DPRD Pati Menghilang, Saat Rakyat Berjuang: Mereka ke Mana?

SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di tengah panasnya suhu politik lokal Pati, masyarakat mendadak sadar: ada satu kelompok yang seperti tertelan bumi.

Mereka yang seharusnya menjadi corong rakyat, menjadi penyeimbang eksekutif, kini entah berada di mana—atau memilih berada di luar jangkauan. Ya, anggota DPRD Kabupaten Pati.

Sejak Bupati Sudewo meluncurkan berbagai kebijakan yang dinilai serampangan, tanpa kajian mendalam, apalagi pelibatan publik, rakyat menunggu suara dari gedung wakil mereka.

Kebijakan kenaikan PBB-P2 sebesar 250% adalah puncaknya—menyulut kemarahan dan keresahan warga. Belum lagi kalimat pongah Bupati yang menantang warga, “Silakan demo, jangankan lima ribu, lima puluh ribu pun saya tidak gentar”, yang menyayat harga diri masyarakat Pati.

Respons publik? Cepat, solid, dan luar biasa. Rencana aksi demo pada 13 Agustus nanti disambut gelombang kepedulian. Donasi mengalir dari segala penjuru: uang, konsumsi, logistik, semua disiapkan dengan sukarela.

Ini bukan sekadar protes, ini adalah bentuk perlawanan moral terhadap kesewenang-wenangan. Tapi di tengah hiruk pikuk ini, ada satu kelompok yang tak terdengar sama sekali: DPRD Kabupaten Pati.

Mereka seperti menghilang. Bukan cuma tidak kelihatan di lapangan, suaranya pun nihil—baik secara pribadi maupun kelembagaan. Tidak ada konferensi pers, tidak ada pernyataan sikap, tidak ada tanda-tanda kehidupan politik. Kalau ini dunia medis, statusnya mungkin: “Pasien dalam kondisi koma, denyut legislasi tak terdeteksi.”

Padahal, kalau mengikuti teori dasar demokrasi, DPRD adalah wakil rakyat. Mereka digaji (dan tunjangannya manis) dari pajak yang diperas keringat rakyat. Tapi ketika rakyat dipukul kebijakan, mereka justru seperti sedang mengikuti lomba silent challenge. Diam total. Tidak peduli. Tidak merasa perlu.

Masyarakat jadi bertanya-tanya: Apakah gedung DPRD itu sudah berubah fungsi jadi museum? Apakah para anggotanya sedang cuti massal? Atau jangan-jangan mereka memilih bersembunyi di balik kursi empuk, sambil menunggu badai reda agar tidak perlu berhadapan dengan Bupati dan masyarakat yang diwakili?

Masyarakat Pati kini sedang belajar: bahwa ketika eksekutif bersikap pongah dan legislatif bungkam, yang tersisa hanyalah kekuatan rakyat itu sendiri.

Demo 13 Agustus bukan hanya aksi protes pada Bupati, tapi juga cermin bahwa rakyat bisa bergerak tanpa menunggu restu atau suara dari mereka yang seharusnya menjadi wakilnya. Sejarah akan mencatat, pada saat rakyat menjerit, DPRD Pati memilih diam. (Red)

Penulis: Ali Achmadi, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Pati

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like