
Oleh: Zahid Fatiha A. P.*)
SUARAMUDA.NET, SEMARANG — Kader dalam KBBI diartikan sebagai ‘orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam pemerintahan, partai, dan sebagainya’. Maka ketika kita bicara soal kader atau kaderisasi akan sangat erat kaitannya dengan regenerasi.
Kader dalam lingkup luas tidak hanya mencakup lingkup pemerintahan dan partai saja, kader dapat mencakup segala aspek suatu organisasi, komunitas, ataupun kelompok. Esensi dari kaderisasi itu sendiri berada dalam kata regenrasi, yang mana berarti mencari penerus dari suatu kepengurusan untuk melanjutkan apa yang telah dikerjakan.
Karena sejatinya suatu hal pasti akan berakhir, baik secara terpaksa ataupun dipaksa. Maka sudah sewajarnya bahwa semua pemimpin harus memproyeksikan terkait siapa yang akan melanjutkan hingga nilai apa yang akan dipertahankan dan dibawa dalam suatu lingkungan kepada seorang atau sekelompok melalui proses yang dinamakan kaderisasi.
“Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
(HR. Bukhari, no. 6496)
Kaderisasi sendiri memiliki peran vital dalam suatu kepengurusan sebagaimana peran jantung dalam tubuh manusia.
Layaknya jantung yang memompa sel darah untuk menopang kehidupan manusia, kaderisasi memiliki peran yang sama persis dengan memompa benih-benih potensial untuk menopang keberlanjutan kepengurusan di masa yang akan mendatang.
Kaderisasi tidak melulu berbicara soal adu ketangkasan pada tengah malam dengan memarahi orang-orang yang sudah meluangkan waktu dan tenaganya untuk mengikuti kegiatan, kaderisasi itu sendiri lebih luas maknanya daripada itu.
Kaderisasi sendiri merupakan bentuk keseriusan seorang pemimpin dalam mencari penerus untuk membawakan nilai-nilai yang dimiliki dari suatu kelompok, terlepas baik atau buruknya nilai yang akan diserahkan kepada penerusnya.
Kaderisasi cenderung disepelekan baik oleh anggota ataupun pemimpinnya itu sendiri, hal itulah yang sering membuat kita melihat banyaknya kelompok yang perlahan bahkan secara drastis mulai kehilangan tujuan, identitas, hingga esensi dari kelompok itu sendiri.
Hal tersebut dikarenakan pemimpin yang acuh mengakibatkan anggota-anggota penerusnya tidak mengetahui terkait apa yang harus dilakukan kedepannya ketika waktu memaksa untuk melakukan pergantian kepengurusan.
Dalam kasus lain juga terkadang hal seperti ini merupakan suatu bentuk keangkuhan dari pemimpin yang tidak berencana untuk menyerahkan titel kepemimpinan kepada penerusnya, walau kita semua tau bahwa suatu masa pasti akan berakhir, entah itu secara dipaksa atau terpaksa.
Tidak ada hal yang selamanya abadi. Oleh karena itu, maka menjadi suatu kewajiban bagi semua pemimpin untuk memproyeksikan siapa yang akan melanjutkan kepengurusan di masa depan.
Kaderisasi juga dapat menjadi ajang penilaian kualitas seorang pemimpin atau pengurus organisasi, dimana disini penilaian mereka terhadap calon penerusnya akan diuji.
Karena nantinya kaderisasi akan berbicara terkait kemampuan manajerial individu atau kelompok dimana seorang pemimpin/pengurus akan menentukan masa depan dari organisasi dengan mandat yang diberikannya.
Dampak kaderisasi bagi suatu kelompok adalah sebagai bentuk atau kesiapan bahwa kelompok tersebut bukanlah kelompok yang berfokus pada suatu golongan melainkan kelompok yang masih mengedepankan tujuan dan visi yang dimilikinya.
Sering kita lihat bahwa seiring waktu suatu kelompok yang dibentuk untuk tujuan bersama perlahan menjadi milik sebagian golongan, hal itu bisa dikarenakan kelalaian pemimpin hingga kondisi kelompok seperti minimnya sumber daya manusia yang kemudian menyudutkan orang-orang yang tersisa menjadi suatu golongan tersendiri didalam kelompok tersebut.
Biasanya di saat itulah kelompok tersebut akan mulai dikuasai oleh golongan tersebut, bahkan apabila nantinya kelompok tersebut sudah menjadi kelompok yang besar.
Hal ini nantinya menyebabkan kelompok tersebut akan sangat berorientasi pada orang-orang yang berada dalam golongan tersebut yang bisa membuat individu atau golongan lainnya merasa tersisihkan bahkan terabaikan.
Sekalipun kontribusi individu atau golongan lain tersebut sudah mengangkat nama kelompok, namun itu tetap tak akan berpengaruh apabila dalam internal kelompok tersebut masih berfokus pada suatu golongan.
Hal ini juga nantinya yang mengakibatkan proses kaderisasi dapat dengan mudah disetir oleh keinginan suatu golongan utama tersebut, yang menyebabkan proses kaderisasi akan berjalan dengan sangat subjektif dan dapat memihak pada individu atau golongan terkait saja dan mengabaikan yang lainnya.
Kaderisasi yang baik bukanlah seperti itu, proses kaderisasi secara esensi harus melihat pada tujuan dan visi kelompok, bukan pada keinginan golongan tersebut.
Di sinilah peran pemimpin akan benar-benar terlihat dimana apakah pemimpin tersebut memiliki nyali untuk mempertahankan martabat kelompok atau justru dialah yang akan jadi pintu pertama dalam menjatuhkan martabat yang dimiliki oleh kelompok tersebut karena dia memutuskan untuk disetir oleh kepentingan golongan tersebut.
Pemimpin yang baik ialah dia yang dapat menjaga martabat kelompok yang dipimpinnya dari awal menjabat hingga akhir menjabat, karena pada akhirnya ini sudah bukan tentang dirinya lagi melainkan sudah tentang menjaga martabat kelompok tersebut. Dan sayangnya banyak sekali pemimpin yang tidak mengetahui hal tersebut.
Kaderisasi itu sendiri memiliki dampak yang lebih besar bagi individu yang terlibat dalam proses kaderisasi tersebut. Suatu individu entah dia secara independen atau memang berasal dari suatu golongan dalam kelompok, melalui kaderisasi ia akan belajar untuk memahami terkait kelompok yang nantinya akan ia pimpin.
Kaderisasi yang baik adalah yang dapat mengenalkan terkait budaya kelompok tersebut sehingga individu-individu yang terlibat didalamnya dapat mengetahui dan memiliki visi untuk keberjalanan kelompok tersebut kedepannya.
Dalam Quran sendiri, telah diberikan beberapa ayat yang berkaitan dengan kaderisasi seperti dalam An-Nisa ayat 9 (“Dan hendaklah takut kepada Allah orang–orang yang jika meninggalkan di belakang mereka anak–anak yang lemah, mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”) serta Ar-Rad ayat 11 (“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka.”).
Yang mana dari kedua ayat tersebut saja sudah tersirat perihal kaderisasi, bahwa sesungguhnya Allah telah mewanti-wanti kita agar tidak meninggalkan di belakang kita yaitu anak-anak yang lemah.
Tentu hal ini dalam aspek kaderisasi dapat kita kaitkan kepada para pemimpin untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah, lemah disini tentu dapat diartikan sebagaimana anggota yang tidak tau apa-apa atau mungkin anggota yang kurang tegas namun ia yang dipercaya untuk memimpin kelompok kedepannya sehingga hal seperti itu tidak menutup kemungkinan dapat menjadi salah satu dari alasan kemunduran suatu kelompok.
Dalam ayat lain dikatakan bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga mereka memutuskan untuk mengubah diri mereka.
Dalam kaderisasi hal ini dapat dikaitkan dengan budaya dan kebiasaan dari suatu kelompok yang mungkin harus diubah agar kelompok itu dapat kembali menjadi lebih baik, dikarenakan mungkin situasi telah membuat kelompok tersebut melakukan kebiasaan atau kegiatan yang sudah tidak relevan lagi.
Dari apa yang telah penulis lihat sendiri juga dapat dikatakan bahwa mayoritas dari kelompok-kelompok di sekitar penulis masih sering menyepelekan proses kaderisasi itu sendiri, bahkan tidak jarang yang menyepelekannya itu adalah kelompok yang berorientasi pada Agama Islam itu sendiri.
Ketika dalam Quran saja sudah diterangkan untuk mengubah nasib harus dimulai dari dalam internal dan juga terdapat nasihat untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah, lantas mengapa masih banyak kelompok-kelompok yang dikhususkan kepada kelompok-kelompok mahasiswa cenderung masih melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang?
Ketika mungkin penyebab hal ini terjadi dikarenakan rantai kaderisasi antar generasi yang daya ikatnya memang lemah, kenapa tidak ada generasi yang berusaha menguatkan rantai kaderisasi tersebut?
Walaupun dari argumen penulis sendiri yang pernah terlibat, memang sulit untuk menguatkan rantai kaderisasi apabila tidak lahir sense of belonging yang dimiliki oleh seluruh anggota dalam kelompok.
Seharusnya ini yang diperhatikan oleh ketua kelompok, untuk melihat apakah semua anggotanya komitmen atau tidak kedalam kelompok. Jika ketua sendiri tidak bisa melakukannya, ketua yang bijak akan mampu untuk mendelegasikan tugasnya ke pimpinan-pimpinan di sekitarnya untuk melakukan pengawasan di bidang-bidang tertentu.
Namun yang cenderung menjadi permasalahan, ketua biasanya mempunyai dua dilema dalam menentukan siapa yang akan mengisi posisi pimpinan.
Antara dia memilih teman terdekatnya sehingga dia tidak akan bisa bertindak secara professional antara atasan dan bawahan atau kemungkinan dimana ketua memilih pimpinan yang tidak bisa ia kendalikan karena sang ketua berpikirnya bahwa pengisian jabatan hanyalah simbolis, sehingga pimpinan yang ia tunjuk dalam kondisi seperti itu cenderung melahirkan pimpinan yang tidak bertanggung jawab. Yang mana dalam pengamatan pribadi penulis merupakan suatu hal yang perlu diperbaiki.
Apabila kita mengambil contoh dimana Rasulullah selalu meluangkan waktunya di Rumah Arqam bin Abi Arqam untuk mengajari sahabat perihal iman, akhlak dan hal-hal fundamental lainnya.
Apabila pemimpin sekarang hendak mengambil contoh, tentu mau tidak mau haruslah pemimpin sendiri yang turun tangan untuk mengajar dan memberi teladan.
Hal yang sangat disayangkan di zaman sekarang ialah banyaknya pemimpin yang tidak bisa komitmen dalam memimpin kelompok yang mana ia diberi amanah disitu, cenderung pemimpin-pemimpin zaman sekarang merupakan orang dengan kesibukan disana dan disini sehingga mengakibatkan ia lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua dalam sekelompok
Pada akhirnya, yang dapat dijadikan catatan bagi para pegiat kelompok organisasi diluar sana ialah bahwa kaderisasi merupakan fondasi utama regenerasi organisasi.
Melalui proses yang matang—pemilihan kader, pembekalan nilai, pelatihan kompetensi, dan kesempatan aplikatif—organisasi membangun kesinambungan struktural, menjaga kualitas kepemimpinan, dan menegakkan estafet visi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tanpa kaderisasi sebagai “jantung” organisasi, risiko stagnasi dan kemunduran akan terus mengancam keberlanjutan pergerakan atau cita-cita organisasi.
Seringkali orang menganalogikan kelompok atau organisasi yang sehat sebagai keluarga, tetapi dalam konteks organisasi profesional hal itu justru berbahaya jika dijadikan prinsip utama.
Layaknya bisnis keluarga, solidaritas emosional tanpa batas bisa memperkuat ikatan, tetapi juga bisa menjadi celah dominasi figur pendiri atau satu golongan, menghambat regenerasi yang objektif dan inklusif.
Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan berlebihan pada nilai-nilai kekeluargaan dalam bisnis keluarga sering menyebabkan kegagalan generasi kedua karena tidak adanya sistem professional.
Sebaliknya, keseimbangan antara nilai kekeluargaan dan manajemen modern—yang mengedepankan struktur, pelatihan kompetensi, transparansi, dan evaluasi objektif—menjadi penentu keberlanjutan sebuah organisasi.
Dalam proses kaderisasi, pendekatan seperti ini sangat relevan: pengkaderan tidak boleh berbasiskan kedekatan emosional atau kekeluargaan semata, tapi harus disertai sistem perekrutan adil, pelatihan manajerial, penilaian berbasis kompetensi, dan penempatan yang profesional.
Dengan demikian, kaderisasi bukan sekadar “memindahkan jabatan ke orang dekat“, namun menciptakan alur regenerasi berbasis meritokrasi—menjamin bahwa visi, misi, serta nilai organisasi terus dijaga oleh individu berkualitas, bukan semata figur dominan atau kedekatan golongan.
Karena sesungguhnya istana yang kokoh tidak pernah dibangun berdasar pada asas kekeluargaan, melainkan kaderisasi lah yang membuat istana tersebut kokoh.
“A great leader is not necessarily the one who does the greatest things. He is the one that gets the people to do the greatest things.” – Ronald Reagan, Former US President. (Red)
*) Penulis: Zahid Fatiha A. P., Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Padjadjaran, Pengamat Organisasi Mahasiswa