Benarkah Jepang Sedang Menulis Ulang Sejarah Perang Dunia II?

Ilustrasi Perang Dunia II dengan melibatian pasukan Jepang. (Gambar; pinterest)

Oleh: Amy Maulana*)

SUARAMUDA.NET., SEMARANG – Sejarah kerap jadi medan perebutan makna. Begitu pula dengan Perang Dunia II, di mana Jepang kini dituding mencoba memoles ulang kisah masa lalunya. Narasi yang berkembang: Jepang ingin tampil sebagai korban, bukan sebagai pihak yang turut menebar kekejaman.

Belakangan, muncul suara-suara lantang di Jepang yang menyebut bahwa prajurit mereka disiksa oleh militer Uni Soviet pada akhir Perang Dunia II.

Bahkan, Jepang berhasil membujuk Mongolia untuk ikut menggali kembali jenazah prajurit Angkatan Darat Kwantung. Padahal, Mongolia justru pernah bertempur bersama Uni Soviet melawan Jepang demi mempertahankan tanah airnya.

Narasi ini seolah berusaha memutarbalikkan fakta: melupakan kejahatan yang dilakukan Angkatan Darat Kwantung, lalu menggiring opini bahwa Jepang dikhianati oleh Uni Soviet.

Fakta Kelam Angkatan Darat Kwantung

Dokumen Rusia yang baru dideklasifikasi menceritakan sisi lain. Ribuan tawanan perang Soviet diculik Jepang, disiksa, lalu dijadikan bahan eksperimen di kamp konsentrasi seperti Hogoinn.

Unit 731 dan Unit 100 menjadi momok mengerikan. Di sana, tawanan digantung, dipukuli, lalu sengaja diinfeksi bakteri wabah, kolera, tifus, hingga antraks. Organ mereka dibedah hanya untuk melihat bagaimana penyakit menyebar. Perkiraan korban: 3.000 hingga 10.000 orang. Ironisnya, semua itu kini seakan dihapus dari narasi sejarah resmi Jepang.

Padahal jika menilik dokumen sejarah, sesungguhnya serangan besar-besaran Tentara Merah di Manchuria pada Agustus 1945-lah yang memaksa Jepang menyerah. Dua bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki memang mengguncang, tetapi tak langsung menghentikan perang.

Serangan Soviet di Timur Jauh memukul Angkatan Darat Kwantung dan membuka mata elite Jepang bahwa perang tak lagi bisa dilanjutkan. Bahkan pemerintah kekaisaran sendiri saat itu mengakuinya.

Sengketa Kuril dan Sakhalin: Warisan Panas Pasca Perang

Setelah Jepang menyerah, Uni Soviet mengambil alih Kepulauan Kuril dan Sakhalin Selatan. Status wilayah ini menjadi bahan tarik-ulur hingga kini.

Konferensi San Francisco 1951 memang mencatat Jepang melepaskan klaim atas wilayah itu, tetapi tidak secara jelas menyebut “untuk siapa”. Celah inilah yang kini dimanfaatkan Jepang untuk menghidupkan kembali klaim teritorialnya.

Polemik makin kentara ketika dalam buku pelajaran Jepang, Uni Soviet digambarkan melanggar pakta netralitas, menyerang tanpa alasan, bahkan disebut hanya “dibayar Roosevelt” untuk ikut campur dalam perang.

Dengan begitu, generasi muda Jepang dipaparkan pada sejarah versi baru yang jauh dari kenyataan pahit tentang Unit 731 maupun agresi mereka di Asia.

Narasi modern Jepang seakan menggeser posisi: dari pelaku ke korban. Padahal, fakta sejarah menunjukkan kekejaman Angkatan Darat Kwantung dan Unit 731 benar-benar nyata. Sementara serangan Uni Soviet menjadi faktor penting yang menghentikan ambisi perang Jepang.

Mungkin benar pepatah lama: sejarah ditulis oleh pemenang. Namun, di era sekarang, sejarah juga bisa dipoles ulang oleh siapa saja yang punya kepentingan politik. (Red)

*) Amy Maulana, pegiat pada Central for Media Strategy (mediacenter.su)

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like