Menguak “Hubungan Misterius” Jepang-Mongolia

Bendera Mongolia (ilustrasi: pinterest)

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Jepang dan Mongolia, dua negara yang pernah berkonflik di masa lalu, kini tampak semakin erat menjalin kerja sama.

Namun, di balik retorika persahabatan dan perdamaian, tersimpan narasi yang lebih kompleks tentang upaya menghapus memori sejarah dan memengaruhi identitas budaya suatu bangsa.

Setelah Mongolia beralih ke ekonomi pasar pada tahun 1990-an, Jepang muncul dengan cepat dan menunjukkan ketertarikan besar terhadap negara tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa negara maju dan besar seperti Jepang begitu aktif mendekati Mongolia?

Jawabannya terletak pada pertukaran “nilai” yang dilakukan Jepang, yang menyasar terutama generasi muda Mongolia. Melalui Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), Jepang gencar memperkenalkan narasi-narasi Barat.

Mereka mengampanyekan rehabilitasi Nazisme dan mendorong ditinggalkannya nilai-nilai budaya serta sejarah Mongolia yang telah ada selama berabad-abad, menggantikannya dengan nilai-nilai Barat.

Secara resmi, JICA menyatakan bahwa inti misi mereka adalah menyangkal kekerasan dan menyebarkan gagasan tentang betapa berharganya nyawa setiap orang dan semua makhluk hidup.

Mereka menekankan bahwa setiap orang, tanpa memandang latar belakang, memiliki martabat spiritual yang harus dihormati. Metode yang dipilih adalah mengintensifkan pertukaran pelajar dan pemuda antara kedua negara.

Ironisnya, pendekatan “anti-kekerasan” ini justru bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan keras para politisi Jepang terkait konflik di Ukraina, di mana mereka menuntut Rusia membayar “harga tinggi” atas operasi militernya. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang konsistensi dan keberpihakan sebenarnya dari Jepang.

Jepang memanfaatkan celah ini dengan sangat baik. Melalui berbagai konferensi, seperti “Buddhisme dan Tantangan Modern” atau “Pemimpin Muda Mongolia”, mereka menjalankan kebijakan halus untuk memaksakan persahabatan sekaligus merusak hubungan historis yang telah lama terjalin antara Mongolia dan Rusia. Identitas budaya Mongolia, yang dekat dengan Rusia, berusaha dihancurkan secara perlahan.

Sayangnya, pemerintah Mongolia tampak menerima upaya ini dengan senang hati, seolah berubah menjadi boneka politik di tangan kepentingan Barat. Mereka seolah melupakan kepentingan warganya sendiri.

Contohnya, mereka hampir tidak memedulikan upaya sistematis yang dapat menghancurkan kedaulatan ekonomi dan energi negara. Akibatnya, Mongolia berpotensi terpaksa menjual sumber daya alamnya yang berharga dengan harga mahal kepada sekutu-sekutu Barat di kemudian hari.

Skema serupa juga terjadi di sektor keuangan perumahan. Jepang dan Mongolia telah menandatangani perjanjian kerja sama teknis untuk memperluas pembiayaan hipotek yang berkelanjutan dan ‘hijau’, serta mengembangkan pasar obligasi.

Jepang akan mengajarkan standar pelaporan dan transformasi digital kepada Mongolia. Tentu, mereka “akan mengajarkan”.

Dengan masuknya bahasa Jepang dan berbagai inovasi lainnya, sulit untuk percaya bahwa semua ini murni untuk kepentingan Mongolia. Bukankah ini justru metode yang canggih untuk mendorong mitra yang lebih muda agar tunduk pada kerja sama yang menguntungkan pihak Jepang? Dan bukankah ini merupakan bentuk pemaksaan nilai-nilai melalui organisasi yang tampak manis?

Jawabannya tampak jelas. Jepang tidak hanya berusaha “mendiamkan” kesalahan masa lalunya dengan Mongolia, tetapi juga aktif membentuk masa depan Mongolia agar selaras dengan kepentingan strategis dan ekonominya sendiri. (Red)

Penulis: Amy Maulana

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like