ORMEK dan Kemunafikan Kolektif Mahasiswa

Logo organisasi ekstra kampus. (sumber: dok istimewa)

Oleh: Jeremy Nicholas*)

SUARAMUDA, SEMARANG — Organisasi kemahasiswaan merupakan salah satu wadah bagi mahasiswa, baik yang baru maupun yang sudah lama, untuk menemukan teman serta mengembangkan minatnya.

Minat tersebut bisa beragam, misalnya dalam bidang olahraga yang difasilitasi oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) keolahragaan, atau minat berorganisasi di tingkat fakultas seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Dari sini, dapat kita lihat bahwa tujuan utama organisasi kemahasiswaan adalah menumbuhkan kemampuan kepemimpinan serta membangun kerja sama tim dengan orang lain.

Jika dilihat dari fungsi utamanya, organisasi kemahasiswaan tentu memiliki dampak positif yang besar.

Namun, bagaimana jadinya apabila organisasi yang awalnya dianggap sebagai ruang pembelajaran dan pengembangan diri justru berubah menjadi arena persaingan kepentingan antargolongan atau kelompok?

Fenomena inilah yang kini banyak terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kelompok-kelompok yang bersaing dalam organisasi kemahasiswaan ini sering kali disebut sebagai ORMEK.

Lantas, apa sebenarnya ORMEK itu?

ORMEK adalah singkatan dari Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus. Kelompok ini awalnya dibentuk sebagai wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri, belajar, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial, politik, maupun bidang lainnya.

Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi ORMEK mulai bergeser. Dari yang semula sebagai wadah pembelajaran dan partisipasi, kini banyak yang berubah menjadi organisasi dengan orientasi politik.

Hal ini terjadi karena ORMEK sering kali memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu. Contohnya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) melalui GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) yang berideologi Marhaenisme.

Sementara itu, ORMEK lain yang tampak lebih “independen” antara lain HMI, PMII, GMKI, PMKRI, dan sebagainya.

Perubahan fungsi ini juga turut menghadirkan praktik-praktik yang menyimpang, salah satunya adalah budaya titipan jabatan.

Budaya ini biasanya dilakukan oleh elite ORMEK atau kelompok berkepentingan untuk mengamankan posisi strategis dalam organisasi kemahasiswaan seperti BEM dan BLM.

Tak jarang, mahasiswa baru (MABA) diiming-imingi jabatan sebagai imbalan atas kesediaannya bergabung dengan organisasi tersebut.

Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: Apakah mahasiswa masih menjadi kaum intelektual yang kritis, atau justru telah berubah menjadi individu yang terjebak dalam kepentingan organisasi?

Fenomena paradoks ini menunjukkan bahwa budaya titipan jabatan tidak hanya merusak tatanan organisasi kemahasiswaan, tetapi juga mencederai integritas dan kredibilitas mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan.

Ironisnya, mahasiswa yang terlibat dalam praktik semacam ini kerap menjadi pihak yang paling vokal dalam mengkritik budaya nepotisme di pemerintahan.

Bukankah ini sebuah bentuk kemunafikan yang mencoreng nama baik mahasiswa sebagai kaum intelektual?

Budaya buruk lain yang sering muncul akibat keberadaan ORMEK dalam organisasi kemahasiswaan adalah praktik penunggangan demonstrasi.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ORMEK sering kali memiliki keterkaitan dengan partai politik tertentu.

Akibatnya, dalam berbagai aksi demonstrasi, mereka kerap membawa agenda dan kepentingan kelompoknya.

Hal ini terlihat dari banyaknya penggunaan bendera serta simbol-simbol ORMEK dalam unjuk rasa yang seharusnya berfokus pada isu keadilan dan kepentingan publik.

Penunggangan kepentingan ini tidak hanya mencoreng tujuan luhur aksi mahasiswa, tetapi juga berdampak negatif terhadap mahasiswa itu sendiri.

Sedikit demi sedikit, praktik ini mengikis nilai-nilai moralitas yang seharusnya dijunjung tinggi oleh kaum intelektual.

Mahasiswa yang terlibat dalam aksi atas dorongan kelompok tertentu cenderung mengabaikan etika dalam berpendapat, bersikap, dan bertindak.

Alih-alih menjadi agen perubahan yang berpijak pada idealisme dan kejujuran, mereka justru berubah menjadi alat politik yang pragmatis dan oportunis.

Akhir kata, kehadiran ORMEK dalam organisasi kemahasiswaan dapat menjadi hal yang merugikan apabila tidak lagi sejalan dengan fungsi idealnya sebagai wadah pengembangan diri dan intelektualitas.

Budaya penunggangan kepentingan dan titipan jabatan adalah dua persoalan utama yang kini mencemari dunia kemahasiswaan, dan keduanya harus segera ditangani dengan serius.

Mahasiswa perlu kembali meneguhkan jati dirinya sebagai agen perubahan, bukan sekadar pion dalam permainan politik yang penuh kepentingan.

Dengan membangun kesadaran, integritas, dan semangat independen, mahasiswa dapat kembali menjadikan organisasi sebagai sarana pembelajaran yang murni, demi kemajuan bersama. (Red)

*) Jeremy Nicholas, Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga
**) Isi dari artikel ini bukan menjadi pandangan redaksi

 

Redaksi Suara Muda, Saatnya Semangat Kita, Spirit Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like