
Oleh: Mario Oktavianus Magul*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Malam adalah kutukan. Pagi hingga sorenya adalah berkat yang tertunda bagi mereka. Kurang lebih demikianlah julukan warga setempat untuk keluarga si Dodot, putra Sang juragan sopi di kampung sebelah.
Kampung yang letaknya jauh dari peradaban kota, tetapi orang-orang di sana juga enggan menyebutnya desa. Ya, memang begitulah kenyataannya. Mungkin, permukiman mereka berada di antara dua fase tersebut. Antara kota dan desa, tak ada yang tahu kepastiannya.
Keluarga Dodot adalah salah satu keluarga berada di permukiman itu. Selain karena jumlah penghasilan hariannya yang tinggi, keluarga mereka juga terkenal akan kesalehannya dalam hal doa.
Tak mengherankan, jika akhir-kahir ini Dodot lebih suka mengurung diri dalam keheningan bersama. Ia yang tak kelihatan ketimbang menjual sopi dan bermain bersama teman-teman sebayanya.
Perihal Dodot yang dulu, bukanlah Dodot yang sekarang. Dulu, sebelum musibah melanda keluarga mereka, banyak cerita yang muncul dari pribadi si Dodot – bersama dengan Sang ayahnya.
Suatu kesempatan, ayahnya memberi kepercayaan kepada Dodot untuk memanjat salah satu pohon enau milik mereka. Ia sangat senang dan bahagia mendengar pesan itu.
Seperti halnya bayi dalam kandungan Elisabeth yang melonjak kegirangan ketika mendengar salam Maria. Mungkin, kebahagiaan semacam itulah yang dialami Dodot ketika itu. Dengan semangat dan penuh percaya diri ia mulai memanjat.
Tahap demi tahap ia lewati dengan begitu cepat. Alhasil, ia pun tiba di atas pohon itu dengan peringkat sebagai pemanjat pohon enau tercepat di permukiman tersebut. Demikianlah informasi yang diketahui oleh warga setempat ketika mereka mendengar nama Dodot.
Oh iaaa … Dodot si pemanjang tercepat itu kan? Dodot si monyet cilik itu kan? dan Dodot-dodot lainnya. Maaf, jika terlalu sarkastis. Kurang lebih, pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi bahan pembicaraan mereka ketika nama dodot berhasil direkam oleh indra pendengaran mereka.
Senyum sumringah pun merekah dari bibirnya yang merah muda. Manis, dan adem, cetus Fifi adik sepupunya, dan keempat teman lainnya yang masih menunggu Dodot di bawah pohon enau tersebut.
Tanpa sepengetahuan mereka, dan dengan penuh kewaspadaan, ia mulai mengeluarkan satu botol kaca kecil berlebel “Kobok” dari saku celananya – yang sempat ia bawa ketika Sang ayah memberinya mandat untuk memanjat pohon enau.
Dodot, sudah koo??? “Belum”, jawabnya dari atas pohon, sambil terus meneguk sopi yang sempat dibawanya.
Dodot sudah koo??? Pertanyaan kedua pun muncul lagi dari mulut kelima temannya itu. Jawaban yang sama masih ia berikan kepada mereka. “Belum, bersabarlah sedikit”, cetusnya dengan nada yang sedikit meninggi. Kini, sopi itu telah habis diminumnya.
Dodot sudah koo??? Pertanyaan yang sama untuk yang ketiga kalinya kini mendarat pas di telinganya. Tak ada jawaban yang pasti dari si Dodot. Untuk itu, sambil menunggu jawaban darinya, mereka pun memutuskan untuk bermain tali merdeka di bawah pohon enau tersebut. Akan tetapi hal yang sama masih terus terjadi.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut si Dodot. Di tengah serunya permainan itu, mereka tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi dentuman yang sangat keras. Plakkk!!!!
Mereka segera menghampiri sumber suara dentuman tersebut, dan betapa kagetnya mereka ketika melihat Dodot yang sebelumnya berada di atas pohon enau, kini sudah terkapar lemas di tanah bersama dengan botol sopi yang masih berada dalam genggaman tangannya.
Antara cemas dan lucu, kelima temannya itu bingung harus berada di posisi yang mana. Masih banyak cerita yang muncul dari pribadi si Dodot ini, tetapi entahlah. Kita sudahi dulu kisahnya sampai di sini.
Sekarang, cerita tentang si Dodot tak lagi seindah dan seseru ceritanya di masa lalu. Hari-hari yang ia jalani kini terasa hampa semenjak Sang ayahnya jatuh sakit. Pertengahan bulan April tahun ini menjadi awal penantian yang buruk bagi dirinya – tak seindah pertengahan bulan April di tahun-tahun sebelumnya.
Biasanya, penantian di saat-saat seperti itu menjadi momen yang penuh sukacita baginya. Ngopi bareng ayah di beranda rumah, mengurus dan menjual sopi ke berbagai tempat, bermain gitar di malam hari sambil menyanyikan lagu “Desember Kelabu”, dan masih banyak kegiatan menarik lainnya.
Kadang-kadang, di tengah asiknya bermain gitar, mereka juga mendengar suara burung kutukan alias burung gagak yang berbunyi tiga kali, penanda kematian sedang dalam perjalanan menuju permukiman yang bersangkutan.
Semua kenangan itu kini telah tanggal dalam putaran waktu yang terburu-buru, dan seolah-olah tak punya kesempatan untuk terulang kembali. Begitu malang nasib si Dodot tahun ini. Sebuah duri telah telah menusuk pori-pori kulitnya dan membekukan semua tulang belulang yang menopang tubuh mungilnya.
Dodot merasa kaku dan tak berdaya. Malam seolah menjelma kutukan dan pagi hingga sorenya seakan menjadi berkat yang tertunda bagi dirinya. Ia menghabiskan waktunya di malam hari hanya untuk menghibur dan menemani penyakit insomnia ayahnya yang tak kunjung pulang.
Bahkan, ia sendiri juga kini mengalami hal yang sama. Rasa kantuk telah minggat dari tidurnya, dan insomnia pun tinggal betah dalam dirinya. Hal yang sama juga terjadi dalam rutinitas hariannya di pagi hingga sore hari.
Semuanya berlalu begitu saja, tanpa ada hal lain yang dilakukannya, selain mengurung diri dalam keheningan bersama Mori Kraeng, sumber harapan terakhirnya. Ujud demi ujud dilantunkan olehnya sembari menangkal tangis yang mengalir ke hilir bibirnya.
Penghasilan hariannya pun kini mandek. Tak ada lagi orang yang memesan dan membeli sopi hasil fermentasi miliknya. Bukan karena mereka tidak suka dengan sopi hasil olahan mereka yang kurang keras atau lain sebagainya, bukan juga karena mereka sudah beralih ke juragan sopi yang lain, melainkan karena tidak ada lagi orang yang berkeliling untuk menjual sopi tersebut.
Ayahnya sibuk bergulat dengan insomnianya yang semakin ganas, dan ia sendiri juga sibuk berkutat dengan pelbagai pertanyaan yang terus terngiang dalam benaknya. Ibarat bayangan yang tak bertuan, demikian pula halnya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Semua tanda tanya itu hanya menambah beban baginya, dan lantas, belum ada jawaban yang pasti dari sang Tuhan yang diimaninya dan yang sedang dinanti kedatangannya. Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan daku?, cetusnya dalam hati. Seluruh harinya kini menjadi berkat yang tertunda bagi keluarga mereka.
Tak terasa, kini ia sudah sampai di penghujung masa penantiannya. Waktu berlalu begitu cepat, seolah memaksa kalender yang terpampang di depan dipannya untuk berkata: “sekarang hari Sabtu, 8 April 2025”.
Betapa kagetnya ia melihat lembaran baru tersebut. Matanya yang masih dipenuhi belek seusai bangun dari tidur yang tidak sempurna, mau tidak mau harus menerima kenyataan yang sudah direkam oleh indra pengelihatannya.
Sialll!!!, gerutunya saat itu. Ia pun kini masih harus berkutat dengan pelbagai pertanyaan yang terus mempertanyakan jawabannya.
Akankah Tuhan menjawab setiap pertanyaannya? Akankah Tuhan mengamini setiap air mata dan keluh kesahnya? Akankah paskah tahun ini seindah paskah di tahun-tahun sebelumnya Akankah Tuhan menyembuhkan insomnia yang diderita oleh ayahnya? Akankah Tuhan…? Tak ada yang menjawabnya, selain hening dan sepi yang sudah bersepakat untuk tinggal lebih lama dalam hatinya.
Keesokan harinya, tepat pada hari Minggu, 9 April 2025, ruangan tempat ayahnya berbaring dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang menuntut jawaban.
Derai tangis dan air mata pun juga mengalir di sana. Lantas, di antara paskah dan resah – di antara suka dan duka, ia bingung mau berada di titik yang mana. Paskah tahun ini membawa makna ganda baginya. (Red)
*) Mario Oktavianus Magul, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma