis dibanding tuntutan nasional yang sampai 8,5–10,5 persen.
“Ekonomi Jateng nggak setinggi nasional, jadi menurut kami 6,5 persen itu wajar,” jelasnya.
Selain kenaikan UMK, buruh juga minta pemerintah tetap mempertahankan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Alasannya, kalau hanya mengandalkan UMK, buruh makin tertekan.
“Lihat aja, UMK Jepara masih Rp 2,6 juta. Kalau nggak ada UMSK, makin berat buat buruh,” kata Karmanto, Ketua FSPIP yang juga anggota Abjad.
Nah, sementara regulasi dari pusat masih ditunggu, perdebatan soal upah ini diprediksi bakal terus hangat sampai akhir tahun. Jadi, buruh Jateng bisa jadi harus sabar dulu, sambil terus menyuarakan aspirasinya. (Red)