
Oleh: Mujahidin*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Di tengah derasnya arus revolusi industri 4.0, hampir semua aspek kehidupan manusia mengalami transformasi.
Salah satunya adalah cara umat Islam berdakwah. Jika dulu mimbar masjid menjadi pusat penyampaian pesan agama, kini platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, hingga podcast menjadi panggung baru yang lebih luas dan fleksibel.
Fenomena ini bukan hanya perubahan metode, melainkan langkah adaptif untuk memastikan pesan Islam tetap relevan, mudah diakses, dan mampu memperkuat iman di tengah tantangan zaman.
Dakwah Tanpa Batas Ruang dan Waktu
Sebelum era internet, kegiatan dakwah umumnya membutuhkan pertemuan fisik. Jamaah harus datang ke masjid, majelis taklim, atau forum pengajian untuk mendengarkan ceramah.
Kini, cukup dengan smartphone dan koneksi internet, siapa pun dapat mengikuti kajian agama dari mana saja dan kapan saja.
Platform digital ibarat masjid virtual, menampung jutaan jamaah tanpa batas geografis. Ustaz kondang seperti Abdul Somad, Dr. Khalid Basalamah, dan Hanan Attaki membuktikan efektivitas metode ini.
Kanal YouTube mereka memiliki jutaan pengikut, dan kontennya menjangkau dari kota besar hingga desa terpencil. Seorang petani di Papua kini bisa mengakses tafsir Al-Quran dari ustaz di Jawa, sementara ibu rumah tangga di Kalimantan dapat mempelajari fikih muamalah dari dai di Sumatera.
Transformasi ini juga membawa demokratisasi akses ilmu agama. Masyarakat yang dulu sulit mendapatkan guru agama berkualitas kini dapat belajar langsung dari sumber-sumber terpercaya tanpa harus meninggalkan rumah.
Kreativitas Adalah Kunci di Era Digital
Dakwah digital menuntut kemampuan lebih dari sekadar memahami ilmu agama. Kemasan konten menjadi faktor penting. Generasi milenial dan Gen Z, misalnya, lebih tertarik pada pesan yang dikemas secara kreatif dan visual.
Para dai dan kreator konten dakwah kini memanfaatkan animasi, infografis, storytelling, hingga meme untuk menyampaikan materi yang mungkin sulit dipahami jika disajikan secara kaku. Pesan tentang akhlak, ibadah, atau sejarah Islam bisa dikemas ringan, singkat, tapi penuh makna.
Selain itu, aplikasi seperti Muslim Pro, Quran Majeed, hingga pengingat waktu salat membantu umat Islam beribadah tepat waktu. Fitur kiblat digital, koleksi doa, hingga reminder ibadah membuat teknologi menjadi “sahabat spiritual” yang selalu siap membantu.
Format audio seperti podcast juga membuka dimensi baru. Seseorang bisa mendengarkan kajian “Ngaji Filsafat” atau “Kajian Pagi” sambil berkendara atau berolahraga. Ini membuat dakwah terintegrasi dengan rutinitas sehari-hari.
Tantangan yang Mengintai
Namun, kemudahan akses ini juga membawa risiko. Salah satunya adalah maraknya ustaz gadungan atau individu yang tidak memiliki otoritas keilmuan tetapi menyebarkan tafsir agama seenaknya. Akibatnya, sebagian masyarakat bisa terjebak pada pemahaman dangkal atau bahkan menyesatkan.
Algoritma media sosial yang mengutamakan konten sensasional juga bisa memicu polarisasi. Umat berisiko terjebak dalam echo chamber, hanya melihat pendapat yang sejalan dengan keyakinannya dan mengabaikan pandangan lain. Hal ini dapat memecah belah umat berdasarkan aliran atau mazhab.
Isu lain adalah komersialisasi dakwah. Monetisasi konten memang sah-sah saja, tetapi ada kekhawatiran orientasi dakwah bergeser dari mencari ridha Allah menjadi mengejar viewer dan subscriber. Perubahan niat ini bisa memengaruhi kualitas dan keikhlasan pesan yang disampaikan.
Membangun Ekosistem Dakwah Digital yang Sehat
Untuk mengoptimalkan potensi positif digitalisasi dakwah, dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak.
1. Lembaga pendidikan Islam perlu memasukkan literasi digital dalam kurikulum. Calon dai harus memahami teknologi, manajemen konten, dan karakteristik komunikasi di dunia maya.
2. Organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah harus aktif memproduksi konten dakwah berkualitas. Dengan otoritas keilmuan yang kuat, mereka bisa menjadi penyeimbang terhadap konten yang kurang kredibel.
3. Platform digital dapat bekerja sama dengan otoritas agama untuk memberikan tanda verifikasi bagi akun dai yang terpercaya, mirip dengan “centang biru” di media sosial. Langkah ini memudahkan masyarakat membedakan sumber yang valid dan yang tidak.
Masa Depan Dakwah Digital
Perkembangan teknologi tidak akan berhenti di sini. Inovasi seperti Artificial Intelligence (AI), Virtual Reality (VR), dan Augmented Reality (AR) dapat mengubah cara umat belajar agama.
Bayangkan jika jamaah bisa “mengalami” simulasi haji dan umrah secara virtual, atau menggunakan AI untuk menjawab pertanyaan agama berdasarkan Al-Quran dan hadis sahih secara instan.
Teknologi Blockchain juga dapat digunakan untuk memverifikasi sanad keilmuan dan memastikan keaslian materi dakwah. Ini akan menciptakan ekosistem dakwah digital yang transparan, aman, dan dapat dipercaya.
Kesimpulan: Menyambut Zaman, Menguatkan Iman
Digitalisasi dakwah bukan sekadar mengikuti tren, tetapi wujud ijtihad kontemporer untuk menjaga relevansi ajaran Islam. Dengan penggunaan yang bijak, teknologi bisa menjadi wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, memperluas jangkauan kebaikan, dan mempererat persaudaraan umat.
Namun, keberhasilan ini mensyaratkan dua hal: kritisisme umat dalam memilah informasi dan amanah para dai dalam menyampaikan pesan agama. Teknologi hanyalah alat; hasilnya bergantung pada siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa.
Pada akhirnya, dakwah yang baik adalah dakwah yang menyentuh hati, menggerakkan amal saleh, dan mengajak pada kebaikan—baik dari mimbar masjid maupun layar ponsel.
Era digital hanyalah babak baru dalam perjalanan panjang dakwah Islam. Yang terpenting adalah memastikan bahwa setiap klik, setiap tayangan, dan setiap pesan tetap mengarah pada ridha Allah SWT. (Red)
*) Mujahidin – Mahasiswa Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta