
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Setiap bulan Rabiul Awal, umat Islam di berbagai belahan dunia ramai memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Perayaan ini bukan hanya soal tabuhan rebana, syair shalawat, atau suguhan nasi berkat. Ada sejarah panjang dan makna mendalam di balik tradisi yang sudah berusia ratusan tahun ini.
Menurut Syamsuddin (2019: 45), peringatan Maulid Nabi pertama kali populer pada era Dinasti Fatimiyah di Mesir sekitar abad ke-10.
Awalnya, perayaan ini digelar sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal.
Dari Mesir, tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai negeri Muslim. Di Indonesia, Maulid bahkan diwarnai dengan kearifan lokal: ada grebeg di Yogyakarta, sekaten di Solo, hingga tradisi bagodak di Kalimantan (Hasan, 2005: 122).
Lalu, apa arti penting Maulid Nabi bagi kita sekarang? Pertama, ia menjadi momentum untuk mengingat kembali ajaran Rasulullah: akhlak mulia, kepedulian sosial, dan semangat persatuan.
Seperti ditulis Annemarie Schimmel (1985: 67), Maulid adalah media efektif untuk menanamkan kecintaan umat pada Nabi. Kedua, Maulid jadi “reminder” bahwa Islam bukan hanya ibadah ritual, tapi juga hadir membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta.
Ketiga, di tengah hiruk pikuk modernitas, peringatan Maulid bisa jadi ruang spiritual untuk menenangkan hati sekaligus memperkuat ikatan sosial.
Jadi, Maulid Nabi bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah panggilan untuk meneladani sosok yang berhasil mengubah peradaban dengan cinta dan kasih sayang.
Kalau direnungkan lebih dalam, Maulid bisa jadi momen recharge spiritual—bukan hanya bagi umat Islam, tapi juga inspirasi universal untuk seluruh umat manusia. (Red)